Sumber Gambar: https://santrigusdur.com
Sumber Gambar: https://santrigusdur.com

Oleh: Munawir Aziz

Lebih dari lima tahun KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan bangsa Indonesia dan kita semua. Sebelum wafatnya, Gus Dur berpesan bahwa beliau “tidak pergi, tapi pulang”. Dalam hal ini, Gus Dur sebenarnya tidak pernah meninggalkan kita, tapi pulang ke rumah asalinya. Gus Dur masih terasa hadir mendampingi warga Indonesia, warga yang ia cintai. Tidak sebatas warga muslim, namun juga seluruh warga negara, tanpa sekat agama dan etnis. Gus Dur menjadi manusia yang selalu memberi kontribusi bagi kerja-kerja kemanusiaan. Bahkan, ide-ide dan kebijakan konseptualnya, berdampak secara positif bagi perbaikan kualitas kemanusiaan di pelbagai belahan dunia.

Membaca pemikiran Gus Dur adalah membaca ide-ide kemanusiaan dan cita-cita keindonesiaan. Meski Gus Dur lahir dan besar dari rahim pendidikan pesantren, akan tetapi spirit dan perjuangannya menaungi lintas batas kelompok. Sisi kemanusiaan Gus Dur menyentuh warga Tionghoa, Aceh, Papua dan penganut Ahmadiyah. Gus Dur tidak sekedar tampil sebagai pemimpin bangsa, ia juga menjadi keluarga dari kelompok-kelompok minoritas di negeri ini. Dari titik inilah, warga negeri ini perlu mengaji lagi dari Gus Dur, mengambil saripati ide-idenya, dan kemudian mengeksekusi dalam konteks masa kini.

Pemikiran-pemikiran Gus Dur seringkali tidak mampu ditangkap oleh publik negeri ini. Ide-ide kritisnya, dianggap kontroversial dan menjadi bahan perdebatan. ‘Jurus Mabuk’ ala Gus Dur menjadi cibiran di tengah dinamika politik pada akhir periode Orde Baru dan awal masa reformasi. Pada akhir 1980-an, strategi zig-zag Gus Dur dengan merangkul kelompok militer dan intelijen pendukung Orde Baru, senantiasa dipahami lapis demi lapisnya pada masa sekarang ini. Langkah Gus Dur pada masa itu mengundang cibiran, dengan merangkul Benny Moerdani, jaringan Ali Moertopo, juga keluaga Cendana. Akan tetapi, sekarang ini, langkah Gus Dur ini dipahami sebagai jurus strategis untuk meredam konflik horizontal di negeri ini.

Langkah-langkah cerdas dalam menempa diri dan proses kreatif Gus Dur perlu dipahami, tidak hanya ketika dirinya sudah muncul sebagai pemimpin negeri ini. Akan tetapi, memahami Gus Dur perlu memahami warisan ingatan dan pesan kemanusiaan dari kakek, ayahanda, ibu dan keluarga terdekatnya. Jaringan pertemanan Gus Dur dengan aktifis dan pemikir lintas kelompok penting sebagai basis nilai dan wawasan. Serta, siapa saja guru-guru Gus Dur, baik di pesantren, kampus maupun koleganya di LSM. Dengan demikian, membaca Gus Dur perlu proses hidupnya, bahkan sejak tahun 1960an.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada tahun 1980, Gus Dur sudah menulis ‘Memberi Jalan bagi Orang Tionghoa’ di sebuah media. Dari tulisan ini, terlihat Gus Dur memahami detak jantung dan ekspresi kebudayaan orang Tionghoa, yang terhimpit oleh kebijakan politik kolonial dan Orde Baru. Langkah visioner Gus Dur dalam memahami sejarah, konteks kebudayaan, peta ideologi-politik, menjadi landasan untuk menentukan visi perjuangannya. Perspektif Gus Dur lebih kaya dan mendalam, karena ditopang oleh penguasan pengetahuan dan intuisi yang tajam.

Meneladani Gus Dur, secara strategis adalah menggunakan perspektifnya, sebagai kacamata untuk melihat Indonesia masa lalu, kini dan mendatang. Perspektif Gus Dur, dengan pelbagai spektrum keilmuannya, akan menuntun bangsa ini menemukan cahaya di tengah situasi yang gelap.


Penulis: Munawir Aziz, santri & Peneliti, alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).  Twitter: @MoenawirAziz, Email: [email protected]

Publisher: M. Ali Ridho

Sumber: Majalah Tebuireng Edisi 38