irfanOleh: Irfan Abdul Mu’thi*

Negeri Kaya Ras dan Budaya

Indonesia adalah negara dengan berbagai macam budaya, agama dan ras yang sudah menjadi otentik dan menjadi ciri khas tersendiri bagi bangsa. Mempunyai berbagai macam sumber kekayaan alam yang sulit ditemukan di belahan bumi lainnya. Mempunyai kekayaan luhur budi pekerti dan budaya menghormati  yang sangat luar biasa, bahkan jarang untuk menemukan pesaingnya di dalam identitas bangsa lain.

Islam ada di dalamnya sebagai unsur yang sangat dominan secara mutlaq. Menjadi mayoritas di tengah-tengah keragaman dan warna-warni bangsa yang sangat bermacam-macam. Kehidupan para pemeluk Islam di Indonesia tergolong mempunyai perangai yang sangat toleran, meskipun terkadang terjadi banyak gesekan dan konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan antar sesama umat Islam itu sendiri.

Makna Wasathiyyah

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Umat Islam secara global sangat menyayangkan dan merasakan kekecewaan yang sangat dalam atas terjadinya berbagai macam perselisihan dan timbulnya hubungan yang tidak harmonis antar sesama umat Islam itu sendiri. Terlebih hal itu muncul dikarenakan berbeda-bedanya penafsiran dan pemahaman atas al-Qur’an dan Sunnah. Sejatinya, semua perbedaan tersebut bisa diatasi dengan sikap yang menuntut seluruh umat untuk bersikap wasathiyyah dan didasari oleh semangat persaudaraan yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap pribadi masing-masing umat. Apa itu wasathiyyah?

Wasathiyyah secara bahasa berasal dari tiga huruf, yaitu wawu, sin, dan tho. Menjadi kata yang bersumber dari kalimat wasatho (mem-fathah-kan huruf sin), berarti modera, penengah atau menengahi. Moderat menurut KBBI adalah cenderung mengambil jalan tengah atau menghindari sikap fanatik terhadap sesuatu yang bisa menimbulkan hal-hal negatif.

Sedangkan menurut istilah, wasathiyyah mempunyai arti yang berbeda-beda. Syaikh Farid Abdul Qadir mengemukakan pendapatnya tentang makna wasathiyyah yaitu, “bersatunya umat Islam yang merujuk pada keadilan, kebenaran dan kesaksian untuk kemaslahatan seluruh manusia secara umum”. Pendapat lain tentang makna wasathiyyah dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Quthb yaitu, “keseimbangan, dan menjadikannya sebagai fitur khusus terhadap manhaj keilmuan Islami.” (Syaikh Akrom Kassab, Daurul Qordhowi fii Ta’shiilih Wasathiyyah wa Ibraazi Ma’aalimiha, (2008), Kairo: Maktabah Wahbah, hal:18).

Dari berbagai pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pada intinya wasathiyyah adalah sebuah sikap dan prilaku yang cenderung mempunyai tujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan kehidupan manusia secara umum, tanpa memandang unsur apapun kecuali persamaan dan membekali pandangannya dengan pengetahuan yang mumpuni hingga timbullah pandangan yang luas dalam menyikapi sesuatu.

Penerapan Sikap Moderat

“Keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya” (Prof.Dr. Quraish shihab, (2007), Secercah Harapan Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, Bandung: Mizan, hal:52)

Umat islam di Indonesia pada umumnya sudah mempunyai sikap yang cukup moderat, bisa menerima perbedaan sebagai berkah. Kehidupan umat Islam yang bercampur baur dengan umat beragama lain secara rukun dan toleran sudah cukup menggambarkan keharmonisan hubungan antar sesama pemeluk agama. Namun, ketika kita berbicara tentang hubungan antar sesama pemeluk Islam sendiri, kita akan banyak menemui berbagai macam perselisihan dan pertentangan antar golongan masing-masing, meskipun kita jarang melihat perang fisik di dalamnya. Namun perang pandangan dan perkataan sering kita temui di sebagian wilayah Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim. Bagaimanakah cara yang tepat untuk menghindari konflik tersebut hingga kita sebagai umat Islam Nusantara bisa mencapai tujuan bersama menuju kemajuan umat Islam secara umum?

Pendekatan Ukhuwah Islamiyyah secara umum

Hal yang paling mudah dalam menanamkan jiwa wasathiyyah di dalam diri masing-masing pribadi umat yaitu hubungan persaudaraan yang terjalin erat dan kuat antar sesama. Di dalamnya bisa ditumbuhkan dan dikembangkan berbagai macam hubungan kekeluargaan yang bisa cukup mempengaruhi pandangan seseorang. Pendekatan ini adalah cara yang paling mudah, karena tidak dibutuhkan apa-apa di dalamnya kecuali kesediaan sesama manusia untuk terus menjalin silaturrahim antar sesama, hingga akan muncul pengaruh positif yang mempersedap pandangan dan pemikiran. Hal itu bisa mengalahkan kefanatikan golongan yang bersarang di hati masing-masing umat.

Pendekatan Pribadi

Seperti halnya agama Islam masuk ke Indonesia zaman dahulu, yaitu melalui hubungan pendekatan pribadi antar sesama manusia, hingga terjadilah interaksi yang lebih bersifat pribadi dan khusus. Contoh konkrit dari hubungan itu adalah adanya hubungan asimiliasi antar manusia terhadap budaya dan kearifan lokal, hingga muncullah rasa saling menerima dan terjadi kecocokan antar masing-masing umat. Hal ini bisa meluaskan hati dan merubah pandangan seseorang hingga kemudian terbitlah sikap dan pemikiran yang bisa menimbulkan toleransi dan saling mamahami antar sesama umat yang berbeda-beda.

Presentasi dan Sosialisasi Pengetahuan

Banyak cara yang bisa dilakukan dan dipraktikkan dalam hal ini. Membuat sesama saudara seiman kita faham akan perbedaan adalah hal yang paling jitu dalam menanamkan jiwa wasathiyyah. Meyakinkan kepada sesama bahwa perbedaan adalah bukan untuk diperselisihkan atau dipertentangkan, melainkan menjadikannya sebagai anugerah yang luar biasa. Kalau sudah terwujud, kemudian memikirkan usaha untuk mencapai tujuan bersama dan membagikan rahmat bagi siapapun yang menghargai sesamanya, bahkan bagi seluruh manusia.

Pada dasarnya, jiwa moderat/wasathiyyah adalah konsep yang mudah dalam penerapannya, tergantung bagaimana masing-masing dari diri kita memulai untuk menanamkan dan mengembangkannya kepada sesama saudara kita yang lain. Bangsa  Indonesia dengan berbagai macam kearifan lokal, tentunya sudah cukup bisa dianggap dewasa dalam menghadapi berbagai macam perbedaan, namun munculnya banyak faham dari luar yang masuk ke dalam kehidupan Bangsa Indonesia, menjadikan konflik-konflik antar sesama lebih sering muncul.

Tentunya hal itu harus disikapi secara tegas dan tepat guna, agar konflik-konflik itu tidak semakin meluas dan menimbulkan kekacauan yang berlebihan. Sudah saatnya kita mengikrarkan diri masing-masing sebagai duta wasathiyyah, sebagaimana Universitas al-Azhar contohkan. Ia bisa menerima segala bentuk ras, suku, bangsa, negara bahkan agama lain untuk belajar disini. Tentunya Indonesia, Mesir, al-Azhar, tempat-tempat dan lembaga-lembaga lain masih banyak yang mau menerapkan konsep wasathiyyah ini selama setiap Individu di dalamnya bersedia terlebih dahulu memulai dari dirinya sendiri.

*Alumnus Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Pesantren Tebuireng, sekarang menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar Cairo Mesir tahun kedua. Tulisan ini memenangkan Juara III lomba tulis Opini antar mahasiswa Indonesia di Mesir yang diadakan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Mesir.