Penu

Oleh : Ari Setiawan*

Tanggal 4-8 Desember 2015 adalah sebuah moment yang besar bagi salah satu Badan Otonom Nahdhatul Ulama yang mengurusi tentang pelajar. Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU) serta Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) mempunyai hajatan yang besar tiga tahunan. Acara yang disebut kongres ini adalah forum tertinggi yang dimiliki anggota IPNU dan IPPNU untuk memilih ketua baru yang memimpin tiga tahun kedepan.

Acara yang diselenggarakan di Asrama Haji Donohudan Boyolali Jawa Tengah ini adalah perhelatan akbar IPNU dan IPPNU pertama kali yang penulis bisa ikut menghadiri. Walaupun toh tidak menyandang sebagai peserta dan memiliki hak pilih, sandangan yang familiar Romli (Rombongan Lillahita’ala) sudah cukup memuaskan. Sebagai kader muda NU dan pernah dibaiat menjadi anggota IPNU pada tahun 2005 kala menjadi siswa di salah satu MTs swasta di Lampung, hati ini terpanggil untuk bisa hadir sebagai “pengembira” walaupun toh sebagai rombongan ilegal.

Hari itu adalah tanggal 5 Desember 2015 pukul 19.10 malam dengan berbekal keterbatasan dan niat yang kuat untuk bisa turut andil, nekat berangkat seorang sendiri dengan berbekal apa adanya dari Kota santri Jombang dengan kendaraan bus sampai di Terminal Tirtonadi pukul 23.30. Perjalanan yang amat menjenuhkan, karena durasi waktu yang agak lama sebab jark yang harus ditempuh lumayan jauh. Namun kejenuhan itu serasa hilang di hinggapi rasa kantuk hingga hampir sampai di daerah Solo. Padahal dalam jadwal yang dirilis panitia pusat bahwa Pembukaan Kongres IPNU-IPPNU dilaksanakan pada 5 Desember pagi harinya. Walaupun tak bisa mengikuti acara pembukaan yang rencannyaa dihadiri oleh Presiden Jokowi, tapi akhirnya diganti oleh Menteri Agama H. Lukman Hakim Saifudin. Tak masalah absen dalam pembukaan karena hal demikian bagi penulis hanya seremonial saja.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pukul 00.20 minggu dinihari penulis bisa menginjak kaki untuk pertama kali dalam sejarah hidup penulis di Arena Kongres Pelajar NU se-Nusantara yang dihelat di Asrama Haji Donohudan Boyolali Jawa Tengah itu. Seperti biasanya dalam perhelatan akbar apapun, pasti terpasang banner-banner untuk memeriahkan dan menyemarakan acara tersebut. Tak lepas di Kongres IPNU-IPPNU kali ini. Puluhan banner dari masing – masing Pimpinan Cabang dan Pimpinan Wilayah serta Bakal Calon yang siap maju ke-IPNU 1 memenuhi sudut dan halaman kawasan asrama haji ini.

Bak pemilu – pemilu yang lumrah kita lihat di sudut kota dan jalan. Ada yang mengucapkan selamat dan sukses dan ada juga yang mempromosikan dirinya untuk maju menjadi Ketum IPNU dan IPPNU dengan visi-misi yang bervariatif. Dari sini penulis melihat dan menilai bahwa di arena kongres inilah ada salah satu pelajaran tentang demokrasi bagi para pelajar.

Seluruh Peserta dari berbagai penjuru Nusantara telah berdatangan sehari sebelumnya dan telah melakukan regristrasi. Hampir sebanyak 3000 peserta baik yang IPNU maupun yang IPPNU telah registrasi dan tempat tinggal terpusat di asrama haji tersebut. Peserta yang ilegal pun tak kalah banyak, hampir mencapai sekitar 2500 kader IPNU – IPPNU yang tidak melakukan registrasi (Rombongan Liar) memadati asrama haji di pinggiran kota Boyolali ini. Bayangkan, hampir 6000 pelajar dari berbagai daerah di Indonesia memadati asrama haji ini, semuanya adalah kader NU. Kalau saja mereka bisa memberikan kontribusi yang besar dan nyata bagi Bangsa Indonesia, sudah barang tentu Bangsa ini akan semakin besar dan maju. Pikir penulis seperti itu.

Suasana di Kongres ini memang begitu semarak dan meriah. Malam sudah agak larut menunjukan pukul 01.00 dini hari, tetapi keramaian tak surut sekalipun setelah hujan deras mengguyur kawasan asrama haji. Banyak anggota IPNU-IPPNU bercampur melakukan dialog dan diskusi ngobrol santai di kedai-kedai stand bazar yang disiapkan panitia. Tanpa ada sekat sama sekali, mungkin bagi pribadi penulis hal ini dianggap tabu, karena perempuan dan laki-laki bercampur walaupun hanya sekedar ngobrol  adalah perbuatan yang jarang di jumpai di pesantren – pesantren pada umumnya.

Seperti acara-acara akbar lainnya, orang-orang berjiwa dagang, memboyong dagangan mereka, mendirikan stand-stand baik yang dari panitia maupun yang liar. Segala sesuatu yang ada di stand harganya pun melonjak jauh dua hingga tiga kali lipat dari harga umumnya. Entah  barangkali ini kesempatan yang besar bagi penjual untuk meraup keuntungan sebesar – besarnya atau memang kejar setoran karena biaya sewa yang begitu mahal, satu stand selama perhelatan akbar pelajar NU tersebut memiliki harga hingga 2 juta rupiah.

Dalam perjalanan penulis keliling stand, penulis ditemui oleh kakak kandungnya yang juga salah seorang kader IPNU dan pengurus wilayah IPNU Prov. Lampung. Kebetulan juga menjadi peserta dalam kongres IPNU di Boyolali ini. Penulis akhirnya “numpang” di penginapan kafilah dari Lampung selama acara Kongres ini berlangsung.

Penulis teringat omongan guru penulis “Menjadi kader IPNU-IPPNU adalah menjadi Garda terdepan untuk menjadi benteng Ahlussunah wal jamaah. Karena apa? Karena IPNU bisa masuk ke sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, kampus-kampus hingga di desa – desa.  Katakanlah LP. Ma’arif mayoritas telah diisi oleh kader-kader IPNU-IPPNU. Melalui IPNU-IPPNU inilah pondasi awal agar siswa bisa mengenal Ahlussunah wal jamaah serta ajaran dan amaliyah NU.

Malam kedua bertepatan pada malam ahad, 06/12/2015 para peserta diagendakan melakukan sidang komisi yang dibagi menjadi empat komisi, yakni sidang komisi A (Peraturan Dasar / Peraturan Rumah Tangga ), Komisi B (Garis-Garis Besar Perjuangan), Komisi C (Prinsip Perjuangan), dan Komisi D (Rekomendasi). Dari beberapa sidang ini yang sangat alot dan penuh dengan hujan interupsi adalah komisi A yang membahas tentang peraturan organisasi serta penentuan umur untuk calon ketua. Sidang ini berakhir pada pukul 02.00 dini hari. Kemudian dilanjutkan esoknya dengan sidang pleno pengesahan hasil komisi.

Yang menarik dari Kongres ini adalah adanya isu krusial yang terjadi di tubuh IPNU akibat keputusan muktamar NU ke-33 yang dilaksanakan di Jombang Agustus lalu, yakni permasalahan umur untuk calon ketua umum yang awalnya berusia maksimal 29 tahun di pangkas menjadi 27 tahun. Hal ini merujuk pada keputusan hasil Muktamar NU pada sidang komisi organisasi.

Persoalan umur inilah yang memicu ketegangan oleh berbagai pimpinan cabang dan pimpinan wilayah. Ada yang yang menyetujui dan ingin mengawal keputusan Muktamar itu, ada juga yang tetap bersikukuh terhadap PD/PRT yang lama. Inilah yang memicu adanya ketegangan yang berujung saling lempar kursi antara kader satu dengan kader yang lainya, sampai salah satu kader dari Jawa Timur, dirujuk ke rumah sakit.

Pada saat pengesahan hasil Sidang Komisi A yang menuai resistensi dari peserta Kongres, sidang pun lagi-lagi ditunda untuk yang kesekian kalinya dan juru Islah dari PBNU pun dihadirkan dalam forum. Dalam sambutannya Suwadi Pranoto Wakil Sekjen PBNU mengatakan bahwa para kader tidak boleh sampai terprovokasi oleh pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab dan diharapkan untuk mematuhi hasil keputusan Muktamar NU di Jombang.

Salah satu kafilah yang paling bersikukuh untuk batas maksimal usia caketum 27 tahun, serta mendukung keputusan Muktamar NU adalah Jawa Timur. Bahkan Ketua PW IPNU Jawa Timur Rekan Haikal Atik mengatakan bahwa Jawa Timur  siap mengawal keputusan Muktamar Jombang.

Dalam tubuh NU, perbedaan pandangan adalah hal yang wajar, termasuk dengan cara PBNU “menertibkan” usia dalam IPNU. Tak sedikit juga yang tidak sependapat dengan keputusan itu, termasuk Jawa Tengah dan luar Jawa menganggap ada sisi “politis” yang sekiranya “menyelinap” pada kongres IPNU kali ini. Kalau toh PBNU ingin menertibkan batasan usia dalam Banom-banomnya serta untuk memperbaiki kaderisasi, kenapa usia ketua umum fatayat juga tidak di tertibkan sekalian? Untuk fatayat batasan dalam AD/ART adalah 40 tahun, namun nyatanya usianya lebih dari itu.

Dan yang menarik lagi dari Kongres IPNU ke XVIII di Boyolali ini adalah disyahkannya kepengurusan PKPT (Pimpinan Komisariat Perguruan Tinggi) baik IPNU maupun IPPNU di bawah naungan langsung Pimpinan Cabang. Dalam hal ini seolah-olah hemat penulis kehadiran IPNU di perguruan tinggi mungkin agak sedikit “berbenturan” dengan keberadaan PMII yang dalam Muktamar Jombang kembali masuk dalam jajaran Badan Otonom. Perlu ada kejelasan soal itu, sehingga tidak menimbulkan “rebutan” kader.

Kongres IPNU Boyolali ini adalah Kongres kali Pertama bagi penulis ikut terlibat dalam suasana kongres yang serba kebersamaan, kekeluargaan, ketegangan dan penuh semangat untuk menjadikan IPNU sebagai sarana berkhidmah kepada NU di tingkat pelajar, walaupun dalam kategori bukan peserta murni melainkan seorang “Romli” (Rombongan Lillahita’ala), semata-mata ini karena hanya cinta terhadap Nahdlatul Ulama.

*Santri Madrasah Muallimin Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang Kelas VI serta aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang.