ilustrasi: cinta hamba

Cinta tak melulu hanya kepada seseorang yang kita cintai atau kita sayangi. Cinta yang sesungguhnya adalah di mana kita bisa merasakan dari dalam hati tanpa melihat wujud, seperti halnya cinta kita kepadaNya. Cinta kepadaNya merupakan konsekuensi keimanan. Tidak akan sempurna tauhid kepada Allah hingga kita sebagai seorang hamba mencintai Tuhannya secara sempurna.

Kecintaan tidak bisa didefinisikan dengan lebih jelas kecuali dengan kata “kecintaan” itu sendiri. Dan tidak bisa disifatkan dengan yang lebih jelas seperti kata “kecintaan” itu sendiri. Tidak ada sesuatu yang esensinya patut dicintai dari segala sisi selain Allah, yang memang tidak boleh ada penyembahan, peribadatan, ketundukan dan kepatuhan serta kecintaan yang sempurna kecuali hanya kepadaNya subhanahu wa ta’ala.

Cinta kepada Allah, bukanlah sembarang cinta; tidak ada suatu apapun yang lebih dicintai dalam hati seseorang selain Sang Penciptanya. Dialah Tuhannya, Sesembahannya, Pelindungnya, Pengayomnya, Pengaturnya, Pemberi rezekinya, dan Pemberi hidup dan matinya. Maka mencintai Allah –subhanahu wa ta’ala– merupakan kesejukan hati, ketenangan jiwa, kebahagiaan sukma, hidangan batin, cahaya akal budi, penyejuk pandangan dan pelipur perasaan.

Yahya Bin Mu’adz berkata :

عَفْوُهُ يَسْتَغْرِقُ الذُّنُوْبَ فَكَيْفَ رِضَوَانُهُ؟، وَرِضْوَانُهُ يَسْتَغْرِقُ الآمَالَ فَكَيْفَ حُبُّهُ؟، وَحُبُّهُ يُدْهِشُ الْعُقُوْلَ فَكَيْفَ وُدُّهُ؟، وَوُدُّهُ يُنْسِي مَا دُوْنَهُ فَكَيْفَ لُطْفُهُ؟

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Ampunan-Nya mencakup (menggugurkan) seluruh dosa, lalu bagaimana lagi dengan ridhoNya?  RidhoNya begitu mendominasi seluruh cita-cita dan harapan, lantas bagaimana dengan kecintaan-Nya? KecintaanNya begitu mengagumkan akal pikiran, lalu bagaimana dengan kasih sayang-Nya? Kasih sayangnya begitu melupakan segala yang selainNya, lalu bagaimana dengan kelembutanNya?

Kemudian ada lagi yang lebih tinggi. Cinta kepada Allah berarti kita mengutamakan segala sesuatu yang disenangi Allah di atas diri kita, jiwa kita dan harta benda kita. Lalu ketaatan kita kepada Allah dalam kesendirian dan keramaian. Kemudian kesadaran diri akan kelalaian kita dalam mencintai Allah. Seharusnya secara totalitas kita mencintai Allah dengan mencurahkan jiwa dan raga serta pengembaraan hati dalam upaya mencari Sang Kekasih, dengan lisan yang selalu bergerak untuk menyebut nama-Nya.

Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– bersabda :

وَأَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ

“Aku memohon kepadaMu agar dapat mencintaiMu, mencintai orang-orang yang mencintaiMu dan mencintai amal yang mendekatkan diriku untuk mencintaMu.”

Kebutuhan manusia akan cinta secara mendalam kepada Allah jauh lebih mendesak dari pada kebutuhannya akan asupan zat gizi (makanan). Sebab jikalau kekurangan asupan zat gizi itu dapat merusak tubuh seseorang, maka kekurangan cinta yang mendalam (kepada Allah) dapat merusak jiwa spiritualnya.

Efek Positif Cinta Kepada Allah

Seorang mukmin ketika mengenal Tuhannya, pastilah ia cinta kepada-Nya. Ketika itulah dirinya memusatkan perhatian kepadaNya. Jika ia telah dapat merasakan manisnya konsentrasi kepadaNya, maka ia tidak lagi melihat dunia dengan kaca mata syahwat (kelezatan sesaat) dan tidak pula melihat akhirat dengan pandangan pesimistis (kendur semangat).

Cinta kepada Allah mendorong seseorang melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan, memacu seorang hamba melaksanakan amal ibadah sunnah, dan mencegahnya berbuat hal-hal yang makruh (tidak selayaknya dilakukan).

