Judul buku: Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar

Pengarang: Kalis Mardiasih

Penerbit: Buku Mojok

Tahun : 2020

Hal: xiii+210

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

ISBN: 987-623-7284-14-7

Peresensi: Yuniar Indra*


Kalau kita sering silaturahmi ke situs Mojok.co di sana kita akan disuguhi berbagai tulisan apik dengan bahasa yang santai sebagai ciri khasnya. Salah satunya kontributornya adalah Kalis Mardiasih. Bisa dibilang Kalis ini salah satu penggerak feminisme di Indonesia. Tapi kritikannya biasanya ditujukan kepada ustaz-ustaz dadakan di youtube atau media sosial. Yang sering bersikap provokatif, selalu menyalahkan kaum hawa, serta kebablasan dalam mendefinisikan hijrah.  

Sebab kegalauan-kegalauannya, istri Agus Mulyadi (salah satu kontributor Mojok.co) meracik berbagai opini. Dengan harapan dapat menjadi refleksi atas kegalauan masyarakat saat ini. Lebih-lebih kaum muslim. Termasuk lewat penerbitan buku “Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar” ini ia banyak berkomentar.

Di halaman pertama ia memaparkan pengalaman seorang perempuan (mungkin dirinya sendiri) sewaktu kanak-kanak. Ceritanya saat cilik perempuan tersebut biasa untuk bermain di sekitar masjid. Bahkan bersama dengan kawannya yang Nasrani. Guyon dengan ustaz ngajinya. Beli es kepada pedagang Tiong Hoa. Menurutnya, itu gambaran Islam kaffah yang sebenarnya. Menghargai perbedaan, kemanusiaan, tidak rasis dan sewenang-wenang. Beda dengan zaman saat ini yang sedari kecil sudah dijejeli “Islam-islam Yes, Kafir-kafir No”. Sebuah jargon yang tidak sama sekali menunjukkan kemerdekaan berpikir.

Ia juga mengkritik bagaimana masjid yang menjadi ikon umat Islam. Tempat Nabi Muhammad menyampaikan kuliah dan khutbahnya. Juga para ulama (beneran) mendirikan majelisnya. Yang saat ini berubah menjadi panggung politik, kampanye, dan provokasi. Masjid yang bermula tempat sakral, menjadi tempat paling menguntungkan untuk meraup suara kekuasaan. (Hal 61)

Kalis juga mengomentari akal tak sehat para pengumandang takbir yang bertujuan untuk merundung kelompok berseberangan. Mengumbar takbir memenuhi jalan bentuk pertunjukan kekuatan. Takbir semacam itu tidak bersama Tuhan yang Maha Besar, tapi hadir bersama nafsu dan setan. (Hal. 103)

Ia juga mencontohkan soal perbedaan pendapat yang mengagumkan antara Gus Sholah dan Gus Dur. Saudara seayah seibu itu bantah-bantahan tulisan secara epik di media koran. Artinya perbedaan argumen itu tidak menjadi permasalahan. Berbeda dengan beberapa kelompok yang malah membesarkan perbedaan melalui ujaran kebencian. Yang mestinya perbedaan itu menjadi khazanah keilmuan. Buku ringan ini dikemas berupa berbagai esai Kalis. Lebih cocok dikatakan cerita pribadinya. Alhasil tulisannya pun mudah dicerna, dan kadang bikin ketawa.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari