Ilustrasi sebuah pemandangan di puncak Bogor. (dok. ohbegitu.com)

Kepada Rembulan Bogor Selatan

Aku menantikan kehadiranmu
begitupun si pungguk, tupai, dan garangan
dan juga orang-orang yang sedang memadu asmara
di bawah pohon Cemara
beralaskan tikar lusuh tak bernyawa

                Duhai Rembulan….
                di penghujung bulan….
                 inginku lebih dekat dengan pembuatmu

                                Duhai Rembulan….
                                di penghujung tahun yang hujan
                                 inginku menutup tahun dengan      

                                catatan tanda tanya
                                 yang tak dimengerti oleh musang juga

                Duhai Rembulan….
                Inginku senantiasa mengabadikanmu
                ketika engkau berada di balik cemara
                di atas bangunan tua
               dan terlihat dari langit asrama

Duhai Rembulan…..
yang bersemayam di Bogor Selatan
kutitipkan rindku pada Tuanmu
melalui aksara
yang terlukis ketika suci maupun hina.

Bogor Selatan, 2023



Munajat dalam Kemuraman

Dalam lembah yang dihiasi dedaunan kering
pasca dibakar…
melahirkan abu…

menerbangkan serpihan-serpihan hitam kecil
yang berterbangan di cakrawala

mengotori pagi yang suci…
pagi yang muram…
muram, dan muram…
bersama pakaian kotor…

yang bermingu-minggu belum tersucikan
bersama serangga kecil
yang terkadang mengerumuni bekas kopi
yang terkadang juga bersemayam di peci

                    Inginku menyampaikan sebuah pesan…
                    di balik alam…
                    dalam kemuraman…

                    Inginku selalu dekat dengannya
                    Namun, kedekatan yang seperti apa?
                     dekat dalam lamunan?
                     dekat dalam ilusi tak berkesudahan?

                     atau dekat dalam kema’rifatan?
                     sebuah kedekatan yang tak terdefinisikan


Caringin, 12 Desember 2023



Duka Di Simpang Tiga

Dua buah puisi dalam khayalan
belum tertulis kata demi kata
hanya gambaran kepala
Di antara dua buah puisi itu
terselip duka

               Jum’at, saat matahari berada di atas kepala
                jalan raya padat merayap
               terdapat sebuah kepala
                yang kepalanya mencium tepi jalanan

Hilang…
jiwa dan raganya melayang
terbang ke angkasa
menghiasi cakrawala siang

mengarungi samudera lain
yang penuh keabadian

                   Bermandikan darah
                   hingga menghiasi marga
                   berhiaskan azan jum’at
                   disaksikan puluhan pasang mata

Selamat jalan…
Nirwana sebagai labuhan
Semoga manusia-manusia yang ditinggalkan
diberikan ketabahan bagai batu karang di tengah lautan

                      Jika saban minggu
                      simpang tiga dihiasi keceriaan
                      maka Jum’at tadi
                      di hari yang suci
                      simpang tiga dihiasi haru biru

Raut muka kesedihan, menghiasi wajah manusia
di sekitar simpang tiga
Tidak ada taburan kembang mawar
Tidak ada tangis lantang keluarga
Namun adanya air mata
yang perlahan kering disapu sinar Sang Surya

                        Dimeriahkan anak kecil yang lalu-lalang
                        di tengah keramaian
                        di sekitar simpang tiga
                        lalu-lalang manusia, ada yang gemetar
                        ada yang raut mukanya duka
                       bagai rembulan malam yang dibasuh    

hujan…
Sendu, pilu, dan hanya ada harapan
darah yang tercecer di simpang tiga
yang ditimbun pasir duka
yang terselip doa

semangat terselip dalam samudera abadi
biarlah hujan membasuh darah yang tersisa
di simpang tiga dan sekitarnya.

Cisempur, 2023



Penulis: Yogi Abdul Gofur

Santri di Pondok Pesantren Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin Bogor (takhassus tasawuf dan tarekatnya).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online