Cinta kepada Allah dapat mengusir dari dalam hati segala bentuk kecintaan kepada apa saja yang tidak disenangi Allah. Organ-organ tubuh dengan dorongan kecintaan kepada Allah akan tergugah untuk beribadah kepada-Nya, dan jiwa menjadi tenteram karenanya. Allah berfirman dalam hadis qudsi:

فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا .

“Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan mendengar, penglihatannya yang dia gunakan melihat, tangannya yang dia gunakan memukul dan kakinya yang digunakan berjalan.”

Seeorang yang sedang mencintai, karena keasyikan dan kelezatan cintanya ia akan melupakan segala derita cobaan, tidak terasa baginya kepedihan yang dirasakan orang lain. Cinta kepada Allah merupakan kekuatan yang sangat kuat untuk mendorong seseorang mampu bertahan untuk tidak melanggar dan mendurhakai Allah.

Semakin kuat dorongan cinta dalam hati seseorang, akan semakin kuat pula dorongan untuk melaksanakan ketaatan serta menghindari kemaksiatan dan pelanggaran. Sebab kemaksiatan dan pelanggaran hanya terjadi akibat lemahnya dorongan cinta dalam diri seseorang.

Makna Cinta Sejati

Cinta yang sejati, membuat seseorang merasa dikawal oleh pengawas dari Sang Kekasih untuk membimbing hatinya berikut organ-organ tubuhnya. Hanya sekedar cinta tidak akan berdampak positif seperti ini selama tidak disertai sikap pengagungan dan pemuliaan terhadap Sang Kekasih.

Jika cinta itu disertai sikap pengagungan dan rasa hormat, maka akan melahirkan rasa malu berikut ketaatan. Namun jika kosong dari sikap pengagungan dan rasa hormat, maka cinta model itu hanya membuahkan semacam kemesraan, kepuasan, keharuan dan kerinduan belaka.

Itulah sebabnya, mengapa pengaruh positif cinta tersebut tidak ada. Ketika yang bersangkutan memeriksa hatinya, ternyata ia pun menemukan rasa cinta kepada Allah, tetapi cinta yang tidak mendorong dirinya untuk meninggalkan kemaksiatan kepadaNya.

Tidak ada sesuatu yang mampu memakmurkan hati setara dengan cinta yang disertai sikap pengagungan dan rasa hormat. Itulah anugerah Allah –subhanahu wa ta’ala– yang paling besar dan paling utama bagi seorang hamba, dan itu pula karunia Allah yang berikan kepada orang yang dikehendakiNya.

Cinta yang hampa dari sikap ketundukan dan kerendahan hati, sesungguhnya hanyalah pengakuan cinta yang tidak bermutu. Sama seperti orang yang mengaku dirinya cinta kepada Allah, tetapi tidak mau melaksanakan perintahNya dan tidak patuh kepada sunnah NabiNya Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam-; tidak meneladaninya dalam ucapan, perbuatan dan amal ibadah.

Tidak disebut cinta kepada Allah dan tidak pantas mengaku cinta kepada-Nya orang yang tidak meneladani Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-. Oleh karena itu, Allah menceritakan tentang ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam firman-Nya :

وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ وَٱلنَّصَٰرَىٰ نَحۡنُ أَبۡنَٰٓؤُاْ ٱللَّهِ وَأَحِبَّٰٓؤُهُۥۚ [ المائدة / 18]

Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. (Q.S. Al-Maidah : 18)

Pengakuan semata tanpa bukti nyata, semua orang pun bisa berbuat seperti itu. Di sinilah Allah memadamkan seluruh pengakuan dan menyingkap kedok kepalsuannya dalam firmanNya :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ [ آل عمران/31]

Katakanlah jika kalian benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan memaafkan dosa-dosa kalian, dan Allah maha pengampun lagi penyayang.” (Q.S. Ali-Imron : 31)

Di antara indikasi cinta kepada Allah adalah mencintai orang-orang yang taat kepada Allah, loyal kepada wali-wali Allah, dan memusuhi orang-orang yang membangkang kepada-Nya, berjihad melawan musuh-musuh-Nya dan menolong para penolongNya. Semakin kuat kecintaan hamba kepada Allah maka semakin kuat pula praktik amal-amalnya.

Wallahu a’lam

Disarikan dari berbagai sumber

Alby, mahasiswi Universitas Hasyim Asy’ari