sumber ilustrasi: jatma.com

Oleh: Putri Ulia Rahma*

Ilmu tasawuf menuntun manusia ke dalam cinta hakiki, lautan hadirat Tuhan, meninggalkan kekotoran hati untuk mendapatkan hubungan dekat dengan Tuhan. Tasawuf mengajarkan tawakal, zuhud, dan sabar yang diaplikasikan dalam keseharian. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Salik yang ingin mencapai tingkatan batin sampai ke hadirat Tuhan, harus melewati berbagai amalan lahiriyah terlebih dahulu; syari’ah, thariqah dan hakikat.

Salah satu ajaran tasawuf tersebut dibawa oleh Abu Yazid al-Bustami dengan nisbat tempat lahirnya, Bustam, tempat di bagian timur laut Persia. Ia lahir dengan nama lengkap Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan pada tahun 188 H/ 874 M. Nama kecilnya adalah Thaifur, dikenal juga dengan Bayazid Bustami, seorang sufi Persia yang terkenal pada abad ke III H.

Keluarga Bayazid merupakan keluarga berada, tetapi lebih memilih menjaga kehidupan dari duniawi. Ayahnya merupakan tokoh masyarakat di Bustam. Ibunya seorang wanita taat beragama, zahidah, dan memiliki saudara yang juga sufi; Adam dan Ali, meskipun tidak seterkenal Bayazid. Sejak dalam kandungan, jika ibunya memakan yang ragu kehalalannya, maka Bayazid akan memberontak sehingga menyebabkan ibunya muntah. Bayazid remaja dikenal sebagai anak patuh terhadap perintah agama dan berbakti.

Sebelumnya, Bayazid seorang fakih madzhab Hanafi, belajar tasawuf dibimbing oleh gurunya, Abu A’li Al-Shindi, dan belajar rahasia dari ajaran peniadaan diri yang terkenal, ilmu tauhid, serta ilmu hakikat. Pengaruh tersebut menyebabkannya memilih zuhud seperti menyedikitkan makan, minum dan tidur. Zuhud menumbuhkan cinta dalam, hingga dia memperoleh ma’rifah hakiki sampai pada maqam al-baqa’. Kehidupan zuhud dijalaninya 13 tahun dengan mengembara gurun-gurun di Syam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Abu Yazid al-Bustami, sufi yang istimewa dalam kalangan sufi dengan maqam paling tinggi. Sufi pertama yang mempopulerkan al-Fana’ dan al-Baqa’ dalam tasawuf dan menggabungkan antara penolakan kesenangan dunia dan kepatuhan pada agama dengan cara luar biasa.

Tasawuf Bayazid tidak keluar batas syara’. Dia memberikan ucapan berisi tasawuf dengan perkataan yang jelas, bahkan juga melalui perkataan aneh akan tetapi bermakna sangat dalam. Ucapannya berisi kepecayaan hamba dan Tuhan sewaktu-waktu dapat bersatu, hal tersebut disebut madzhab Hulul atau perpaduan.

Ajaran tasawufnya adalah al-Fana’, al-Baqa’, dan al-Ittihad. Fana’ berarti lenyap. Fana’ adalah memutuskan hubungan dengan selain Allah, bermakna sifat-sifat kemanusiaan digantikan sifat-sifat ketuhanan sehingga hilang sifat tercela. Fana’ diliputi hakikat ketuhanan, sehingga hilang suka terhadap syahwat. Lawan kata fana’ adalah baqa’. Bagi sufi, fana’ adalah membinasakan diri dari duniawi, yang tersisa dalam hidupnya hanyalah Tuhan. Hal itu yang dimaksud dengan menghancurkan dirinya (tidak sadar) dan bersatu dengan Tuhan.

Sufi yang mengalami fana’, berarti juga menjalani baqa’. Baqa’ berarti mendirikan segala sifat terpuji karena Allah, sehingga kekal sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri seorang sufi. Ajaran tasawuf Abu Yazid, fana’ dari diri sufi, dan baqa’ dengan Tuhan. Baqa’ dengan Tuhan bermakna hati selalu bersama Allah, lenyap sifat-sifat indrawi sehingga yang menjadi kekal sifat ilahiyah.

Tahapan setelah fana’ dan baqa’ adalah ittihad. Al-Ittihad memiliki arti dua benda menjadi satu. Ittihad merupakan suatu kedudukan dalam tasawuf, seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan secara substansi, antara yang mencintai dan yang dicintai maupun secara perbuatan. Sufi merasakan hanya satu wujud, hilang identitas dan menjadi satu. Fana’ menjadikan tak punya kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.

Abu Yazid yang telah dekat dengan Tuhan dilihat dari ucapannya yang disebut syathahat; ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh seorang sufi yang berada di tingkat ittihad. Sebelum dirinya, belum pernah terdengar sufi mengucapkan syathahat.

Diantara syathahat Bayazid adalah “Hiasilah aku dengan keesaanMu”, dialog tersebut mengilustrasikan begitu dekatnya dengan Allah, bahkan godaan pengalihan pehartian makhluk ditolak. Bayazid hanya meminta bersatu dengan Tuhan. Permohonannya diijabah Allah, sehingga terjadi persatuan yang disebutkan dalam ungkapan “Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhlukKu.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau”. Jika sekilas diperhatikan, syathahatnya berkesan syirik. Oleh karena itu, disebutkan dalam sejarah terdapat sufi ditangkap dan dipenjara atas ucapannya yang membingungkan bagi orang awam.

Sebenarnya syathahat bukan berarti bahwa dirinya sebagai Tuhan layaknya Fir’aun, tetapi suara Tuhan yang menyalur lewat lidah Bayazid dalam keadaan fana’an nafs. Syathahat seorang sufi keluar dari lisan ketika dalam keadaan tidak sadarkan diri dengan gejolak perasaan yang kuat.

Ajaran sufinya tidak ditemukan dalam bentuk buku, tetapi mewariskan syathahat. Hal ini disampaikan oleh muridnya. Tercatat dalam kitab tasawuf klasik; ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Tabaqat as-Sufiyyah, Kasyf al-Mahjub, Tazkirah al-Auliya, dan al-Luma.

Corak pemikiran tasawufnya yang berkembang menarik perhatian berbagai pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari sinilah muncul beberapa sufi yang filosofis berkonsep tasawuf filsafati.

Abu Yazid Al-Bustami, sufi dengan keilmuan, ketabahan, dan ketekunan yang luar biasa dalam mengagungkan perintah Tuhan, dan menjadi teladan bagi umat Islam di seluruh dunia.

Abu Yazid meninggal di tempat pengasingannya pada tahun 260 H/874 M. Makamnya terletak di Bustam dan menjadi tempat ziarah terkenal bagi muslim seluruh dunia.


Referensi tulisan:
Aidah, S. N. (2020). 25 Kisah Pilihan Tokoh Sufi Dunia. Yogyakarta: Penerbit KBM Indonesia.
Bistara, R. (2020). Menggurat yang Silam Menyurat yang Menjelang (Esai-esai Pemikiran Islam). Guepedia.
Dalmeri. (2016). Menggugat Persatuan Roh Manusia dengan Tuhan: Dekonstruksi terhadap Paham Ittihad dalam Filsafat Abu Yazid Al-Bustami. Kajian Keislaman, 139.


*Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.