memasak bukanlah kewajiban istri
ilustrasi istri memasak

Banyak perempuan yang takut untuk menikah karena banyaknya tuntutan yang sudah menjadi kebiasaan bahkan tradisi turun-temurun di lingkungan masyarakat kita, di mana perempuan harus bisa melakukan semua pekerjaan rumah, termasuk memasak.

Pengasuh Pesantren Manba’ul Hikmah Kaliwungu Kendal, Gus Rifqil Muslim Suyuthi, Mengatakan bahwa yang memiliki kewajiban dalam melakukan pekerjaan rumah termasuk memasak sebenarnya bukanlah kewajiban istri, justru hal tersebut merupakan kewajiban seorang suami. Hal ini dijelaskan dalam kajian yang ditayangkan oleh YouTube NU Online dengan judul “Catat! Memasak Bukan Tugas Wajib Istri”.

Bahkan, lebih dari itu, menyusui anak juga sebenarnya dibebankan kepada suami. Jadi, suami membayar ujrah (imbalan) dari susu yang dikeluarkan oleh istrinya. Hal tersebut adalah kewajiban nafkah yang dibebankan kepada suami.

 “Ketika istri tidak bisa memasak, maka tugas suami adalah yang memasak atau mencarikan tukang masak. Di Indonesia kebanyakan seorang istri ditugasi memasak, mencuci baju, menyusui anak,” tuturnya.

Ia menjelaskan, Syekh Nawawi Banten pernah mengatakan bahwa, apabila seorang istri mau melakukan pekerjaan rumah mulai dari memasak untuk keluarganya hingga menyusui anak-anaknya meskipun tanpa ujrah tetapi terdapat pahala tersendiri yang akan ia dapatkan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Akan tetapi, kewajiban ini sebenarnya mutlak untuk laki-laki terkait sandang, pangan, dan papan. Jadi, kalau ada seorang istri yang bekerja dan sibuk tidak bisa memasak maka seorang suami dapat mencarikan tukang masak dan membayar dengan uangnya,” imbuh Gus Rifqil.

Pada soal pekerjaan, sebenarnya ialah kewajiban seorang suami. Namun, dalam beberapa kasus justru yang bekerja adalah istrinya, atau kedua-duanya sama-sama bekerja. Hal ini tidak menjadi masalah. Karena yang terpenting keduanya dapat saling memahami dan mendiskusikan terlebih dahulu.

Selain makanan dan pekerjaan rumah, pakaian, dan tempat tinggal, Syekh Az-Zuhayli menambahkan, alat kecantikan, perabotan rumah, termasuk asisten rumah tangga yang juga merupakan kewajiban seorang suami dalam menafkahi sandang, pangan juga papannya.

Syekh Musthafa Al-Khin menyebutkan:

يقدم بعد نفسه: زوجته، لأن نفقتها آكد، فإنها لا تسقط بمضي الزمان، بخلاف نفقة الأصول والفروع، فإنها تسقط بمضي الوقت  

Artinya: “Setelah dirinya, suami harus mendahulukan istrinya. Menafkahinya lebih ditekankan karena nafkahnya tidak gugur seiring dengan berlalunya waktu. Berbeda halnya dengan nafkah untuk orang tua atau anak. Nafkah mereka gugur seiring dengan berlalunya waktu.

Setelah diri dan istrinya, posisi orang yang harus dinafkahi seorang laki-laki adalah anaknya, kemudian ibunya yang tidak mampu, kemudian ayahnya yang tidak mampu, kemudian anak dewasanya yang tidak mampu, kemudian kakeknya yang tidak mampu. (Lihat Al-Fiqhul Manhaji ala Mazhabil Imamis Syafi‘i,  jilid IV, halaman 178).

Perihal menafkahi di atas sudah dijabarkan pula di konten website tebuireng.online pada episode sebelumnya.

Dengan adanya pemahaman ini, semoga menjadi bekal kita sebagai dasar memahami hak dan kewajiban antara suami dan istri secara fikih dan syariat Islam.

Baca Juga: Memahami Hak dan Kewajiban Suami-Istri


Ditulis oleh: Anis F., mahasiswi Universitas Hasyim Asy’ari