Oleh : Ikmaluddin Fikri**
Hari yang menyenangkan, empat hari penentuan telah kulewati dengan perasaan dilema. Yah, setidaknya semuanya telah ku lewati, persoalan hasil yang kurang memuaskan aku tak perlu khawatir, aku terlalu yakin akan kelulusanku walau arah tak menentu ke mana langkah kaki ini selanjutnya akan berjalan. Ujian nasional yang kata orang-orang bagaikan hari penghitungan amal tak terlalu memusingkanku, walau entah perasaan yang sama akankah kulewati esok di yaum al-hisab yang sesungguhnya.
Sudah tiga hari berlalu setelah hari panas dingin itu, Ujian Nasional (UN) sudah berlalu tapi kepastian belum ku tuju. Orang tuaku tak terlalu memaksakanku akan masa depanku, biarlah kehidupanku aku yang menjalani. Toh, aku tak pernah meminta dan memaksa akan ke mana, cuma sebagai orang tua mereka pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Satu-satunya himbauan mereka kepadaku, agar aku meneruskan pendidikanku di pesantren ini. Mereka sadar, waktu tiga tahun bukanlah waktu yang lama dan memuaskan bagi seorang santri. Jika dianalogikan dalam menanam, kita baru menabur benih dalam tanah, belum menguburnya, mengairinya, memupuknya, bahkan bisa dikatakan bertunas pun kita belum.
“Fal, kau mau kemana habis ini?” Teman baikku Halim menanyaiku.
“Ke jeding, mau ikut?” Candaku kepadanya.
“Yee.. yang bener aja, maksudku itu kau mau kuliah di mana habis ini?.”
“Nggak tahu Lim, aku belum punya pandangan.”
“Kamu mau ikut aku nggak, daftar di Ma’had ‘Aly?”
“Ma’had ‘Aly mana Lim?” tanyaku.
“Itu loh.. Ma’had ‘Aly Al-Muhajirin, Ma’had Aly pesantren kita, masak nggak tau!?”
“Oh, ayo coba aja.. berhubung aku juga belum kepikiran mau ke mana. Ya udah aku ikut kamu aja Lim.” Aku pun mengiyakan ajakan teman baikku ini, berhubung aku juga belum kepikiran tentang masalah yang sensitif ini, ya masa depanku. Setidaknya aku sudah memenuhi himbauan orang tuaku tentang jenjang pendidikanku.
“Sementara aku mau tidur dulu ya lim, masih ngantuk gara-gara euforia la decima-nya Real Madrid tadi malam.” Kemenangan tadi malam memang cukup mengejutkanku, sempat tertinggal dalam kurun waktu yang cukup lama, malah menyamakan kedudukan di masa-masa injury time, bahkan menggandakan skor di babak kedua extra time. Pertandingan yang cukup gila.
Semua persyaratan dan administrasi telah ku selesaikan. Aku dan Halim cukup antusias dalam hal ini, mungkin karena memang keseriusanku inilah yang membuatku tak tahan jika harus menunda-nunda. Sekarang saatnya tes penerimaan. Nahas, teman baikku ini tak bisa mengikuti tes kali ini. Dia terpincut dengan tes lain yang lebih menggiurkan daripada Ma’had ‘Aly ini. Ya.. nama besar Al-Azhar membuat dia lupa dengan aku yang diajaknya belajar bersama di tempat ini. Aku tak tahu harus berbuat apa, tapi ya sudahlah takdir berkata lain, aku hanyalah pion yang bergerak menurut kehendak sang Tuhan. Matikah aku atau hidupkah aku, semua ditangan-Nya.
“Permisi…” Saut seorang gadis kepadaku. Aku tak tahu apakah yang baru menyautku itu. Aku tahu dia seorang gadis, tapi tak pernah ku jumpai gadis seindah dia.
“Iya, silahkan.” Jawabku terlalu malu. Wajar, selama tiga tahun ku berada di tempat ini, yang ku jumpai hanyalah sosok “batangan” yang tak pernah bisa mengesankan seorang pecinta keindahan ini. Senyumnya terlalu indah untuk ku lihat, suaranya terlalu elok untuk ku dengar, bahkan bau parfum pasaran yang dia kenakan tak terlalu masalah buatku karena sosok indah inilah pemakainya.
“Mbak asalnya mana?” kucoba memulai interaksi dengan gadis ini, untung-untung satu-dua lirikan, tanpa perkataan pun tak masalah.
“Solo mas.” Ucapnya pelan dan agak damai di hati.
“Oh.. Solo, kenapa bisa daftar kesini? Bukannya ada lebih banyak perguruan tinggi yang lebih bagus dari sini, diakui lagi.”
“Yah.. bukan apanya mas, tapi yang saya tahu dari tempat ini adalah nama besar dan barokah yang orang-orang klaim dari tempat ini. Saya sebenarnya tak terlalu suka mas, tapi berhubung orang tua saya menginginkan saya disini, ya mau apa lagi.” Jawabnya yang tak terlalu mengasikkanku, tapi tak apalah itukan opini seseorang.
“Oh iya mbak, aku Naufal.” Kataku dengan percaya diri padanya.
“Nafisah mas,” jawabnya. Ternyata dia tak terlalu tertutup dan masih mau memberitahukan namanya kepadaku.
***
Tiga tahun aku berada di sini, tak kusangka secepat ini waktu yang ku jalani di tempat yang mengesankan ini. Lima semester ku lalui bagaikan baru setahun yang lalu aku mencatatkan namaku di kertas registrasi bersamaan dengan uang Rp. 150. 000 dan jaminan perkuliahan gratis selama delapan semester. Yah, bahkan Syekh Timur Tengah yang dulu selalu ku takuti itu telah kembali ke tanah airnya.
Lima semester aku belajar di kampus tercinta ini dan lima semester pula tanpa urusan cinta. Yah, bisa dikatakan aku terlalu fokus untuk belajar di tempat ini. Walau sudah beberapa kali aku mengenal beberapa gadis yang ku rasa cocok dan harus aku dapatkan, mulai dari anak dosen, teman sekelas, adik kelas yang baru masuk jadi mahasiswi baru ketika aku di semester 3, sampai-sampai mahasiswi kampus sebelah, tapi tak ada yang berani aku dekati, bahkan bertatap muka dan chating di media sosial dengan mereka pun aku merasa sungkan. Si Nafisah yang dulu pernah ku temui di tes penerimaan mahasantri ternyata tak meneruskan studinya di tempat ini. Aku sempat melihat namanya di pengumuman daftar mahasiswa yang diterima, tapi entahlah mungkin dia benar-benar tak ingin berada di sini.
“Fal, kamu tahu nggak gadis-gadis mahasantri baru bening-bening lho!?” kata Amir teman seangkatanku.
“Eh.. Itu cewek apa botol sirup mir, bening emang kaca?”
“Yaelah Fal, Fal, kayak nggak tahu istilah cowok aja.”
“Percuma Mir.. Aku nggak terlalu ngurusi cewek sekarang ini, aku pengen fokus kuliah, pengen cepet lulus, bawa pulang gelar SA, sulthonul awliya’ ke rumah. Ibu-bapak udah pada nunggu.”
“Iih.. Gayamu Fal, paling kalau ada yang kau suka kalap mata deh kau, yakin.”
“Tenang aja, aku orangnya berprinsip kok. Ya udah aku pergi dulu yah. Lagi pengen setor tahfidz, pengen cepet lulus.” Aku pun meninggalkan Amir yang bergumam sendiri di belakang, entah apa yang digumamkannya.
Sejurus dengan arahku berjalan, lewatlah disampingku sosok yang tak ingin ku lepas dari pandanganku. “Oh Tuhan begitu indah ciptaan-Mu,” suara hatiku spontan berbunyi, seakan-akan reflek mereka terlalu kuat menangkap sinyal keindahan ciptaan Tuhan.
“Cantiknya.” Mulutku keceplosan memberanikan diri berbicara seenaknya, aku pun menutupnya secepat kilat.
“Kakak tadi bilang apa?” Tanya gadis itu sepertinya agak tersinggung.
“Maaf dek, nggak sengaja, keceplosan.” Aku pun pergi dan berpaling darinya. Aku berlari berharap dia tak menemukanku, perasaan malu ini terlalu ganas untuk ditampakkan.
***
“Assalamu‘alaikum.” Aku membuka salam pada ibuku di seberang sana, di kampung halaman melalui HP android yang mulai mengenaskan tampaknya ini.
“Wa’alaikumussalam. Naufal?” Ibuku membalas dan memastikan anak laki-laki kesayangannya inilah di sisi HP yang lain.
“Iya bu. Ibu gimana kabar, baik? Aku kangen ibu.” Sapaku seperti sapa pada umumnya. Wajar, aku sangat rindu dengan ibuku walau baru liburan Idul Fitri kemarin aku pulang, tapi kondisi kesehatannyalah yang membuatku sedikit khawatir.
“Iya, ibu baik-baik aja, semua yang di rumah juga sehat. Kamu gimana? Udah makan? Uang jajanmu masih adakan? Apa masih butuh kiriman lagi?”
“Naufal sehat, udah makan tadi. Uang jajan juga masih banyak, walau masih banyak keperluan yang belum dibeli, sama hutang yang belum lunas.”
“Ya udah nggak apa-apa. Kalau kurang minta aja le, nggak usah sungkan-sungkan, Insya Allah ibu sama bapak bisa ngirim buat keperluanmu Fal..”
“Iya ibu tenang aja. Naufal di sini cuma khawatir sama kangen ibu aja kok.”
“Iya Fal. kamu di sana belajar yang rajin ya! Ingat, uang jajanmu digunakan dengan baik, jangan boros. Belajar yang rajin, ngaji yang kuat, doakan ibu sama bapak di sini biar rezekinya lancar buat ngirim kamu. Ingat nak, pesen ibu ke kamu, Jangan pacaran!! Ibu lihat di desa kita sekarang muda-mudinya banyak yang pacaran. Bahkan mereka sekarang udah berani terang-terangan, di sawah, pantai, kebun-kebun. Bahkan kemarin ada kejadian di desa sebelah Fal, anak gadis mengambang di sungai, mati Fal. Orang-orang bilang dia dibunuh pacarnya gara-gara dia hamil dan si cowok nggak mau tanggung jawab Fal. Awas kamu jangan sampai gitu ya nak, ibu sayang kamu le.”
Pernyataan ibu ini menusukku, aku tak tahu harus berkata apa lagi, aku takut karena ternyata aku telah mengecewakannya.
“Sudah dulu ya bu. Naufal ada acara kamar nih, ndadak.”
“Oh, iya nggak papa le. Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Akupun menutup telpon secepat mungkin.
Aku takut, aku sudah membohongi ibu, aku sudah mengecewakannya. Larangannya sebelum sempat dia katakan telah kulakukan. Diam-diam sosok bidadari adik kelasku yang ku temui tempo hari telah resmi menjalin cinta denganku. Kekagumanku kepadanya telah membutakanku, aku pun memakan ucapanku sendiri. Diam-diam aku meminta nomernya dari teman mahasiswiku yang seasrama dengannya. Beribu rayuan gombal dan beberapa kata-kata manis sukses membuatnya jatuh hati kepadaku.
Ade, nama gadis ini sekarang membuatku bimbang dan dalam kecemasan. Aku takut dan tak bisa berbuat apa-apa. Mungkinkah aku harus menghiraukan nasehat bijak ibuku yang tumpah darahnya dia taruhkan untuk hidupku, atau akankah aku meneruskan perbuatan ini. Aku pun memberanikan diri mengambil keputusan.
***
Hari ini hari yang sangat spesial bagiku, hari wisuda telah tiba. Setelah delapan semester bergelut dengan buku, makalah, presentasi, skripsi, setoran hafalan Al Quran, dan banyak lagi lika-liku kesukaran dan kebahagian telah ku lewati demi hari ini, dan pastinya demi gelar SA, sulthonul awliya’ yang prestisius ini. Nilaiku alhamdulillah memuaskan, setidaknya cumlaude sudah lebih dari cukup lah untuk usahaku yang lebih dari kata-kata mudah.
Orang tuaku hadir dan menjadi saksi keberhasilanku hari ini. Tampak senyum bahagia mereka tunjukkan padaku, aku bahkan sempat melihat sesekali ibu meneteskan air mata bahagia. Ade menghampiriku dengan kamera DSLR di tangannya, tak luput kata selamat tercurahkan kepadaku. Bahkan dia mengajakku untuk foto bersama dengannya dengan seragam wisuda yang masih aku kenakan. Aku tahu, mungkin dia kecewa karena telah aku putuskan, setelah beberapa kata-kata manis aku panjatkan untuknya. Tapi setidaknya dia mau mengerti akan alasanku yang tak mau mengecewakan ibuku.
Satu dua jam acara bergulir dan selesai dengan manis dalam kehidupanku, saatnya aku dan kedua orang tuaku pulang ke tempat kelahiranku. Sudah begitu rindu aku dengan rumah, mulai dari tanah, sawah, pantai, sampai-sampai masyarakat desa yang begitu ramah, ingin aku berjumpa dengan mereka. Aku pun memberanikan diri bertindak sebagai sopir untuk orang tuaku. Aku tahu mereka pasti lelah dengan serangkaian acara tadi.
“Le.. Bapak kemaren ngobrol-ngobrol sama teman bapak.”
“Teman bapak yang mana pak?” tanyaku padanya.
“Itu lho le, pak Darwis teman sepondok bapak dulu. Sekarang dia di Solo, dia punya anak gadis, dan alhamdulillah bapak sudah sepakat sama dia untuk menjodohkan kalian. Sekarang aku pengen dengar jawabanmu le, menurut kamu gimana?” Aku tersentak kaget mendengar pernyataan dan pertanyaan bapak. Aku tak percaya dengan apa yang baru ku dengar ini.
“Sebentar pak, apakah bapak yakin dengan pernyataan bapak. Terus apakah anak gadisnya pak Darwis ini baik atau cocok untuk Naufal pak?” Aku masih bertanya memastikan dan tak mau terlena dengan pernyataan bapak yang mungkin saja cuma candaan.
“Yaa, yakin lah.. Dan pastinya dia baik untuk kamu. Masak iya orang tua nyari calon mantu yang nggak baik.” Aku pun penasaran, dan tak mau terlelap rasa penasaran aku pun langsung bertanya tetang si gadis ini.
“Namanya siapa pak? Dan seperti apa dia?” aku langsung bertanya tentang si gadis memastikan.
“Namanya Nafisah dan kalau kamu masih nggak percaya, ini bapak kasih tahu kamu fotonya.” Bapak pun membukakan foto yang ada di HP androidnya. Begitu kagetnya aku melihat penampakan gadis tersebut. Gadis yang kebetulan pernah mengambil hatiku.
“Subhanallah.” Aku masih tak percaya apa yang aku lihat dan kudengar ini, seaka-akan pintu surga terbuka untukku.
Rasa syukur dan tak percaya ini membuatku terlena, aku kehilangan konsentrasiku. Dalam keadaan menyetir, lamunanku membuat pandanganku kabur. Mereka membawaku pada sedikit rasa mabuk asmara.
“Jedarrr..” suara tabrakan tak terhindar. Truk di depanku menabrak kencang mobilku yang sedang tak tau arah akibat lamunanku.
Aku pun tak sadarkan diri. Putih, semuanya putih. Kepalaku bahkan terasa pening sehingga ketika ku buka kedua mataku, aku melihat aku berada di suatu tempat dengan baju yang berbeda dengan apa yang ku pakai sebelumnya. Anehnya di situ ada Halim, dia menghampiriku dan berkata sesuatu.
“Bangun woy. Kau sudah tidur tujuh jam, dhuhur, ashar, bahkan maghrib kau lewatkan. jangan gara-gara la decima kau tinggalkan shalatmu.” Dia pun pergi meninggalkanku.
“Wah.. Gila, selama itu aku tidur, dan selama itu pula aku bermimpi, mimpi manis pula. Mending nggak usah bangun saja sekalian aku ini!” Kataku tersadar dari tidurku yang hampir membunuhku jika saja itu bukanlah mimpi.
_____________________________________________________________________
*la decima(Spanyol): yang kesepuluh, merujuk pada gelar Liga Champion ke sepuluh Real Madrid
**mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari angkatan 2014
Publisher: Masnun Muhammad