tebuireng.online– “Tahun 2013 dalam sebuah acara di Tebuireng, saya melihat santri yang sangat pendek. Usia SMP namun tapi lebih pendek dari cucu saya yang masih SD,” cerita Gus Sholah mengenai awal mula inspirasi beliau memperhatikan permasalahan gizi. Hal itu disampaikan Gus Sholah pada penutupan Pelatihan Gizi di Gedung KH. M. Yusuf Hasyim lt 3 Pesantren Tebuireng, Kamis (09/10/2015).

Dalam sambutannya, Gus Sholah menceritakan awal mula beliau terinspirasi untuk memperhatikan permasahalah gizi, khususnya dikalangan santri. Berawal dari melihat fenomena anak usia SMP yang tingginya tidak lebih dari cucu beliau yang masih SD.

Selanjutnya Gus Sholah memerintahkan untuk mengukur tinggi siswa tingkat SMA/MA di Tebuireng. Dari pengukuran tersebut, mendapatkan hasil bahwa 25 persen siswa pendek, yang memiliki tinggi normal hanya sepersepuluh dari keseluruhan jumlah siswa. Dari situ Gus Sholah mengakses google dan menemukan bahwa pravelensi untuk anak berukuran pendek di Indonesia mencapai 37 persen. Angka tersebut termasuk angka yang tinggi di dunia.

Hal itu mengilhami beliau menulis di Harian Kompas mengenai permasalahan gizi di Indonesia. Tulisan tersebut ternyata dibaca oleh para dokter gizi di Persatuan Dokter Gizi Medis Indonesia (PDGMI) dan Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia (PDGKI). Kemudian dua dokter dari dua organisasi tersebut datang ke Tebuireng untuk memberikan pelatihan.

“Lah itu saya tulis di Kompas. Dan dibaca oleh persatuan dokter gizi, dua orang datang ke Tebuireng memberikan pelatihan dan membantu mengatasi kekurangan gizi ini,” ungkap Gus Sholah. Target yang hendak dicapai adalah memperbaiki gizi santri, yang terlalu pendek ditingkatkan tingginya dan yang terlalu gemuk dikurangi berat badannya. Selain itu, Gus Sholah juga memperingatkan kepada para penujual makanan di sekitar Pesantren Tebuireng agar tidak menggunakan zat pengawet, dan zat-zat kimia berbahaya lainnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Melalui acara ini Gus Sholah ingin memberikan inspirasi kepada masyarakat, ahli gizi, dan pesantren lain untuk ikut dalam memperbaiki gizi anak-anak bangsa. Terlebih bagi pesantren lain, Gus Sholah sangat menekankan, supaya mengikuti jejak Tebuireng dalam usaha perbaikan gizi anak bangsa.

Di Indonesia, jumlah angka gizi buruk mencapai 5 persen, sedangkan yang kurang gizi mencapai 15 persen. Dari jumlah tersebut, 5 persen  gizi buruk dikalikan 250 juta penduduk Indonesia mencapi 12,5 juta anak bergizi buruk. Sedangkan jumlah balita di Indonesia adalah 23 juta lebih, dikalikan 5 persen, maka jumlah balita bergizi buruk mencapai 1,1 juta balita. “Jika dibiarkan mereka tidak akan bisa mengembangkan diri karena mempunyai kemampuan yang terbatas,” tambah Gus Sholah.

Untuk itu Gus Sholah mengajak kepada pesantren lain untuk ikut peduli terhadap permasalahan gizi ini. “Itu dapat kita lakukan dengan niat baik, bisa menjadi amal ibadah sosial kita. Jadi anda pasang niat yang baik dan positif untuk memberikan manfaat bagi sekeliling kita,” nasihat beliau kepada para peserta pelatihan gizi yang diadakan atas kerja sama Pesantren Tebuireng dengan Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng, Puskestren Tebuireng, PT Amerta Indah Otsuka, PDGKI dan PDGMI tersebut.

Atas kepedulian beliau dalam permasalahan gizi, Gus Sholah dipilih pemerintah sebagai salah satu kampiun atau duta gizi, yaitu orang-orang yang tidak berlatar belakang kesehatan yang ikut memberikan konsep dan aksi penanganan permasalahan gizi. Hal itu tentu memantik semangat para peserta yang mayoritas adalah mahasiswa dan alumni jurusan ilmu gizi dari berbagai perguruan tinggi.

Dari 30 peserta yang ikut, akan disaring menjadi 20 peserta yang lolos menjadi penggerak perbaikan gizi bersama Pesantren Tebuireng, PDGKI, dan PDGMI. (abror)