Tebuireng.online– Dalam seminar memperingati haul Gus Sholah, Sabtu (6/2/21), KH. M. Cholil Nafis menyampaikan tujuan besar Islam Wasathiyah.
Menurut Kiai asal Sampang Madura itu, istilah Islam Wasathiyah atau moderasi Islam itu adalah istilah yang lahir dari musyawarah nasional majelis ulama nusantara Indonesia di Surabaya.
Pada saat itu NU mengemukakan tentang Islam nusantara, sedangkan di Muhammadiyah menyebutkan tentang Islam berkemajuan.
“Maka dengan munculnya perbedaan tersebut, muncul istilah Islam Wasathiyah, untuk menjembatani istilah Islam yang ditampilkan oleh NU dan Muhammadiyah serta menyatukan istilah-istilah dalam organisasi keislaman di Indonesia,” ungkapnya.
Banyak sebutan terkait Islam Wasathiyah dan kadang sebutannya berbeda-beda. Ada yang menyalahkan padahal sebenarnya punya tema yang sama yaitu Wasatiyatul Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an.
Kiai Cholil bercerita bahwa Ia pernah membaca karya KH. Hasyim Asy’ari, Irsyadus Syari sampai berulang-ulang, hingga merasa dinasihati langsung. Kitab tersebut menjelaskan tentang bermadzhab, berguru dan menjadi pangkal pendidikan ahlus sunnah wal jamaah.
“Mengapa kita harus berahlussunnah berjamaah dan kenapa kita harus menjadi islam wasaty? Jadi di sinilah kita yang mengajarkan tentang tawassut menjadi wasit atau wasatoh secara fiqhiyyah sehingga dengan kerangka itu menjadi islam rahmatan lil alamin,” jelas kiai pendakwah itu.
Pelajaran gaya ahlus sunnah wal jamaah juga dipatenkan dalam dunia internasional seperti dalam kitab ahlus sunnah, inilah sebenarnya yang harus kita jiwai, Islam Wasaty.
“Jadi Islam memang satu, cuma cara memandang Islam itu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, menurutnya kita bisa melihat tiga hubungan agama dengan negara yaitu; sekularistik, formalistik dan substansialistik,” imbuhnya.
Banginya, saat kita berbicara pendidikan, maka kita harus memastikan sanad kita, kalau tidak ada mata rantai keilmuan maka pastilah kita ini akan ngomong apa saja dan siapa saja bisa ngomong.
Oleh karena itu, menurut Kiai Cholil di dalam kerangka ke-NU-an, wajib bagi kita mempunyai guru. Sehingga sanad keilmuaan tersambung dari guru sampai Rasulullah, inilah tradisi yang sampai sekarang ini masih dijaga di masyarakat NU khususnya pesantren.
Dalam beragama, Kiai Cholil Nafis menyampaikan ajaran ahlus sunnah wal jamaah, hal ini bukan saja menjadi panduan dalam berpikir tetapi aswaja itu juga harus jadi panduan dan pedoman dalam perilaku atau manhaj al amal.
Selain itu, Kiai lulusan Universitas Malaya itu menyampaikan terkait hubungan agama dengan pancasila. Agama washatiyah dan juga himayatu ummat, dan penjelasan tentang sepuluh ciri washatiyah Islam.
“Jadi tujauan besar dari semua itu dalam rangka himayatut din, yaitu untuk menjaga kehidupan beragama dan bernagara,” tutupnya.
Pewarta: Qurratul Adawiyah