Oleh: Nur Indah*

سَتَكُوْنُ هِجْرَةٌ بَعْدَ هِجْرَةٍ فَخِيَرُ أَهْلِ الْأَرْضِ أَلْزَمُهُمْ مُهَجَرَ اِبْرَهِيْمَ, وَيَبْقَ فِيْ الْأَرْضِ شِرَرَ أَهِلِهَا تَلْفِظُهُمْ أَرْضُهُمْ تَقْذَرُهُمْ نَفْسُ ﷲ, وَتَحْشُرُهُمُ النَّارُ مَعَ الْقِرْدَةِ  وَ الْخَنَازِيْرِ) رواه ابو داوود)

“Akan ada hijrah setelah hijrah. Orang-orang terbaik di muka bumi adalah mereka yang tinggal di tempat hijrah Nabi Ibrahim (syam). Lalu akan tersisa di bumi (selain syam) adalah seburuk-buruk manusia. Bumi akan memuntahkan mereka, Allah akan membenci mereka, dan api akan mengumpulkan mereka bersama kera dan babi”(HR: Ahmad dan Abu Daud )

Konteks hadis di atas seakan-akan menunjukkan bahwa tempat terbaik hijrah adalah negara Syam karena di sana merupakan tempat terbaik untuk berjihad di kala akhir zaman. Hadis di atas terdapat dalam kitab musnad Ahmad dan Sunan Abu Daud. Jika dilihat pada aspek sanadnya, hadis hijrah ke negara Syam dianggap Dhaif (lemah) oleh sebagian ulama’ baik riwayat yang terdapat dalam Musnad Ahmad maupun Sunan Abu Daud. Pada riwayat Abu Daud ditemukan seorang rawi bernama Laits Ibn Abu Sulaym yang kreadibilitasnya masih diragukan, Al Dzahabi dalam Syiar A’lam al-Nubala menyebut Laits sebagai ahli hadist Kuffah, namun hafalannya tidak terlalu kuat.[1]

Sementara pada riwayat Ahmad terdapat seorang rawi bernama Syahr Ibn Hawshid yang kredibilitasnya masih diragukan banyak oleh kalangan ulama’. Shu’aib Al Arnauth menganggap riwayat Syahr di atas adalah dhoif. Sedangkan dalam catatan ad-Dzahabi tedapat kritikus hadis masih berbeda pendapat mengenai kreadibilitas Syahr, Al-Bukhori menilainya Hasan (bagus), Al-Nasa’i menilainya Laits bi Al-Qawwi (hadistnya tidak kuat) dan Ibn ‘Adi mengatakan la yuhtaj bihi (hadistnya tidak dapat dijadikan pegangan)[2]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari berbagai aspek hadis di atas terdapat banyak kontradiksi mengenai maksud dari hadis hijrah ke nageri Syam. Untuk menghindari kontradiksi tersebut, hadis yang menyatakan tidak ada kewajiban hijrah yang dikhususkan pada konteks hijrah dari Mekkah ke Madinah. Setelah penaklukkan kota Mekkah (fathu Makkah) tidak ada lagi hijrah dari Mekkah ke Madinah, karana kota Mekkah sudah dikuasai oleh umat Islam.

Ulama’ fikih membagi hukum hijrah dalam tiga kategori: Pertama, hijrah diwajibkan kepada orang yang mampu melaksanakanya dan tidak diberi kebebasan dalam manjalankam kewajiban agama di daerah asalnya. Kedua, tidak ada kewajibam hijrah bagi orang yang tidak mampu melakukannya semisal; orang tua, perempuan, anak-anak sekalipun mereka di tempat tinggalnya mereka tidak bebas melaksanakan kewajiban agama. Ketiga, hijrah disunnahkan bagi orang yang mampu melakukannya dan di tempat tinggalnya juga tidak ada halangan untuk melakukan ibadah meskipun dikuasai orang kafir.

Sebenarnya, hijrah identik dengan kenyamanan dan keamanan dalam beribadah, orang yang sudah merasa aman tidak mendapat tekanan dari pemerintah dan dibebaskan melakukan ibadah kapanpun dan dimanapun mestinya tidak perlu hijrah. Oleh sebab itu, anjuran hijrah sebenarnya masih ada sampai kapanpun selama umat Islam tidak dapat melaksanakan kewajiban agamanya secara bebas. Rasulallah SAW membiarkan dan tidak memaksa seluruh sahabat untuk hijrah ke Madinah. Sebagian sahabat ada yang tidak ikut hijrah bersama Nabi SAW karena mereka tidak mendapatkan gangguan dari kafir Quraisy dan keselamatan serta keamanannya dijamin.


[1] Al-Dzahabi,Siyar al-alam al-nubala ‘ (Beirut: Muassasah al-risalah, 1989) Vol 6 hal 179

[2] Ibid vol 3 hal 372


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari