Tim film “Jejak Langkah 2 Ulama” tahlil dan doa bersama di pusara almarhum KH. Salahuddin Wahid. (Foto: Siqit)

Oleh: Sigit Ariansyah*

Langit Jakarta meredup seperti sangat berduka, ketika Senin pagi itu tanpa pikir panjang saya tancap gas menuju Bandara hanya berbekal tekad, berharap di sana bisa go-show mendapatkan tiket pesawat paling pagi menuju Surabaya. Semua situs penjualan tiket online paling cepat hanya tersisa penerbangan jam 14.00. Kabar mendadak berpulangnya Abah Yai membuat saya panik, kacau, atau entahlah, saya kesulitan menamai apa yang saya rasakan saat itu.

Setelah mendatangi counter customer service hampir semua Maskapai, akhirnya saya mendapatkan tiket untuk penerbangan tercepat jam 12:50. It’s ok lah, hitungan saya, kalau sesuai rundown dari pihak keluarga, saya masih punya kemungkinan, meski kecil, untuk berkesempatan menshalatkan jenazah sebelum dimakamkan pada pukul 16:00 di Tebuireng. Bismillah, saya putuskan untuk bersabar menunggu keberangkatan tadi bandara sedari pagi berkawan dengan teh manis panas dan batang-batang kretek sambil menatap tetes-tetes air hujan yang lebih berasa seperti air mata.

Baru kemarin sedianya kami bertemu beliau untuk preview film kami. Sebuah film yang salah satunya diinisiasi oleh beliau sendiri. Baru semalam juga saya berkesempatan pulang ke rumah setelah berhari-hari mengerjakan tahapan post-pro di Jogja. Tapi Allah berkehendak lain. Kabar kepergian beliau sungguh membuat kami semua shock.

Bagi saya beliau seperti analogi-cermin untuk nasihat-nasihat normatif yang sering saya dengar sejak kecil. Paling tidak itu kesan saya, al-faqir yang bukan siapa-siapa ini, yang kebetulan selama lebih dari satu tahun mendapat barokah dari Allah bisa berinteraksi beberapa kali dengan beliau di akhir-akhir hayat beliau.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ya, beliau adalah DR (Hc). Ir. KH. Salahuddin Wahid (almaghfurlah), biasa disapa Gus Sholah, teman-teman Tebuireng akhir-akhir ini sering saya dengar menyebut beliau Abah Yai Sholah. Secara alami akhirnya saya terbawa ikutan memanggil beliau begitu.

Yang saya maksud nasihat-nasihat normatif itu seperti rendah hati, menghargai siapa saja yang beliau temui, tegas, cerdas, sampai konsep pemikiran beliau yang bagi saya cukup visioner dan out of the box, dengan mudah saya bisa menangkapnya dari sosok beliau. Bahkan dari beberapa kali berdiskusi dengan beliau, saya seperti menemukan teladan posisi ideal seorang Muslim; “Ummatan Wasathan”, moderat, pada sikap beliau. Satu kalimat yang selama ini hanya berasa semacam wacana kosong di awang-awang atas situasi umat negeri ini.

Seingat saya, pertama kalinya pandangan saya terpaut dan lebih fokus memperhatikan sepak terjang dan pemikiran beliau adalah ketika perhelatan Muktamar ke-33 NU tahun 2015. Saya seperti menemukan mata air di tengah gurun dari statement-statement beliau yang saya ketahui dari media maupun kawan-kawan yang kebetulan mengikuti perhelatan suksesi lima tahunan nahdhiyyin tersebut. Ternyata masih ada sosok ideal untuk umat ini, untuk negeri ini, batin saya saat itu.

Rasanya tidak perlu saya tuliskan lagi statement-statement atas sikap beliau yang membelalakkan mata saya saat itu. Semua orang pastilah sudah tahu karena banyak diliput media. Di hari kepergian beliau ini pun quote-quote beliau kembali bertebaran di media sosial maupun media mainstream. Hal itu semakin menegaskan kerinduan umat yang amat sangat atas ketegasan sikap beliau demi kebenaran sekaligus kehilangan yang mendalam atas ikut perginya sikap itu bersama beliau untuk selamanya.

Ketika lima tahun kemudian saya dipertemukan dengan beliau, wah, rasanya seperti mendapat kucuran berkah yang melimpah. Semua berawal dari hanya kebetulan saat saya beruntung dipilih untuk menjadi sutradara sebuah project kerja sama LSBO Muhammadiyah dan PP. Tebuireng dalam pembuatan film sejarah dua tokoh besar KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyári, Jejak Langkah 2 Ulama. Di mana executive producer film tersebut adalah KH. Syukrianto dan beliau sendiri, Abah Yai Sholah.

Sebagaimana sebuah project besar, film yang bagi saya cukup berat, saat pertama kali pertemuan dengan beliau dan pak Syukrianto waktu itu, tentu saja saya beranggapan akan ditanya seputar showreel atau portfolio saya sebagai sutradara atau treatment dan konsep seperti apa yang akan saya terapkan buat film ini dan sejenisnya. Saya  pun memang sudah siapkan diri untuk menjawab itu. Eh, ternyata tidak. Beliau malah lebih suka membahas asal-usul saya yang memang asli arek nJombang atau sedikit latar belakang pendidikan saya.

Lalu beliau melanjutkan dengan obrolan-obrolan lain menyangkut umat, bangsa dan banyak hal. Alih-alih melakukan presentasi, saya malah cukup bahagia menyimak pemikiran-pemikiran beliau sambil sesekali terpancing ikut urun pendapat dan diskusi. Begitu pun pertemuan-pertemuan kami selanjutnya sepanjang proses produksi film berlangsung baik di Tebuireng, di ndalem beliau di Jakarta ataupun komunikasi-komunikasi pesan beliau untuk saya yang disampaikan melalui berbagai pihak saat kami belum sempat bertemu.

“Amanah bagi negara sejak didirikan salah satunya wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Mas Sigit bisa hitung berapa sekolah negeri di Indonesia?” tanya beliau di satu obrolan. Saya berniat diam dulu sambil mencoba membaca arah pembicaraan sampai beliau melanjutkan. “Sekarang coba dihitung lembaga pendidikan yang didirikan oleh umat Islam bahkan sejak dari jaman penjajahan?”. Nggak nyangka ternyata saya masih juga diam. “Kalau begitu siapa yang sesungguhnya mencerdaskan bangsa ini? Wis gak usah kakean cangkem (sudah gak perlu banyak teori),” tutup beliau yang membuat saya semakin diam. Hanya kali ini ada reflek tambahan senyum dan anggukan kepala saya. Itu hanya salah satu obrolan bersama beliau yang sangat berkesan bagi saya.

Sekira satu minggu lalu beliau sempat berpesan kepada kami bahwa beliau bersama Pak Haidar Nashir dan beberapa tokoh NU dan Muhammadiyah berkenan mereview hasil film pada tanggal 2 Februari di Jombang. Sempat berembug dengan saya dan tim post-pro soal kesiapan, para produser mencoba memundurkan waktu menjadi tanggal 9 Februari. Abah Yai tegas menolak, tidak mau berubah, intinya harus tanggal itu. Tanpa pikir panjang kami pun segera booking satu studio bioskop NSC di Kota Jombang untuk tanggal tersebut.

Tanggal 29 Januari saya pun terbang ke Jogja untuk final-check hasil CGI dan color grading dengan planning untuk selanjutnya pergi ke Jombang pada tanggal 1 Februari. Namun tanggal 31 malam kami mendapat kabar bahwa Abah Yai ada tindakan medis di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta. Karena itu akhirnya kami sepakat preview kami pindahkan ke gedung PP. Muhammadiyah Jakarta mendekati beliau. Setelah lembur sampai pagi, kami bersama kurang-lebih 13 orang tim post-pro kemudian berangkat ke Jakarta menggunakan minibus.

Sesampai di gedung PP Muhammadiyah, Menteng jam 04:00 subuh, kami langsung bergerak men-setting proyektor, layar, speaker dan sebagainya. Hingga jam 09:00, para tamu mulai berdatangan. Tanpa sempat mandi ataupun sekadar mengganti pakaian, kami bersama teman-teman Maksi-Tebuireng menyambut kedatangan para tamu yang hadir, di antaranya Ibu Nyai Sholah, pak Syukrianto, Gus Umar Wahid, Kiai Kikin dan Ibu Nyai, Gus Ipang Wahid, Gus Billy Wahid, Ning Mutia, Gus Adib, juga para kiai-kiai lain dari Tebuireng yang sengaja terbang ke Jakarta pagi itu seperti Gus Riza dan Gus Fahmi yang kebetulan juga bermain dalam film ini. Menurut mas Amin, asisten pribadi beliau, nama-nama tersebut memang Abah Yai sendiri yang meminta dan membuat list agar hadir dalam pemutaran hari itu.

Saya merasa ada yang kurang. Abah Yai Sholah kok belum rawuh? Tapi saya berusaha diam, mencoba husnuddzon meski ada rasa khawatir yang mendalam dengan kondisi kesehatan beliau. Benar saja, tepat setelah pemutaran film selesai dan hanya sempat berdiskusi sebentar, tiba-tiba Ibu Nyai dan seluruh dzuriyyah segera berpamitan setelah mendapat kabar dari pihak Rumah Sakit atas kondisi Abah Yai yang katanya kritis.

Singkat cerita, rombongan tim post-pro pun kembali ke Jogja sore itu, kecuali saya yang memutuskan untuk pulang dulu ke rumah beberapa hari. Di rumah, lepas shalat Maghrib, reflek saya mengambil Al-Qurán. Entah kenapa saya merasa ingin sekali sekadar membaca surah Yasin dengan niat khusus mengirimkan doa untuk Abah Yai. Setelah itu sempat menanyakan kabar perkembangan ke Mas Amin. Mas Amin hanya menjawab dengan emoticon sedih. Saya paham, pastilah situasi di RS sangat hectic saat itu. Sayangnya saya tak sengaja terlelap. Mungkin karena dua hari sebelumnya tidak cukup tidur.

Hujan deras masih mengiringi pesawat yang saya tumpangi ketika akhirnya take off dari Jakarta. Langit seakan kompak, dua jam kemudian landing di Surabaya hingga melanjutkan perjalanan darat menuju Jombang pun nuansa sendu dan hujan deras itu tetap setia menunjukkan rasa kehilangan yang amat dalam. Sekira pukul 15:50 saya memasuki Cukir disambut lautan manusia. Di saat macet tak bergerak itu saya justru mendapat kabar bahwa prosesi pemakaman dimajukan menjadi pukul 15:00 tadi. Tak apalah, dengan berjubelnya pentakziyah seperti ini sepertinya itu menjadi keputusan yang tepat dari pihak keluarga. Beruntung, saya masih berkesempatan menyampaikan bela sungkawa kepada Bu Nyai dan putra-putra beliau di ndalem Tebuireng dan alhamdulillah diperbolehkan pula memasuki pusara almarhum untuk memanjatkan doa dan membaca tahlil bersama rombongan tim dari mixpro Jogja.

Meski kurang lebih hanya satu tahun saja kami mendapat kesempatan intens berinteraksi dengan beliau, tapi itu adalah satu tahun yang penuh kenangan, penuh pelajaran, ibrah dan barokah yang sulit untuk tidak kami syukuri. Walaupun masih tersimpan penyesalan yang sangat dalam di dada saya karena belum sempat menunjukkan karya kita bersama hingga akhir perjalanan beliau Almaghfurlah.

Kami bersaksi di hadapan Allah, Abah Yai Sholah adalah pribadi yang baik, menentramkan serta guru dan teladan yang sangat menginspirasi. Selamat jalan Abah Yai…. Allah lebih menyayangi Yai… Biarlah diam-diam saya merasa menjadi santri nJenengan.

O ya, belakangan saya baru sadar, ternyata sore itu di atas pusara Gus Sholah adalah untuk pertama kalinya saya memimpin tahlil di pemakaman di mana seluruh makmum yang mengikuti bacaan saya adalah saudara-saudara dari  Muhammadiyah, termasuk cicit kandung KH. Ahmad Dahlan sekaligus produser film JL2U, mas Andhika Prabhangkara dan musisi mas Adhit Jikustik. Nothing weird, anyway. Semoga Abah Yai tersenyum melihat kami dari alam sana.

Catatan dari Kereta malam Jombang-Jogja, 02022020.

*Sutradara Jejak langkah 2 Ulama