Judul Buku : Khazanah Aswaja
Penulis : Tim Aswaja NU Center PWNU Jatim
Penerbit : Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tebal : 486 halaman
Jenis Buku : Fiksi
ISBN : 978-602-74756-0-1
Perensensi : Dian Bagus*

Buku yang terdiri dari enam bab ini mengupas tuntas segala hal yang tentang aswaja. Mulai dari apa aswaja itu, bagaimana sejarahnya, akidahnya, fikihnya dan tasawufnya. Selain itu, buku ini membahas tentang kelompok dan aliran dalam sejarah umat Islam dan juga tentang ke-NU-an. Namun dalam tulisan ini, saya menitikberatkan tentang yang paling penting untuk disampaikan yaitu mengenai definisi aswaja.

Di bab I kami menemukan bahwa pengertian aswaja atau ahlussunnah wal jamaah pada hakikatnya adalah orang yang mengamalkan ajaran Nabi SAW dan para sahabat, sedangkan orang yang menolak ajaran para sahabat tentu tidak termasuk dalam kategori ahlu sunnah wal jamaah.

Istilah aswaja sendiri baru ada ketika dicetuskan oleh dua imam besar yaitu Abu Hasan Al-Asyari (260-324 H) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (248-333 H). Pada masa kedua imam tersebut, yaitu pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga hijriyah adalah masa-masa keemasan keilmuan Islam. Sebut saja di bidang hadist, tampil Imam Bukhori (194 – 256 H) dengan kitabnya Shahih Bukhori, Imam Muslim dengan (204-261 H) dengan kitabnya Shahih Muslim, Imam Abu Dawud (202-275 H) dengan kitabnya Sunan Abi Dawud, Imam Nasa’i (215-303 H) dengan kitabnya Sunan an-Nasa’i, Imam At-Tirmidzi (209-279 H) dengan kitabnya Sunan Attirmidzi dan Imam Ibnu Majah (209-273 H) dengan kitabnya Sunan ibnu Majah dan beberapa ulama lainnya. Kitab hadist mereka merupakan rujukan standar hadist sepanjang masa dan dianggap standar kitab hadist yang enam.

Di bidang Fikih, tampil pula para mujtahid dan pakar-pakar fikih besar. Begitu juga di bidang tasawwuf, abad ketiga Hijriyah adalah masa terbaik dalam perkembangan ilmu tasawuf. Dimana pada saat itu telah mulai diperbincangkan aspek-aspek tasawuf yang belum pernah menjadi objek kajian pada masa-masa sebelumnya. Banyak ulama tasawwuf yang mengarang kitab di masa ini, contoh yang paling populer adalah Imam Al-Kharraz ( w. 286 H) penulis kitab As-Shidq dan Imam Al-Junaid Al-Baghdadi ( w. 297 H) peletak kaidah-kaidah tasawwuf dan rujukan kaum sunni dalam bidang tasawwuf.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tetapi meski berada pada puncak supremasi keilmuan Islam, bukan berarti kaum muslimin pada saat itu terbebas dari ancaman dan tantangan. Justru pada saat itu kaum muslimin berada dalam ancaman dan tantangan serius dari beragam aliran yang berkembang cukup pesat. Seperti yang dikatakan Abu Al-Ma’ali As-Syaidzalah “Sesudah tahun 260 H berlalau, tokoh-tokoh ahli bid’ah angkat kepala dan masyarakat awam berada dalam ancaman, bahkan ayat-ayat agama mulai terhapus bekasnya dan dan bendera kebenaran mulai terhampus kabarnya”

Pernyataan Syaidzalah ini menggambarkan merebaknya aliran-aliran sempalan dalam Islam pada paruh kedua abad ketiga Hijriyah. Di antara aliran-aliran bid’ah tersebut yang paling kuat adalah Mu’tazilah yang merebak hampir di berbagai tempat. Nama Mu’tazilah merupakan nisbat ucapan Syaikh Hasan Al-Bashri tatkala mengeluarkan muridnya yang radikal, Wasil bin Atha Al-Ghazali (80-131 H), “I’tazil anna! (keluarlah dari perguruanku)”. Wasil inilah yang dikenal sebagai pendiri sekte Mu’tazilah.

Wasil sendiri menamakan sektenya dengan sebutan Ahl al-adl wa at-Tauhid (golongan yang berpaham adil dan mengesakan Tuhan) yang sekaligus mengindikasikan pendapat utamanya. Adil menurutnya adalah Tuhan membalas segala amal perbuatan manusia yang diciptakan sendiri tanpa ada intervensi qadarNya. Sedangkan Tauhid menurutnya ialah Tuhan maha Esa tanpa ada diembel-embeli berbagai sifat dan tidak memiliki sifat-sifat.

Keradikalan Mu’tazilah yang pada akhirnya bercabang menjadi 22 aliran, semuanya terlalu berlebihan dalam memuja kemampuan akal dan nyaris mengabaikan petunjuk naqli yang berasal dari al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan menyatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk ciptaan Tuhan dan bersifat baru. Pernyataan terakhir inilah oleh banyak kalangan disebut sebagai Al-Mihnah (ujian bagi ulama mayoritas yang berpendapat bahwa Al-Quran adalah kalam Tuhan dan bersifat Qadim/tidak ada permulaannya).

Merebaknya aliran Mu’tazilah pada abad ketiga Hijriyah ini, secara alami menimbulkan benturan pemikiran yang sangat keras antara dua pemikiran yang diametral. Yaitu pemikiran yang dikawal oleh kaum fuqaha dan ahli hadits yang perhatiaannya dicurahkan untuk menekuni ilmu-ilmu agama dengan dali-dalil dan argumentasi yang didasarkan pada tafsir al-Quran, hadist ijma’ dan analogi. Sementara di kutub lain yang berlawanan secara ekstrem yaitu kaum teolog, termasuk didalamnya adalah kaum Mu’tazilah, yang mengandalkan logika dan rasio namun mengesampingkan teks-teks Al-Quran dan Hadist.

Menyaksikan keadaan mendesak ini, adalah dua orang ulama yang memimpin gerakan agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan hadist serta thoriqoh (jalan) para sahabat yang melazimi sunnah rasul sehari-hari, terlebih sahabat yang empat atau Khulafaur Rasyidin yang digembleng langsung oleh rasul sehingga perilakunya praktis benar sesuai Al-Quran dan hadist. Dua orang ulama itu hidup dalam satu masa tapi tidak saling mengenal dan berjauhan tempat namun memiliki frekuensi pemikiran yang sama yaitu bagaimana mengembalikan akidah umat. Beliau berdua yaitu Abu Hasan Al-Asyari di Yaman dan Abu manshur Al-Maturidi di Samarkand Uzbekistan. Mereka sama-sama mengajak kaum muslimin untuk kembali pada ajaran ahlul sunnah wal jama’ah dan memberantas ajaran bid’ah (Mu’tazilah), tetapi juga tidak mengabaikan metode baru yang dikembangkan kaum rasionalis.

Pada era Imam Abu Hasan Al-Asyari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi inilah istilah Ahlul sunnah wal jamaah melembaga dan terus digunakan sampai sekarang.

Adapun ahlul sunnah wal jamaah atau yang dikenal dengan singkatan Aswaja ini memiliki pengertian sebagai berikut:

Ahlul

Kata ini mempunyai beberapa arti yaitu; keluarga, pengikut dan penduduk.

As- Sunnah

Kata ini ini menurut para ulama Ushul fiqih, berarti sesuatu yang secara khusus datang dari Nabi, (selain al-quran) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum agama.

Al-Jamaah

Kata ini memiliki banyak arti. Berasal dari kata Al-Jam’u yang artinya mengumpulkan sesuatu. Bisa juga berarti sekelompok orang banyak yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.

Sedangkan secara istilah, aswaja memiliki pengertian:
Menurut kitab Kawakib Al-lamma’ah, disebutkan bahwa: Yang disebut Aswaja adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah nabi dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal lahiriah serta akhlak hati.

Sedangkan menurut KH. Hasyim Asyari dalam kitabnya Ziyadah-at-Taliqot yaitu Adapun ahlussunnah wal jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, hadist dan ahli fikih. merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh pada sunnah nabi dan sunnah Khulafaur rosyidin setelahnya. Merekalah kelompok yang selamat. Ulama mengatakan, “sungguh kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.”

Dari definisi ini bisa dipahami bahwa aswaja bukan ajaran baru yang muncul sebagai reaksi terhadap beberapa aliran yang menyimpang termasuk Mu’tazilah, namun justru ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh Rasululloh SAW dan yang sesuai dengan apa yang digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya. Karena itu tidak ada seorang pun yang menjadi pendiri aswaja. Yang ada hanya ulama yang telah merumuskan kembali ajaran Islam setelah lahirnya beberapa sekte yang berusaha mengaburkan kemurnian ajaran Rasululloh dan para sahabat.

Pada kehidupan keagamaan di Negara Republik Indonesia, KH. Dr. Ma’ruf Amin, dalam pengantar dengan judul Menerjemahkan Tradisi dalam Ranah Strategi di awal buku ini menyampaikan bahwa Islam sejak awal masuk di Nusantara, telah tumbuh dan berkembang sebagai Islam Ahli Sunnah wal jamaah atau yang disebut Islam Aswaja dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini dapat dibuktikan dari tradisi keberagamaan umat Islam nusantara yang masih terjaga sampai saat ini dan dari dokumen sejarah yang dicatat oleh para ulama asal Nusantara dalam kitab-kitab yang mereka tulis.

KH. Ma’ruf Amin juga menyampaikan bahwa Syaikh Nawawi al-bantani, seorang ulama asal Nusantara dalam kitabnya, Nihayah Az-Zain secara lebih spesifik menyebutkan Islam aswaja yang dimaksud adalah mengikuti Madzhab Imam Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Manshur Al-Maturidi dalam bidang akidah, mengikuti salah satu imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam bidang fikih dan mengikuti Madzhab Imam al-junaid al Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghozali dalam bidang tasawuf. Sekilas mengenai siapa beliau Imam Abu Hasan Al-Asyaari dan Abu Manshur Al-Maturidi bisa dibaca di Abu hasan Al-asyari dan Abu Manshur Al-Maturidi.

Islam aswaja sebagaimana diyakini dan diamalkan olah umat Islam di Nusantara terjaga dan senantiasa diajarkan dari generasi ke generasi. Proses tersebut kemudian dilembagakan melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang secara jelas menggariskan hal itu dalam AD/ART. Dengan begitu, NU merupakan institusionalisasi upaya dan ikhtiar untuk menjagadan mengajarkan islam aswaja sebagaimana diyakini dan diamalkan umat Islam di Nusantara dari masa ke masa.


*Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari