ilustrasi: sebuah pertemuan

Oleh: Qurratul Adawiyah*

Pernikahan adalah institusi penting dalam kehidupan manusia, yang seharusnya didasarkan pada kesepakatan, cinta, dan penghargaan antara dua individu yang memilih untuk bersama-sama membangun hubungan yang saling mendukung. Namun sayangnya, ada situasi di mana seorang perempuan dipaksa untuk menikahi seseorang yang yang tidak disukainya.

Memaksa seorang perempuan untuk menikahi seseorang yang tidak disukai adalah sebuah perbuatan yang melanggar hak asasi manusia dan tidak dibenarkan. Hal tersebut mencerminkan ketidakpedulian terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan individu yang terlibat. Tindakan semacam itu tidak hanya merugikan perempuan yang terlibat secara pribadi, tetapi juga merusak nilai-nilai kemanusiaan yang mendasari di masyarakat.

Dalam suatu riwayat dari Abdullah bin Abbas menyampaikan bahwa terdapat seorang gadis mengadu kepada Rasulullah. Bahwa ayahnya memaksa ia menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka Rasulullah menyerahkan kepadanya untuk memilih, apakah menerima keinginan ayahnya atau menolaknya.

Dalam riwayat yang lain juga disampaikan bahwa terdapat seorang gadis yang datang kepada Aisyah dengan permasalahan yang sama. Dan Aisyah menjawab kepada gadis tersebut, “tunggulah sampai Rasulullah datang.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Setelah Rasulullah datang, beliau menyampaikan keluhan gadis tersebut.  Lalu Rasulullah mengutus orang untuk memanggil ayah gadis itu, dan setelah si ayah datang, Rasulullah  menyerahkan urusan itu kepada gadis tersebut untuk memutuskan. Namun setelah gadis itu sadar bahwa pilihannya terletak pada dirinya sendiri, gadis tersebut malah berkata:

“ Ya Rasulullah, kini aku setuju dengan apa yang diinginkan ayahku. Aku hanya ingin agar kaum Perempuan tahu bahwa ayah-ayah mereka tak punya hak dalam urusan seperti ini.” [1]

Dari pernyataan gadis tersebut, bisa kita lihat bahwa setiap perempuan memiliki hak untuk menentukan sosok pasangan hidupnya sesuai dengan yang ia inginkan. Selain itu, para ahli hadis menyepakati sabda Rasulullah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ» ، قِيلَ: وَمَا إِذْنُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَنْ تَسْكُتَ» الْحَدِيثُ لِلدَّارِمِيِّ.[2]

Dari Abu Hurairah r.a berkata: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sebelum ia dimintai pendapatnya, dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuannya.”

Para sahabat bertanya, “Bagaimana diketahui persetujuannya.”

Nabi menjawab: “Diamnya adalah persetujuannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah dan ad Darimi) 

Namun meskipun demikian, mazhab Syafi’i dan Hanbali membolehkan orang tua memaksa anak perempuannya yang telah dewasa untuk menikah dengan pilihan orang tuanya meskipun ia tidak menyukainya. Berbeda dengan kaum Hanafi yang memberikan hak penuh kepada Perempuan untuk menikahkan dirinya.

Dari perbedaan tersebut, bisa kita ketahui bahwa dalam kondisi pemaksaan pernikahan itu bisa berbeda-beda, tapi jika dalam pemaksaan dapat menimbulkan salah satu diantara keduanya merasa hina atau meremehkan kepribadiannya karena tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pasangannya serta tidak merasakan kenyamanan yang mana hal tersebut merupakan bagian dari tujuannya pernikahan.

Maka sebaiknya pihak orang tua untuk bermusyawarah terlebih dahulu secara baik-baik dan bijak terhadap anaknya akan keputusan yang hendak diambil, karena tak jarang pernikahan yang diawali dengan keterpaksaan berakhir dengan penceraian.

*Mahasantri Marhala Tsani Mahad Aly Tebuireng.


[1] Muhammad Al-Ghazali, Sunnah Nabi dalam Pandangan Ahli Fikih, Kairo: Dar Al-Syuruq,Hal: 53

[2] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al Bukhari, Sohih Bukhari, Beirut: Dar Tauqa  al-Najah,Hal: 17