Habib Jindan dan rombongan saat ziarahi makan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari dan dzurriyah Tebuireng. (foto: zidan)
Habib Jindan dan rombongan saat ziarahi makan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan dzurriyah Tebuireng. (foto: zidan)

Salah satu penceramah bermanhaj salafi wahabi di Indonesia ialah Ustaz Yazid bin Abdul Qodir Jawwas. Banyak pendapat yang beliau utarakan untuk menentang amaliah muslim Indonesia. Salah satunya adalah ziarah kubur baik kepada Nabi, Wali Songo, atau selainnya.

Cacat Logika dalam Memahami Hadis

Al-Quran dan hadis merupakan sumber hukum agama Islam. Meski demikian, pengambilan hukum tidak serta merta langsung dari teksnya. Tetapi masih membutuhkan penalaran yang benar, perbandingan dengan dalil lain dan masih banyak lagi.

Meskipun wahabi melakukan penolakan dengan menggunakan hadis, mereka tidak bisa memahami hadis dengan baik dan benar. Sehingga memunculkan konklusi yang salah.

Hadis yang mereka gunakan adalah,

” ‌لَا ‌تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى “

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Artinya: “Janganlah mengencangkan pelana (melakukan perjalanan jauh) kecuali untuk menuju tiga masjid: Masjidil haram, Masjid Rasulullah (Nabawi) dan Masjidil aqsa.”

Dari hadis di atas, mereka beranggapan bahwa ziarah ke makam Nabi hukumnya haram. Dan mereka juga menganggap perjalanan yang dilakukan merupakan tindakan maksiat.

Namun pendapat ini ditolak oleh Sayid Muhammad bin Hasan Al-Maliki. Dalam kitab Mafahim Yajibu an Tusohah. Beliau menjelaskan cacat logika para wahabi dalam memahami hadis ini.

وَإِذَا نَظَرْنَا إِلَى هَذَا الحَدِيْثِ: وَجَدْنَا أَنَّهُ قَدْ جَاءَ فِيْهِ التَّصْرِيْحُ بِذِكْرِ الْمُسْتَثْنَى، وَهُوَ قَوْلُهُ: (إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ)، وَهُوَ مَا بَعْدَ (إِلَّا)، وَلَمْ يَأْتِ ذِكْرُ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ، وَهُوَ مَا قَبْلَ (إِلَّا)، فَلَا بُدَّ مِنْ تَقْدِيْرِهِ

فَاِنْ فَرَضْنَا أَنَّ المُسْتَثْنَى مِنْهُ (قَبْرٌ) كَانَ اللَّفْظُ المَنْسُوْبُ لِرَسُوْلِ اللهِ: لَا تُشَدُ الرِحَالُ إِلَى قَبْرٍ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ. وَهَذَا السِيَاقُ ظَاهِرٌ فِيْ عَدَمِ الاِنْتِظَامِ وَغَيْرُ لَائِقٍ بِالبَلَاغَةِ النَبَوِيَّةِ، فَالْمُسْتَثْنَى غَيْرُ دَاخِلٍ ضِمْنَ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ، وَالأَصْلُ أَنَ يَكُوْنَ الْمُسْتَثْنَى مِنْ جِنْسِ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ

Ketika kita melihat hadis ini, secara eksplisit ada penyebutan objek yang dikecualikan (المستثنى), yaitu ucapan beliau berupa إلى ثلاثة مساجد yang terletak setelah lafaz إلّا, dan tidak menyebutkan objek pengecualian (المستثنى منه)  yang terletak sebelum lafaz إلّا. Sehinggah harus ada pengira-ngiraan.

Ketika kita mengira-ngirakan objek pengecualian dengan kuburan, maka penisbatan lafaz kepada Rasulullah adalah: janganlah mengencangkan pelana (melakukan perjalanan jauh) untuk menuju kuburan kecuali untuk menuju tiga masjid. Hal ini menunjukkan ketidakseragaman dan ketidaksesuaian retorika bahasa kenabian. Dan objek yang dikecualikan tidak termasuk dari objek pengecualian. Sedangkan dalam ilmu gramatikal bahasa Arab, hukum objek yang dikecualikan harus sejenis dengan objek pengecualian.

Dari keterangan Sayid Maliki di atas, kita bisa mengetahui letak kesalahan wahabi dalam memahami hadis. Yakni menjadikan kuburan sebagai objek pengecualian yang tidak sejenis dengan objek pengecualian.

Agar lebih memahamkan, mari kita amati contoh ini, “Jangan minum minuman bersoda kecuali air putih”. Air putih bukan jenis dari minuman bersoda maka tidak tepat mengecualikan air putih. Begitu pula dalam konteks hadis di atas, masjid tidak sejenis dengan kuburan, maka pengecualian ini tidak cocok.

Logika yang Tepat Dalam Memahami Hadis

Secara tidak langsung, Sayyid Maliki sudah memberi tahu cara memahami hadis di atas. Yakni dangan cara mengira-ngirakan objek pengecualian yang sejesnis dengan objek yang dikecualikan. Dalam hal ini objek yang dikecualikan adalah masjid. Maka objek pengecualian yang sesuai dengan teks hadis adalah masjid. Sehingga kalimat yang benar adalah “Janganlah mengencangkan pelana (melakukan perjalanan jauh) untuk menuju masjid kecuali untuk tiga masjid.

Secara konteks, Nabi mengkhususkan kebolehan berpergian jauh kepada tiga masjid ini karena setiap masjid memiliki keistimewahan. Pertama, shalat di Masjidil Haram setara dengan salat seratus ribu kali. Kedua, shalat di masjid Nabawai setara dengan salat seribu kali. Ketiga, shalat di Masjidil Aqsa setara dengan salat lima ratus kali. Hal inilah yang mendukung objek pengecualian yang sesuai adalah masjid.

Dalil Gamblang Pensyariatan Ziarah

Meskipun wahabi masih bersikukuh mengharamkan amaliah ziarah, hendaknya kita abaikan saja mereka. Karena kita memiliki dalil yang jelas atas kebolehan ziarah. Rasululah bersabda,

“إِنِّي كُنْتُ ‌نَهَيْتُكُمْ ‌عَنْ ‌زِيَارَةِ القُبُوْرِ، فَزُوْرُوْهَا، فَإِنَّهَا تَذْكُرُ الاَ خِرَةَ”

Saya pernah melarang ziarah kubur, sekarang berziarahlah! Karena dapat mengingatkanmu kepada akhirat” (H.R. Bukhori).

Memang pada awal masa Islam Nabi sempat melarang para umatnya untuk melakukan ziarah. Kurang kuatnya iman merupakan salah satu faktor pelarangan. Setelah meningkatnya iman sahabat, Nabi menghapus pelarangan ini dan menganjurkan berziarah. Karena ziarah dapat mengingatkan kita kepada akhirat dan tidak bergantung terhadap hal-hal yang bersifat duniawi.


Ditulis oleh Mohammad Naufal Najib Syi’bul Huda, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang