Ilustrasi tulisan nama Muhammad

Impian besar umat Islam adalah dapat menghadirkan Nabi Muhammad SAW dalam mimpinya. Terdapat keterangan dalam hadis yang menjelaskan bahwa bila mimpi bertemu Nabi Muhammad sama saja ia melihat beliau dalam keadaan terjaga. Berikut teks hadisnya:

 مَنْ رَآنِي فِي المَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ، وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي  

Barangsiapa melihatku di dalam mimpi maka ia akan bertemu denganku dalam keadaan terjaga dan setan tidak dapat menyerupaiku” (H.R. al-Bukhari, No. 33)

Berdasarkan hadis di atas, maka ketika ada seseorang yang mimpi bertemu dengan Nabi, maka mimpinya adalah benar menurut syara’. Hadis di atas juga menjelaskan tentang kesamaan antara bentuk fisik Nabi yang dilihat dalam mimpi dengan melihat beliau secara langsung dalam kondisi terjaga. Keterangan ini seperti penjelasan oleh Imam hadis kenamaan, Syeikh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari-nya:

وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لَوْ رَآهُ فِي الْيَقَظَةِ لَطَابَقَ مَا رَآهُ فِي الْمَنَامِ فَيَكُونُ الْأَوَّلُ حَقًّا وَحَقِيقَةً وَالثَّانِي حَقًّا وَتَمْثِيلًا  

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Maksud dari hadits di atas bahwa jika seseorang bertemu Nabi dalam keadaan terjaga, tentu akan sama dengan apa yang ia lihat dalam mimpi di tidurnya. Maka yang awal (melihat Nabi dalam keadaan terjaga) adalah benar dan nyata dan yang kedua (melihat Nabi dalam mimpi) adalah benar dan merupakan sebuah perumpamaan,” (Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 12. hal. 384).

Kemudian apakah tingkatan derajat seorang yang iman pada Nabi Muhammad sedangkan ia tidak pernah melihat Nabi itu kalah dengan seorang yang iman pada beliau dan ia pernah melihat Nabi secara langsung? Tidak demikian, sebab justru yang sangat istimewa adalah orang yang cinta dan iman pada Nabi Muhammad padahal ia sama sekali belum pernah melihat beliau secara langsung.

Umumnya, seseorang akan mencintai sosok yang ia kenal sedari awalnya. Namun bila ada yang cinta tanpa pernah memandangnya, maka ini adalah cinta yang istimewa. Sebab cintanya amat tulus tanpa digantungkan dengan apapun.

Keterangan ini dapat dibuktikan dengan hadis riwayat Imam Ahmad:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لَهُ: ‌يَا ‌رَسُولَ ‌اللهِ، ‌طُوبَى ‌لِمَنْ ‌رَآكَ، وَآمَنَ بِكَ، قَالَ: ” طُوبَى لِمَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي، ثُمَّ طُوبَى، ثُمَّ طُوبَى، ثُمَّ طُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلَمْ يَرَنِي “، قَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَمَا طُوبَى؟ قَالَ: ” شَجَرَةٌ فِي الْجَنَّةِ مَسِيرَةُ مِائَةِ عَامٍ، ثِيَابُ أَهْلِ الْجَنَّةِ تَخْرُجُ مِنْ أَكْمَامِهَا “

Dari Abu Said Al-Khudriy RA, dari Rasulullah SAW bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepadanya: ‘Ya Rasulullah, beruntunglah bagi orang yang melihatmu dan yang beriman kepadamu.’ Beliau menjawab, ‘Beruntunglah orang yang melihatku dan beriman kepadaku. Kemudian beruntunglah, kemudian beruntunglah, kemudian beruntunglah bagi orang yang beriman kepadaku padahal ia tidak pernah melihatku.’ Kemudian laki-laki tersebut bertanya kepadanya, ‘Apa keberuntungan itu?’ Nabi menjawab, “Satu pohon di surga seratus tahun perjalanan ahli surga, barulah ia keluar dari naungannya.’” (Musnad Ahmad)

Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa iman kepada Nabi meski ia tak pernah melihatnya secara langsung merupakan sebuah keistimewaan tersendiri. Di antara nikmat yang besar adalah dengan diutusnya Rasul kepada umat manusia. Dengan perantara Rasul inilah umat menjadi terarah dan dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sebenarnya.


Ditulis oleh Syachrizal Nur Ramadhani Salim, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang