Tebuireng.online– Penulis buku Menjerat Gus Dur, Virdika Rizki Utama menghadiri Diskusi dan Bedah buku “Menjerat Gus Dur” yang diadakan oleh BEM Universitas Hasyim Asy’ari bersama UKM Forum Unhasy Menulis (FUM) di lantai 3 Gedung KH Yusuf Hasyim pada Kamis (20/02/20).

Virdika Rizki Utama menceritakan awal ia menulis buku tersebut yaitu menemukan dokumen yang berasal dari tumpukan map yang dikeluarkan saat satu tahun renovasi partai Golkar di  gedung Jakarta. Dengan rasa  penasaran  ia tanya dan dan akhirnya diperbolehkan untuk lihat-lihat. Ternyata dokumen tersebut  sudah dianggap sampah.

“Gus Dur ini berada di masa-masa genting dan transisi dari pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang lebih demokratis. Jadi dijelaskan dalam sebuah buku bahwa dalam masa transisi itu adalah masa yang paling penting, bagaimana sebuah negara itu dibentuk  dan pada masa transisi ini pula  ada perlawanan besar, semasif  dari kelompok rezim lama yang masih tidak senang dengan adanya perubahan tersebut,” tambahnya

Virdika juga menjelaskan faktor mengenai terjadinya pelengseran Gus Dur bahwa Gus Dur menjadi presiden bukan karena ambisi politik, beliau tidak serius-serius sekali. Tapi mau tidak mau, ia harus merangkul semuanya  dan  dijalani terlebih dahulu. Karena pihak Gus Dur moderat, mau tidak mau harus menampung dulu kelompok-kelompok lama. Tidak bisa sekaligus memotong kelompok lama untuk tidak lagi terlibat. Karena ini masa reformasi bukan revolusi.

Dan pada 20 bulan kepemimpinan Gus Dur, lanjut Virdika, itu berhasil melakukan pembuatan demokrasi kehidupan Indonesia yang paling mendasar dan tidak ada yang bisa menyamai kepemimpinan Gus Dur. Karena politik tidak dijadikan kekuasaan tapi sebagai nilai dan Gus Dur juga mengutamakan tujuannya yaitu berbangsa dan bernegara serta konsisten tidak larut dalam kompromi- kompromi yang ada .

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di menit-menit terakhir sebelum menutup penjelasan mengenai buku yang ditulisnya, Virdika memaparkan mengenai 3 tujuan dari penulisan buku “Menjerat Gus Dur”. Yang pertama adalah mengingatkan bahwa musuh utama dalam berpolitik dan bernegara adalah para oligarki yang tidak patuh hukum.

“Kalau saya berandai-andai meski dalam sejarah tidak boleh berandai-andai. Andai Gus Dur setidaknya bertahan sampai 2004, peta politik di tahun 2004 akan berbeda,” ucapnya.

Menurut Virdika politik tidak hanya dijadikan sekedar transaksi. Jika hal itu terjadi, maka yang didahulukan oleh presiden atau pemerintah hanyalah kelompok transaksi terlebih dahulu daripada rakyat. Sedangkan yang kedua adalah pelurusan sejarah. Sebagai lulusan pondok pesantren, Virdika memiliki harapan bahwa kedua bukunya akan menjadi kurikulum minimalnya menjadi kurikulum pesantren untuk meluruskan pemahaman masyarakat terhadap sejarah bangsa Indonesia.

“Kalau dalam pendidikan, itu adalah kita masalah nanti anak-anak muda yang sedang belajar sejarah mau SD, SMP, SMA sampai hari ini ketika membahas reformasi, Gus Dur dipecat karena terlibat korupsi,” ungkap Vidika. Dan menurutnya, hal inilah yang harus diluruskan dari sejarah.

Sedangkan yang terakhir, Virdika ingin mengajak untuk meneliti atau menelaah kembali info yang didapatkan dari buku “Menjerat Gus Dur” baik dari aspek media, sosiologi maupun kritik.

“Jangan takut. Biasanya anak muda atau generasi saya menulis sejarah yang kontroversi pasti akan dicap sebagai biang kerok yang kemudian menganggap akan membangkitkan kemarahan dan balas dendam. Ini adalah pandangan yang keliru,” pungkasnya.

“Yang saya dapatkan dari dari kepemimpinan Gus Dur yaitu berjuang  dan konsisten, konsisten tidak setengah hati, Karena dengan setengah hati tidak menghasilkan apa-apa,” ungkapnya mengakhiri penjelasannya itu.


Pewarta: Adawiyah/Lu’luah