Krisis Moral dalam Perkembangan Anak

Penulis

Oleh: M. Masnun*

Dewasa ini guru semakin menjadi sorotan publik, utamanya dalam hal kriminal. Kematian guru honorer SMAN 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Ahmad Budi Cahyono, merupakan bentuk krisis moral yang terjadi di lingkungan pendidikan. Di sisi lain, Serikat Guru Indonesia (SGI) Mataram pernah menerima laporan terkait kasus pemukulan terhadap sejumlah siswa yang kerap dilakukan oleh seorang oknum guru. Ada pula seorang guru perempuan menganiaya 4 siswi di salah satu daerah terpencil di Maluku. Kemajuan teknologi yang begitu cepat, mengakipatkan hal yang terjadi di daerah terpencil sekalipun dapat diketahui oleh publik.

Selain kekerasan, kasus pencabulan juga terjadi di lingkungan belajar. Kemarin Rabu, (14/02/2018), terjadi pelaporan guru yang berinisial AM yang diduga mencabuli muridnya berinisial AK yang duduk di bangku kelas III di SDN 04 Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat. Aksi pencabulan dilakukan pada November 2017 dan baru dilaporkan pada 12 Pebruari 2018. Guru tersebut pun menyerahkan diri ke Polsek Kembangan setelah didemo oleh para wali murid dan dipanggil Kepala Sekolah.

Di Jombang sendiri, terungkap oknum guru SMPN yang berinisial ME diduga mencabuli 25 siswinya. Bahkan pencabulan ini diperikarakan sudah dilakukan sejak Juli 2017. Kasus ini terkuak setelah 6 siswi melapor kepada guru Bimbingan Konseling (BK).

Sebenarnya untuk menanggulangi kekerasan di lingkungan pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah meluncurkan nomor telepon pengaduan bagi masyarakat untuk melaporkan segala bentuk kekerasan di lingkungan sekolah. Anis Baswedan mengungkapkan bahwa nomor pengaduan resminya adalah 0811-976-929.

Peningkatan Kecakapan

Fakta di atas cukup mencengangkan. Sebagai sosok panutan, guru haruslah mumpuni dalam berakhlak maupun akademis. Sekolah selayaknya bisa menjadi rumah kedua bagi peserta didik. Lingkungan yang bisa memberikan semangat dan kenyamanan untuk melakukan proses pembelajaran. Konsep digugu lan ditiru dewasa ini sudah mulai tergerus dan beralih kepada ‘ambil baiknya saja’. Seolah-olah dalam diri guru ada hal yang tidak perlu dicontoh dan hal itu perlu dimaklumi.

Dalam perguruan tinggi sudah ada materi psikologi pengajaran. Namun terkadang masih ada guru yang tidak mampu memahaminya secara maksimal. Padahal psikologi merupakan kebutuhan yang urgen bagi proses pembelajaran. Penanganan anak umur 10 tahun berbeda dengan anak umur 15 tahun. Psikologi mereka berbeda dan perlu mendapatkan penanganan yang tepat.

Selain itu, latar belakang kehidupan yang berbeda, baik dari sisi ekonomi, keagamaan, maupun budaya juga memberikan pengaruh. Perbedaan ini bukan untuk didiskriminasikan satu sama lain, namun untuk memberikan penanganan khusus agar outputnya menjadi lebih baik. Bagaimana bisa mendidik anak dengan baik bila tidak mampu memahami kondisi anak.

Federasi Serikat Guru Indonesia, dalam bulan Desember 2017 membebeberkan beberapa catatan dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah tenaga pendidik/guru harus diberi pelatihan cara mencegah dan menangani kekerasan di sekolah, karena banyak guru dan kepala sekolah gagap dalam menghadapi kekerasan di sekolah. Selain itu, pemerintah harus melakukan percepatan dan sosialisasi program sekolah anak.

Integrasi Subjek-Subjek

Kekerasan murid maupun orang tua terhadap guru merupakan salah satu contoh penurunan moral. Seorang guru tidak akan melakukan kekerasan terhadap anak ketika anak tersebut tidak bermasalah. Tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain, penurunan moral, anak yang bermasalah, dan guru yang kurang kompeten.

Nama Penjara Anak sudah diganti dengan Lembaga Pendidikan Khusus (LPK). Anak yang melakukan penyimpangan akan dibina dengan baik agar bisa sadar dan tak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Penyimpangan haruslah ditanggapi dengan objektif, bukan hanya dianggap masalah yang tidak penting. Malah membiarkan anak melakukan penyimpangan bisa menjadikan anak mengulangi perbuatannya dengan lebih dahsyat lagi. Hukuman yang ada bagi anak bersifat rehabilitatif.

Lingkungan yang tidak kondusif mengakibatkan anak terjerumus menjadi pelaku-pelaku kekerasan (negative peer influence). Selain itu, perhatian orang tua yang kurang mengakibatkan anak bergaul dengan bebas dan tidak terkontrol. Orang tua juga harus memahami posisi anak dan dirinya dalam proses perkembangan anak, bukan hanya menitipkan anaknya kepada orang lain dan mengharapkan hasil yang sempurna.

Bila hanya melihat dalam perspektif kepentingan anaknya sendiri dan terlalu memanjakannya, orang tua akan cenderung menyalahkan guru. Dalam posisi seperti ini, guru perlu mendapatkan perlindungan agar tidak terjadi kekerasan kepadanya. Permasalahan-permasalahan yang ada perlu dijadikan sebagai bahan renungan bersama. Kesadaran bersama dan mau berubah merupakan kunci pokok dalam peningkatan kehidupan manusia.


*Mahasatri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng