Mahasantri dalam Musykerwil Dema Amali Jatim 1

Oleh: Al Fahrizal*

Mahasantri merupakan sebutan bagi mahasiswa yang menjalani masa pendidikan tinggi dan bertempat tinggal di pesantren. Menjadi seorang mahasantri memiliki banyak keuntungan dan peluang, meski bagi sebagian orang dipandang skeptis dan terkekang. Namun, hal itu dapat dibantahkan jika mereka berani untuk dialog terbuka dan diskusi sehat.

Istilah mahasantri secara resmi digunakan oleh lembaga perguruan tinggi pesantren, yakni Ma’had Aly. Ma’had Aly merupakan perguruan tinggi resmi yang diselenggarakan oleh pesantren dan menganut kurikulum pembelajaran khas pesantren.[1]

Ada satu titik besar yang membedakan antara mahasiswa dan mahasantri. Titik tersebut terdapat di pesantren. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren berpengaruh besar dalam membina dan mendidik seseorang menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur. Terlepas dari berbagai stigma negatif akibat suatu oknum yang kemudian menyorot pesantren secara keseluruhan, demikian pesantren tetaplah murni sebagai lembaga pendidikan karakter yang paling efektif.

Setidaknya, mahasantri dengan pesantrennya dapat menyentuh tiga tanah pendidikan karakter; kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kemudian, secara kultur keseharian, mahasantri tentu lebih terjaga dari sisi negatif pergaulan bebas. Hal ini tidak bisa disepelekan, bahwa kepribadian seseorang yang menjadi kunci dan modal membangun masa depan itu dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Meskipun demikian, mahasantri secara tuntutan sama halnya seperti mahasiswa. Asas Tridharma Perguruan Tinggi yang berorientasi pada pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat juga diemban oleh mahasantri. Maka, posisi mahasantri adalah posisi yang memiliki pengaruh besar bagi bangsa. Bahwa mereka sebagai agent of change, social control, serta iron stock hendaknya menjadi landasan gerak dan pemikiran yang senantiasa diemban. Terlebih lagi status mahasantri yang dengan jelas memiliki fungsi yang nyata ketika terjun di masyarakat.

Sudah Saatnya Mahasantri

Keunggulan yang dipaparkan sebelumnya hanyalah butiran permata ditumpukan pasir. Permata selamanya tetap berharga, namun dampak apa yang didapat kalau permata tak mampu melahirkan permata-permata selanjutnya kecuali kebanggaan akan hakikat diri yang anggun dan berkilau. Sehingga, permata indah itu hanya menjadi objek kesombongan dan keangkuhan pribadi.

Lantas, dalam rangka menjawab tantangan tersebut, mahasantri harus mempunyai landasan berpikir dan kekuatan bertindak yang global. Ia tidak hanya membuat dirinya bermanfaat, tetapi lingkungan dan sekelilingnya juga menjadi manfaat. Karena yang kami yakini, tidak ada satupun mahasantri Ma’had Aly yang tidak menguasai keilmuan Islam yang menjadi bahan dasar pembelajaran dan makanan sehari-harinya. Untuk mewujudkan visi di atas mahasantri harus mempunyai sebuah sistem pengembangan dan pengendalian diri di mana dirinya ditempa agar memiliki karakter sosial yang tinggi. Kami menyebut hal ini dengan “organisasi.”

Ada berbagai macam bentuk organisasi yang ada di muka bumi ini. Namun, yang kami maksud adalah organisasi kemahasiswaan, di mana secara definisi itu yang paling sesuai dengan visi yang telah kita paparkan sebelumnya.

Untuk mewujudkan cita-cita kebermanfaatan seorang mahasantri, mereka membutuhkan suatu wadah agar tujuan seluruh mahasantri di Indonesia dapat diraih barsama. Saat ini, ada sekitar 15.000 lebih mahasantri[2] yang tersebar di seluruh Indonesia dan ini merupakan kekuatan yang luar biasa. Sehingga kekuatan besar ini akan terbuang sia-sia jika tidak dikelola dengan baik. Semangat kita sebagai seorang mahasantri harus mengarah kepada kesadaran akan pentingnya pengetahuan tentang organisasi. Maka setiap mahasantri harus memiliki semangat dan kesadaran organisasi terlebih dahulu agar wadah akbar ini dapat dikelola dengan baik.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : خَطَبَنَا عُمَرُ بِالْجَابِيَةِ فَقَالَ : … عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ ؛ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنْ الِاثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ (رواه الترمذي رقم: ٢١٦٥)

Dalam kitab Tuhfatul Ahwazi disebutkan bahwa makna kata al-Jama’ah, ialah terorganisir.

Kemudian disebutkan dikutip dari pendapat imam At-thabari bahwa makna hadis tersebut adalah adalah keharusan untuk berjamaah dalam ketaatan sehingga terhimpun untuk melaksanakannya secara seksama.

Ada dilema mendalam antara memilih kuliah atau organisasi? Jawaban sederhana yang dapat kami berikan adalah mengganti kata penghubung ‘atau’ menjadi ‘dan’. Dua elemen ini tidak dapat dipisahkan dari jiwa seseorang mahasiswa di seluruh dunia. Karena sangat disayangkan jika mahasantri disibukkan dengan kegiatan akademik, kemudian ia menjadi pakar di bidang yang ia geluti, kemudian tidak berorganisasi, maka ia pengetahuannya untuk mengolah ilmunya tersebut ke masyarakat luas akan sangat minim. Pun sebaliknya. Maka seorang mahasantri harus seimbang antara kuliah dan organisasi.

Akhir kata, mahasantri akan selamanya berada di garis belakang jika tidak berani untuk membuka diri ke dunia luar. Pesantren adalah etika hidup, penguasaan dunia adalah sikap keterbukaan diri.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

[1] UU no 18 tahun 2019

[2] Data saat wawancara bersama Ketua Amali