Oleh: Fathur Rohman*
Kata “rembes” dalam bahasa Jawa memiliki makna yang berbeda dengan kata “rembes” dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jawa kata “rembes” bermakna “belum mandi, wajah anak yang terlalu lama bermain di luar rumah, habis makan kue belepotan di sekitar mulutnya, anaknya mengusap air ingusnya sehingga membekas di sekitar mulutnya”, sedangkan dalam bahasa Indonesia kata “rembes” diartiakan “suatu zat cair yang keluar secara diam-diam dari suatu benda”.
Makna “rembes” dalam bahasa Jawa identik dengan kebiasaan anak kecil yang biasa terjadi kepada anak kecil dalam komunitas orang Jawa sebagai contohnya seperti ketika ada orang tua yang bertanya kepada anaknya yang habis bermain di luar rumah seperti bermain bola di lapangan, bermain di kebun, dan tempat tempat terbuka yang lainnya dengan berkata habis main apa kamu kok wajahmu “rembes” atau habis dari mana kamu kok “rembes”, ayo segera mandi.
Contoh lain adalah ketika orang tua melihat anaknya yang sedang sakit flu dan air ingusnya keluar lalu anaknya mengusap-usapnya dengan menggunakan tangannya sehingga air liur itu membekas ke sekitar mulutnya, kemudian orang tuanya berkata pada anaknya “lo kok rembes, sini ibu bersihkan pakai tisu atau sapu tanggan biar tidak rembes”. Contoh lain adalah ketika anaknya makan kue sendiri karena tidak mau disuapi kemudian sisa kue tersebut melekat di sekitar mulutnya, kemudian orang tuanya yang melihatnya tertawa bahagia melihat tingkah polah anaknya yang lucu sambil berkata “lo kok rembes gitu, sini ibu suapi”. Dan masih banyak lagi contoh tentang penggunaan kata “rembes” dalam komunitas masyarakat Jawa yang tidak selalu bermakna menghina, tetapi bermakna “bekas yang tampak di wajah anak kecil akibat tingkah polah lucu anak kecil atau balita”.
Orang tua yang berkata “rembes” kepada anaknya tidak selalu dimaknai oleh anak kecil itu dengan sebuah hinaan, buktinya anak kecil itu tak jarang tambah tertawa ketika disebut begitu oleh orang tuanya, karena itu tahu bahwa itu adalah bentuk pengakuan bahwa ia sudah mulai belajar mandiri dalam hal-hal sederhana, namun akan dipahami berbeda oleh orang yang bukan dari komunitas Jawa atau oleh orang dewasa yang disebut “rembes” oleh orang lain, karena dimaknai sebagai bentuk “penghinaan”.
Beberapa contoh di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa makna kata “rembes” itu tidak selalu buruk atau penghinaan, tetapi juga bisa bermakna “wajah lucu atau bentuk pengakuan tingkah pola anak kecil” karena terlalu lama bermain, makan sendiri, keluar ingus yang diusap pakai tangan, atau aktifitas lucu anak kecil yang lainnya.
Tidak jarang dijumpai anak kecil setelah dibalang “rembes” oleh orang tuanya atau teman bermainnya, lalu mencari cermin atau bercermin di air sungai kemudian ia tertawa karena melihat wajahnya yang lucu sebab habis bermain yang sangat menyenangkan dan seru bagi dunia anak-anak. Hal ini menandakan bahwa istilah “rembes” menjadi sebuah kata memiliki makna “lucu” karena habis bermain yang sangat seru yang dapat membuat anak-anak bahagia, bukan bermakna penghinaan atau ejekan, bahkan anak kecil itu tambah melakukan tingkah pola lucunya karena merasa mendapat pengakuan dari teman-temannya ketika bermain (hal ini tidak dipahami oleh orang dewasa pada umumnya sehingga banyak orang tua yang memarahi anak-anaknya yang rembesa padahal anaknya sedang bergemberi bersama teman-temannya).
Jadi saya berkhusnudhon bahwa Yai Muwafiq ingin mengambarkan bahwa Nabi Muhammad pada masa kecilnya itu memiliki aktifitas seperti anak kecil pada umumnya yaitu bermain bersama teman-temannya dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan.
Hanya saja pilihan kata yang keluar dari lisan beliau adalah “rembes” sehingga banyak dipahami oleh banyak orang sebagai kata yang berkonotasi memiliki makna negatif atau tidak baik. Oleh karena itulah ada baiknya kita bertabayun terlebih dahulu kepada beliau agar tidak ikut ikutan mencaci, atau menuduh yang bermacam-macam kepada saudara kita seiman, apalagi sampai menghukuminya dengan ucapan-ucapan atau tulisan-tulisan yang kurang baik yang dapat menyudutkanya dan mengesankan kita sebagai umat Islam seperti begitu mudahnya mencaci maki saudara muslim yang lain hanya bermodalkan melihat video di Youtube yang tersebar.
Secara pribadi saya termasuk orang yang tidak setuju penggunaan kata “rembes”, namun walaupun begitu ada baiknya kita tidak ikut-ikutan mencaci maki, bila ingin ditindaklanjuti ada baiknya dilakukan tabayun dan diskusi dari kedua belah pihak agar tidak hanya makna leksikal yang tersebar ramai, namun makna konteksnya juga bisa dipahami oleh masyarakat luas yang itu hanya bisa dijelaskan oleh orang-orang yang hadir di acara pengajian tersebut dan beliau sendiri (Yai Muwafiq) yang menyampaikannya, serta pakar ahli bahasa Jawa.
Allahu a’lam bisshowab.
*Dosen PBA Unhasy Tebuireng Jombang