Pasca proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 oleh Presiden Indoensia pertama, Soekarno, perjuangan bangsa Indonesia belum menyentuh kata final yang sesungguhnya. Bangsa Indonesia masih dihadapkan dengan rintangan-rintangan yang cukup besar, bahkan tak sedikit yang berakhir dengan angkat senjata.

Jepang secara perlahan mundur dari tanah air, namun pasukan sekutu dan Belanda kembali datang ke bekas tanah jajahannya, guna merebut kembali wilayah kekuasaannya dahulu dari tangan Jepang. Pada momen-momen inilah, pesantren beserta tokoh-tokohnya memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Salah satu pesantren tersebut adalah Tebuireng, dengan KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh sentralnya.

Menurut M. C. Ricklefs, sejarawan kontemporer Australia dalam bukunya A History of Modern Indonesia since c.1200 menyebutkan setelah Jepang menyerah, sekutu mulai berdatangan ke Indonesia pada akhir September untuk menerima penyerahan Jepang.

“Antara pertengahan September dan Oktober 1945, Pasukan Inggris, sebagian besar dari India, bergerak ke Jawa dan Sumatra. Kelompok pertama tiba di Jakarta pada paruh kedua bulan September 1945, dan pada bulan Oktober mereka tiba di Medan, Padang, Palembang, Semarang, dan Surabaya,” tulis Ricklefs.

Berita tentang mendaratnya sekutu yang memboncengi NICA, mulai terdengar di tengah penduduk Surabaya dan sekitarnya. NICA (Nederlandsch-Indische Civiele Administratie) adalah aparatur sipil pemerintah Hindia-Belanda yang dipersiapkan untuk mengambil alih dan menegakkan kembali pemerintah atas wilayah Indonesia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kabar tersebut membuat masyarakat Surabaya, hingga presiden Soekarno khawatir akan kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamirkan.

  1. Hasyim Asy’ari merupakan pendiri Pesantren Tebuireng dan organisasi Islam terbesar di Indonesia saat ini, Nahdlatul Ulama (NU). Sosok yang memiliki pengaruh besar tersebut berperan penting dalam momen-momen pertempuran yang meletus di Surabaya 1945, bahkan Presiden Soekarno sempat meminta pandangannya, serta pengaruhnya untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Ahmad Mansur Suryanegara dalam karangannya yang bertajuk Api Sejarah 1 dan 2, mencatat bahwa pada tanggal 9 Agustus 1945, Soekarno sebagai ketua PPKI dipanggil oleh panglima Tentara Selatan, Marsekal Terauchi Hisaichi ke Dalat, Vietnam, untuk membicarakan tentang kemerdekaan Indonesia.

“Sebelum menemui Marsekal Terauchi, Soekarno mengadakan konsultasi ke pemuka agama Islam, di antaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, mengenai kemungkinan hari atau tanggal diumumkan kemerdekaan serta jaminan dari kalangan Islam tradisional jika proklamasi jadi diumumkan,” unggah Suryanegara, tokoh yang berperan dalam islamisasi penulisan sejarah.

Ketegangan di Surabaya, Lahirnya Resolusi Jihad

Kejadian berawal pada 16 September 1945 ketika beberapa pasukan Inggris didaratkan di pinggiran kota Surabaya. Pasukan ini kemudian bermakas di Hotel Yamato (sebeumnya bernama Hotel oranje). Keberadaan pasukan Inggris ini mendorong orang-orang Belanda yang tinggal di hotel ini melakukan provokasi karena merasa telah mendapatkan perlindungan dari pasukan Inggris.

“Orang-orang Belanda itu kemudian mengibarkan bendera mereka. Akibatnya muncul kemarahan dari penduduk Surabaya yang kemudian mengepung hotel yang saat itu dijaga pasukan Jepang. Tejadilah insiden perkelahian antar orang-orang Belanda dan para pemuda Surabaya di muna puncak dari insiden ini adalah dirobeknya warna biru dari bendera belanda sehingga bendera berubah menjadi bendera Indonesia, yaitu merah putih,” papar William H. Frederick dalam bukunya berjudul pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946).

Situasi yang semakin memanas tersebut, menyulut keresahan Presiden Soekarno. Ia kemudian mengutus orang untuk menghadap seorang Kiai terkemuka di Jawa Timur, yakni KH. Hasyim Asy’ari.

Presiden meminta Fatwa kepada Kiai Hasyim dengan pertimbangan data Gunseikanbu, bahwa Kiai Hasyim termasuk orang terkemuka di Jawa Timur. Gunseikanbu ialah Pemerintah Militer Jepang di Indonesia. Mereka menempatkan KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh terkemuka di Jawa.

Tertulis dalam Gunseikanbu berjudul Orang Terkemuka di Jawa, yang diterbitkan Gadjah Mada University Press tahun 1986, di sana tertulis “tani dan goeroe agama Teboeireng (Kab. Djombang), lahir di 20-4-2535 Gedang Kab. Djombang, mengadji di Mekkah, 2556 goeroe di Mekkah, 2563-2566 goeroe Kemoening, (Kab Kediri), 2566-sekarang. Karangan Adaboel ‘Alim wa Moeta-allim, At-Tanbihat (2698). 2585-2602 ket. Peng. Besar Nahdlatoel Oelama bag. Sjoeriah (Agama) (… 2605).”

Soekarno melalui utusannya bertanya kepada KH. Hasyim Asy’ari, “Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela Al-Qur’an. Sekali lagi membela tanah air?.”

Terhadap pertanyaan presiden Soekarno tersebut, lahirlah fatwa jihad yang yang ditulis langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari.

Fatwa tesebut berbunyi: (1) hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang fakir; (2) hukumnya orang bagi yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.

Fatwa tersebut kemudian dibahas dan dikukuhkan dalam sebuah forum rapat yang dihadiri seluruh konsul organisasi Nahdlotul Ulama (NU) se-Jawa Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Jalan Bubutan, Surabaya. Hasil dari pertemuan para kiai tersebut, melahirkan sebuah resolusi yang mampu membakar semangat masyarakat untuk turun, dan berhasil mengusir sekutu dan komplotannya. Fatwa tersebut oleh para kiai dan ulama yang berkumpul saat itu, ditetapkan sebagai resolusi jihad.

Zainul Milal Bizawie dalam bukunya Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949) menuliskan situasi Surabaya dan sekitarnya pasca tercetusnya fatwa maupun resolusi jihad, diwarnai ketegangan dan sesekali baku tembak antara para pejuang dengan pihak Inggris.

“Himbauan para, kyai bahwa perjuangan membela kemerdekaan Republik adalah sebagai bentuk dari jihad, perang suci begitu efektif untuk membakar semangat juang mereka. Berjuang melawan Inggris dan Belanda tidak sekedar dimaknai sebagai perjuangan untuk membela kemerdekaan semata, namun merupakan salah satu cara dan tindakan untuk membela agama Allah,” pungkasnya.

Kemenangan Indonesia atas pasukan sekutu pada pertempuran bersejarah di Surabaya 10 November 1945 lalu, merupakan representasi hasrat menjadi bangsa yang mardeka. Sejarah tersebut kerap kali hanya ditulis dari sudut pandang elit penguasa. Peran-peran dari kalangan kyai dan pesantren sering dikesampingkan. Padahal peran mereka dalam merebut kemerdekaan bangsa ini sangat besar dan berpengaruh kepada masyarakat, dan sejarah tersebut tak dapat diabaikan begitu saja.

 

(Dimuat dalam surat kabar Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta, 20 November 1945)

Ditulis oleh Al Fahrizal, mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari