Oleh: Sugendal dan Cak Wungkul*

Pada awalbaboe kejadiannya, manusia diciptakan lapar sebagaimana ia diciptakan telanjang. Sejak manusia baru dilahirkan ia sudah dibekali rasa “lapar”, membutuhkan suatu kekuatan untuk bertahan hidup. Oleh sebab “lapar,” seorang bayi akan menggunakan tangisannya untuk bertahan hidup sampai kemudian si bayi berangsur-angsur tumbuh berkembang menjadi manusia yang memiliki daya pikir sesuai dengan apa yang ia alami. Di samping proses berpikir, ia juga memiliki kerangka tubuh dan ruas-ruas otot yang semakin lama semakin berkembang pula, dengan tubuh itu dan seiring dengan berjalannya waktu, maka sudah tidak hanya menggunakan tangisan sebagai upaya untuk bertahan hidup, tetapi sudah masuk ke tahap pendayagunaan segala sesuatu yang melekat pada dirinya.

Namun begitu, meskipun manusia memiliki kemampuan berpikir dan memiliki otot untuk melakukan suatu pekerjaan, ia tidak secara otomatis bisa memunculkan segala kehendak dalam dirinya. Ada kekuatan lain yang mengikat kehendak tersebut, baik itu disadari atau tidak. Ialah Gusti AllahYang Maha Berkehendak yang dapat membuat hati itu bergetar, yang dapat membuat otak itu berpikir jernih dan membuat setiap anggota tubuh berkerja dengan baik, bahkan “anta turid wa ana urid, wallahu yaf’alu maa yuriid.”

Sebuah tulisan yang awalnya kami anggap “wah” dengan judul “Risalah Tirai; Nafas”, yang ditulis oleh Aboe wal Kamalia, termasuk yang tendensius dalam mengulas makna kesadaran akan kekuatan yang mengikat ini, bahkan dalam salah satu uraiannya disebutkan “manusia yang bernafas tanpa mengingat Allah swt. Yang menciptakan alam semesta dan segala isinya, tak lebih dari zombie atau mayat yang berjalan di atas bumi.” Serta mungutip ungkapan para sufi “sebaik-baik ibadah kepada Allah adalah menghitung nafas bersama Allah.”

Keterbatasan -juga- Adalah “Lapar”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sekilas pandangan akan kesadaran seperti ini dapat dipahami dan dimaklumi di dalam skema penghambaan seorang hamba kepada Tuhannya secara totalitas, hal semacam itu memungkinkan untuk dilakukan dalam lingkup yang lebih intim atau individu, tanpa adanya keterikatan yang terlalu jauh pada lingkup kehidupan yang luas nan kompleks, yakni selain hubungan antara hamba dengan Tuhan-nya, seorang hamba akan dihadapkan antara hamba dengan hamba yang lain, dan hubungan hamba dengan alam semesta, maka secara otomatis memiliki tantangan yang amatlah sulit, sebab banyak faktor yang menghambatnya semisal, bagaimana cara seorang manusia menghitung setiap nafasnya bersamaan dengan mengingat Gusti Allah selama 24 jam terus-menerus, bagaimana seorang hamba bisa berbincang secara intensif dengan hamba lain sedangkan pikiran dan kesadarannya focus pada nafasnya yang mengalir bersama Gusti Allah. Tentu hal seperti itu akan menjadi sulit bila dilakukan dalam interaksi masyarakat secara luas. Betapa amazingnya dalam satu waktu melakukan dua perkara sekaligus kalau bukan buang air besar dan kecil. Kalaupun ada itu anomali.

Sehingga mengenai sadar atau tidak sadar, bukan menjadi masalah yang berarti ketika dihadapkan kepada interaksi kehidupan antar manusia. Karena hal itu sudah menjadi sunnatullah, hal yang pasti terjadi di dalam kehidupan manusia, sehingga kesadaran dalam hal ini merupakan suatu yang relatif di dalam kehidupan manusia.

Seorang pejuang cinta yang menggebu-nggebu akan hasratnya untuk mendapatkan seorang yang didamba yang belum jelas rimbanya akan jauh lebih menarik, lebih “beraroma”, lebih membuatnya hidup, berdebar-debar seakan hanya ia seorang yang merasakan hidup dari sebuah kehidupan, “lapar” membuatnya banyak belajar dari arti perjuangan, dengan harap-harap cemas ia menikmati plot cintanya. Dari sebuah keterbatasanlah, entah waktu, daya maupun upaya, akan membuat seseorang semakin menikmati sebuah keintiman “bercinta” dengan Tuhan-nya, semoga.

Menyeimbangkan “Lapar” Sebagai Hasrat

Gusti Allah mengganjar keutuhan jasad bagi seorang yang hapal Kalam-Nya. Namun, Gusti Allah juga lebih memperhatikan proses daripada hasilnya, mengimplementasikan perintah yang terkandung di dalam Kalam-Nya jauh lebih baik ketimbang hanya menyuarakannya entah dengan lantang ataupun bissirri lirih dalam hati, syukur bisakeduanya. Umpamanya, nunggu istri belanja sambil nderes al-Qur’an, ro’an sembari membaca Quran dan maknanya.

Seorang miskin yang sabar lebih utama daripada seorang kaya yang bersyukur. Tentu secara kwalitas akan berbeda ketika ada orang kaya dan miskin memberi sumbangan dengan besaran nominal yang sama. Dengan kata lain, kuantitas sama namun kwalitas berbeda. Ya, usaha nyata, tidak berlebihan jikalau mewujudkan rasa syukur dari kelebihan rizki kemudian mengimplementasikannya dengan cara memberi gorengan pada kawan yang lapar akan jauh lebih mulia daripada hanya sekedar mengingat Gusti Allah dalam kata (baca: melafalkan hamdalah). Hal ini berarti, ada hubungan vertical ada horizontal. Bukankah Gusti Allah akan memaafkan selagi kita mau maaf-memaafkan terhadap sesama? dan bukankah Gusti Allah meringankan hambanya yang juga mau meringankan sesamanya. Bahkan jauh dari pada itu, Gusti Allah bahkan Maha Pengasih yang tak pilih kasih, masa kita sesama hamba itung-itungan, mau ngungkuli Gusti?

Seimbangkan!

Keniscayaan, “Lapar” dan “Kenyang”

Setiap perbuatan yang dilakukan manusia adalah bagi manusia itu sendiri. Bila pun seluruh umat manusia bersekongkol untuk tidak sadar kepada Gusti Allah maka tidak sedikit pun upaya tersebut dapat mengurangi keagungan Gusti Allah, sebaliknya meskipun seluruh umat manusia bersepakat untuk berbuat sadar kepada Gusti Allah, maka tidak akan sedikit pun upaya tersebut menambah kemulyaan Gusti Allah.

Sama halnya ketika seorangmanusia memberikan segala sesuatu yang dimilikinya kepada orang lain atas dasar kesadaran, maka pemberian itu tidak akan menambah sedikitpun terhadap kekayaan Gusti Allah, seorang sufi mengibaratkan perbuatan manusia seperti sepotong jarum yang ditenggelamkan kedalam samudera yang tidak akan tampak sedikitpun karena sepotong jarum bagi luasnya samudra. Bahkan itupun masih berlebihan.

Tidak ada setiap amal perbuatan manusia itu berpengaruh kepada keagungan Gusti Allah. Dengan kata lain Gusti Allah tidak butuh. Malah sebaliknya, hamba-Nyalah yang butuh keagungan-Nya. Sebab itu Gusti Allah membekali hamba-hamba-Nya rasa “lapar”, “lapar” akan banyak hal. Mustahil untuk mencapai kepada-Nya tanpa ada usaha dan proses yang panjang. Di sinilah kita butuh “lapar,” bukan kenyang. Entah lapar dalam dalam keilmuan atau kemauan.

Dalam hal ini, “kenyang” berpotensi sebagai waktu jedah akan “lapar” yang berkepanjangan. Maka, bersyukurlah bagi hamba sekalian ketika masih dianugerahi Gusti Allah rasa “lapar” hingga menggelepar. Bukan sabar.

Lapar (tanpa tanda kutip, kutipnya dibuang)

Pernah dikisahkan yang diriwayatkan Imam Bukhori, bahwa seorang pramuria hanya lantaran menolong anjing yang terkapar di jalan dengan cara memberikan minum lantas diganjar surga oleh Gusti Allah. Ini baru memberi minum, yang identik dengan haus, bukan lapar. Bagaimana andaikata sampai memberikan makan agar kenyang?

Saat kami berbincang ringan hingga menjadi tulisan buram ini, jangankan nasi sebagai makanan pokok bangsa tercinta ini, gorengan saja belum berhinggap sama sekali ke perut kami. Tidak mengurangi rasa syukur kami, kami mendaulat diri kami sendiri Bahwa Kami Adalah Hamba yang Lapar. Wahai hamba Gusti Allah yang kenyang, tak perlulah kalian semua menyusuri jalan mencari secercahharapan guna menemukan anjing yang terkapar, alamat kami di Jatirejo sini, bisa hubungi kami di nomor ini, kosongnya tiga kali, tiganya lima kali, limanya tiga kali, tiganya lima kali, kalinya… eh, pokoknya itu.

Nomer di atas, atas nama Sugendal dan Cak Wungkul, kami bukan LGBT, kami hanya sekontrakan.


*Sugendal adalah endemic Sampang, kecil di Sampang, belia di Pamekasan, remaja dianiyaya, dewasa jadi Gubernur.

*Cak Wungkul adalah seorang Baboe (BAkoel BOEkoe) yang bisa di temui di Shoutunnida’