Dalam fikih ada sebuah kondisi di mana subjek hukum yakni manusia mengalami keraguan, yang dalam istilah fikih disebut al-Syak. Kondisi ini membuat manusia bimbang dalam mengerjakan sesuatu sesuai aturan fikih. Misalnya saja, ada seorang yang sedang shalat kemudian setelah beberapa waktu berlalu ia ragu apakah dia tadi kentut apa tidak, yang menyebabkan batalnya wudhu dan shalat. Nah, dari sinilah muncul sebuah kaidah fikih dalam mengatasi masalah ini, para ulama merumuskan sebuah pedoman yang berbunyi
الْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
“Sebuah keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh sebuah keraguan.”
Kaidah di atas dirumuskan ulama dari dalil hadis yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mendapatkan sesuatu dalam perutnya, kemudian bimbang apakah berhadats atau belum, maka janganlah keluar dari masjid hingga mendengar suara (kentut) atau mendapatkan baunya.”[1]
Hadis di atas menyimpulkan kalau ada keraguan di antara dua perkara seperti sudah keluar angin kentut apa belum, maka kita tetap dalam posisi shalat. Kecuali kita telah tahu ada bukti yang jelas dari keluarnya kentut itu, seperti suara atau bau, maka otomatis wudhu dan shalat kita batal.
Dalam masalah syak saja ulama fikih dan ulama ushul berbeda pendapat, ulama fikih menganggap kalau syak hanya punya satu makna, maksudnya syak atau ragu hanya tentang terjadinya suatu perkara atau tidak terjadinya suatu perkara. Misalnya ada seseorang yang ragu apakah dia sudah berwudhu apa belum.
Berbeda dengan ulama ushul yang membagi syak sesuai kondisi orang yang ragu yakni jika dia bingung al-Taraddud (التّردّد) tetapi kadar bingungnya 50:50, maka kondisi inilah yang dinamakan syak. Tetapi apabila salah satunya lebih diunggulkan dalam persangkaan maka namanya adalah dzon (الظنّ), dan yang salah satunya yang tidak diunggulkan dinamakan al-Wahm (الوهم).
Klasifikasi Syak
Ulama juga mengklasifikasikan syak ini menjadi tiga kelompok yakni
- الشك طرأ من أصل محرّم (keraguan yang asalnya dari perkara yang haram)
Contoh: Kita akan memakan hewan sembelihan di daerah yang penduduknya imbang antara orang muslim dan non muslim, maka kita tidak boleh memakan daging hewan tersebut sampai jelas siapa yang menyembelihnya. Hal ini dikarenakan asal dari sembelihan (hewan yang disembelih) adalah haram kecuali sampai jelas yang menyembelih adalah orang islam dengan ketentuan yang berlaku.
- الشك طرأ على أصل مباح (keraguan yang asalnya dari perkara mubah)
Contoh: Seseorang akan melakukan wudhu tetapi dia menemukan air yang berubah entah dari segi warna, bau, ataupun rasa dari sifat asli air. Lalu dia ragu apakah air yang berubah itu diakibatkan adanya benda najis yang masuk atau karena saking lamanya tidak dipakai, maka orang tersebut diperbolehkan wudhu/bersuci dengan air itu karena asal dari thoharoh/bersuci adalah mubah dan keraguan tidak berdampak apapun.
- الشك لا يعرف أصله (keraguan yang tidak diketahui asalnya)
Contoh: Berniaga/jual beli bersama orang yang kebanyakan hartanya haram, misalnya orang korupsi. Hal ini diperbolehkan dan tidak menjadi haram selama kemungkinan adanya segelintir hartanya yang halal dan tidak adanya bukti yang jelas ketika ia jual beli dengan harta haram, tetapi kasus seperti ini dihukumi makruh.[2]
Baca Juga: Macam-Macam Bid’ah Menurut Syekh Nawawi al-Bantani
[1] HR Imam Muslim no 541
[2] إيضاح القواعد الفقهية، العالم العلامة الشيخ عبد الله بن سعيد اللحجي، ص ٦٦
Ditulis oleh Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng