Oleh: Widya Maulidiyah
Suatu pernyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh umat Islam di dunia yakni terpuruknya dunia Islam di mata barat. Dalam hal ini Amerika dan Eropa, mendominasi hampir semua sudut kehidupan ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, hingga kebudayaan. Hampir semua cabang ilmu saat ini berkiblat kepada ilmu yang dikembangkan oleh barat.
Teknologi yang dikembangkan oleh Islam bagian barat laut, (peradaban Istanbul dan Damaskus) belum mampu menyaingi terobosan-terobosan yang dilakukan oleh bangsa Barat. Suatu fakta yang senantiasa menjadi diskursus utama manusia era sekarang yakni jika mengingat ‘siapa’ yang meletakkan dasar-dasar berbagai ilmu pengetahuan, yang akhirnya sukses menelurkan bermacam-macam–penemuan baru itu.
Diakui atau tidak ilmuwan Barat mendapat inspirasi dari para ilmuwan Islam yang telah mengembangkan berbagai disiplin keilmuan yang menakjubkan dunia sebelum dunia Barat mengenal aksara. Para pemikir islam diantaranya Ibnu sina, al-Kindi, al-Farabi telah menjadi penemu dan peletak pondasi keilmuan dunia. Islamlah yang pertama kali membawa ilmu dan tekhnologi ke Spanyol dan akhirnya berkembang di seluruh Eropa.
Islam hadir membawa peradaban yang tinggi berupa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, di tengah kegelapan Eropa (the dark ages) kala itu. Seperti dikatakan Marshal Hodgson, seorang sejarawan ternama dari Chicago University, “peradaban Islam pada masa itu bagaikan sebuah obor di malam yang “gelap gulita”.
Kenyataan yang ada sekarang berbanding terbalik dengan masa-masa keemasan Islam. Kini umat Islam mengalami keterpurukan dan dianggap sebelah mata oleh Barat. Bagaimana tidak khususnya di negeri kita ini antar umat islam selalu berseteru, Bangsa barat yang beragama kristen acapkali mengecilkan jumlah pemeluk Islam disuatu negara, sehingga dunia beranggapan bahwa Islam adalah minoritas di negeri orang. Di sebuah negara dimana islam adalah minoritas dan kristen mayoritas.
Umat Islam selalu mengalami diskriminasi hampir disetiap bidang. Relakah kita jika ilmu yang susah payah dikembangkan oleh para cendekiawan muslim diambil dan diakui barat sebagai bagian dari mereka? Apa yang akan kita lakukan sebagai umat Islam untuk menghidupkan kembali masa-masa keislaman?
Diskusi umat Islam pada era abad 19-21 banyak didominasi oleh bidang aqidah, fiqih, tasawuf, dan bahasa, hanya itu. Bahasan mengenai teknologi, ilmu pengetahuan, sains, dan ekonomi agaknya menjadi sisipan belaka. Keterbelakangan ini mungkin sesuai dengan kata-kata bijak, al-islamu mahjubun bi al-muslimin, bahwa Islam akan terhalangi oleh umatnya sendiri.
Peperangan yang terjadi di berbagai negara muslim, seperti Yaman, Suriah, Iraq, Mesir, Libia, Tunisia, lebih didasarkan pada kekuasaan dan egoisme ideologis, yang justru itu menghambat kemajuan Islam. Banyak tenaga ahli yang kehilangan kesempatan mengembangkan kemampuan mereka akibat perang yang tak berujung. Jutaan anak kehilangan kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak, serta para Ibu yang tidak bisa menghadirkan generasi yang baik.
Perbincangan mengenai hukum sebuah kejadian, lebih ditekankan daripada apa yang bisa menjadikan hukum itu bisa diputuskan. Artinya, semisal menghukumi sebuh perkara yang berhubungan dengan medis, agaknya ada keengganan untuk menghadirkan ahli dalam sebuah diskusi keagamaan. Tafriq atau pemisahan seperti ini bisa jadi menyebabkan pemilahan secara kerdil, ini ilmu akhirat dan ini ilmu dunia. Padahal setahu penulis Maha Berilmu dan Memberi Ilmu adalah Allah. Artinya semua ilmu bisa menjadi bekal menuju akhirat. Tinggal sejauh mana ilmu tersebut berdampak positif bagi dirinya, lingkungannya, negaranya, dan agamanya.
Gus Sholah sering menyampaikan dalam berbagai kesempatan, sebuah hasil penelitian Rehman dan Askari, bahwa keislaman semua Negara Muslim jauh dari angka normal. Dari 4 indeks ukuran (Economic Islamicity, Legal and Governance Islamicity, Human and Political Islamicity, International Relation Islamicity), yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Hasilnya keislaman rata-rata Negeri Muslim berada pada nomor 137 dari 208 negara. Indonesia berada pada urutan 140. Negeri muslim tertinggi adalah Malaysia pada urutan 38. Hal ini tentu memberikan gambaran jelas, mengenai kondisi Islam kini. Bagaimana jika indeks ukuran yang digunakan dibalik dengan mendasarkan pada ibadah bersifat ritual, misalnya shalat, puasa, zakat fitrah, apalagi haji, tentunya Negara-negara muslim bisa bertengger di urutan teratas.
Maka dari itu kita perlu mengkaji, memahami serta mengoreksi kembali sejarah kejayaan Islam masa lalu agar menjadi batu pijakan kesuksesan dimasa yang akan datang. Mengungkap kembali kebesaran dan kejayaan kebudayaan Islam di masa silam, tak lain dimaksudkan agar manusia memiliki kesadaran kultural yang dapat dipakai sebagai jembatan dalam membangun kembali pilar-pilar untuk masa depan. Mengingat kejayaan masa lalu merupakan buah usaha dari mereka yang benar-benar memperjuangkan pondasi Islam.
Jika manusia kehilangan kesadaran kultural, mungkin manusia akan kehilangan jejak masa lalu dan kehilangan arah masa depan. Merenungi masa keemasan Islam serta memiliki kesadaran kultural merupakan jalan untuk menggugah hati serta jiwa raga ini, agar kita, umat Islam terus mendukung dan menginspirasi para ilmuwan Islam masa kini untuk senantiasa berkarya. Ada saatnya nanti benar-benar Islam menguasai segala bidang yang ada di dunia ini, namun kearifan lokal, humanisme, kulturasi, serta toleransi tetap terjaga dengan damai. “al-Yauma akmaltu lakum dinakum, wa atmamtu alaikum ni’mati wa radhitu lakum al-islama dinan“, sebuah kalam Allah ini mengisyaratkan bahwa tidak ada alasan apapun mengatakan Islam tidak secara sempurna membahas segala hal. Tinggal orang-orangnya lah, yang membawa Islam ke arah mana hendak dituju. Wallahu a’lam bisshowab!
*Alumnus Pesantren Putri Khoriyah Hasyim Seblak, Lulusan SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng, aktif di Sanggar Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang, dan sekarang menjadi Guru Bahasa Inggris di Bandung.