sumber gambar: www.google.com

Oleh: Umdatul Fadhilah*

Sukses merupakan satu kata pembuktian bahwa seseorang telah berhasil dalam menggapai sesuatu atau kehidupannya lebih sejahtera dibanding sebelumnya, terlihat jauh lebih baik daripada orang lain. Sukses selalu menjadi tujuan utama para insan untuk berlomba-lomba meraihnya. Sukses cenderung terlihat saat seseorang telah memiliki segalanya, kacamata orang lain selalu memandang bahwa hidup bermegah-megahan, bergelimang harta, serta pencapaian seseorang kerap kali menjadi acuan bagaimana itu ‘sukses’. Padahal sejatinya sukses tidak melulu tentang duniawi. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri hal tersebut menjadi salah satu tolak ukur sukses dari berbagai sudut pandang.

Tapi bagaimanakah jika yang dipandang sukses, bergelimang harta, segalanya tercukupi namun masih merasa kurang, masih sering mengeluh, masih merasa kurang bahagia. Tentu hal ini menjadi salah satu koreksi untuk bisa dilihat lebih jeli, apa yang salah dari orang-orang demikian.

Ada banyak cara untuk menyelami hal tersbut. Problematika seseorang yang cenderung tidak bersyukur atas apa yang dimilikinya. Kita dapat mempelajarinya dengan melihat berbagai fenomena, kita juga dapat mengoreksi serta belajar memperbaikinya melalui apa saja. Baik kisah ulama pada zaman dahulu maupun tokoh-tokoh sukses dewasa ini. Pun tak perlu jauh-jauh untuk mencari solusinya. Mari lihat kondisi sekitar. Salah satunya kehidupan di pesantren.

Penjara yang dikenal suci menjadi tujuan berbagai insan untuk dapat singgah di sana, melahap segala ilmu, pengetahuan serta barokah yang ada di sana. Hidup bersama dengan belasan hingga ribuan santri tidak mudah untuk mendapatkan kekompakan meski memiliki tujuan bersama. Ada saja perbedaan budaya, sifat, sikap yang bisa membuat geleng-geleng kepala maupun benteng kesabaran yang tidak boleh lengah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Berdasarkan fenomena yang terjadi di dunia pesantren. Kita dapat memetik beberapa hal dimana setiap tempat adalah ruang belajar dan setiap orang adalah guru. Jadi, setiap kenangan adalah pengalaman. Dimana pepatah mengatakan “Pengalaman adalah guru terbaik”.

Jujur

Santri dibekali dengan berbagai ilmu agama, tauhid, fikih maupun akhlak. Hal yang paling mendasar untuk membentuk pribadi yang berakhlakul karimah yaitu jujur. Seseorang jika sudah bisa jujur, baik ke diri sendiri maupun orang lain, ia akan mudah untuk dipercaya. Kepercayaan menjadi salah satu upaya seseorang itu dapat disebut baik. Meski sudut pandang orang lain, tidak melulu sama. Setidaknya kita punya upaya untuk bisa selalu berbuat baik, salah satunya jujur.

Tanggung Jawab

Santri juga dituntut untuk bisa bertanggung jawab. Hidup berdampingan dengan berbagai kalangan menuntut setiap santri untuk bisa berkomitmen, melakukan segala tanggungan yang dibebankan pada dirinya. Atau mudahnya, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menyelesaikan itu. Seperti, santri yang menghafal Al-Quran harus mampu mempertangggungjawabkan hafalannya, santri yang diminta piket harus mempu menyelesaikan. Hal tersebut dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

Disiplin

Santri haruslah disiplin. Bagaimana tidak, hal ini bisa dilihat dari jadwal kegiatan sehari-harinya yang selalu sama dan terjadwal. Dari bangun Tahajud, sholat lima waktu berjama’ah, kegiatan diniah dan pengajian hingga tiba waktu makan dan mandi yang tidak jauh-jauh dari kata antri.

Toleransi

Santri yang hidup dari berbagai suku dan kebudayaan, mengharuskannya untuk dapat bertoleransi, mampu menerima kebiasan-kebiasaan orang lain yang mungkin tidak seperti budaya kita. Mulai dari sikap hingga bahasa. Semua demi terciptanya kerukunan dalam menimba ilmu diperantauan penuh barokah.

Kerja Keras

Santri juga bisanya pekerja keras. Dari mulai belajar bersama bersungguh-sungguh, terfokus pada hafalan, ro’an pesantren bersama-sama. Hal tersebut menjadi salah satu contoh adanya kerja keras santri dalam menuntut ilmu di sebuah pesantren.

Seperti itulah kelima nilai dari santri berdasarkan pengamatan serta penilaian penulis dalam fenomena yang terjadi di sekitar lingkungan pondok pesantren. Bahwa nilai-nilai tersebut sejatinya dapat membawa kita pada kesuksesan yang sesungguhnya. Dimana bersyukur menjadi kunci utama dalam mencapai derajat kesuksesan. Melalui lima kunci sukses ala santri, bisa diawali dari hal yang kecil seperti jujur, tanggung jawab, disiplin, toleransi serta kerja keras. Marilah untuk bisa saling koreksi diri. Mudah-mudahan kita senantiasa menjadi insan yang bersyukur.

Wallahu a’alam bisshowab.

*Mahasiswa Unhasy Jombang.