Sumber gambar: https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/175033-perlu-tahu-tentang-taaruf

Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari menyampaikan dalam Kitab karya beliau, Dlau’ Al Mishbah, bahwa rukun Nikah kedua adalah: “Az Zaujatu wa Az Zauju, ada calon suami dan calon istri”. Bahwa calon istri yang akan dinikahi itu harus wanita yang halal begitu juga si calon suami harus juga halal. Tidak boleh kedua dalam satu garis mahrom, misalnya saudara se-kandung, satu ibu dan satu bapak yang sama. Harus Laki-laki dan perempuan tulen, bukan huntsa atau banci, jenis kelamin ganda.

Lebih lanjut Hadratussyaikh menyampaikan bahwa tidak sah nikahnya seseorang yang dipaksa, atau berada dalam tekanan, atau ancaman secara tidak benar. Kecuali paksaan itu dalam kondisi benar, maka tidak masalah, atau sah. (lihat selengkapnya dalam kitab Dlau’ Al Mishbah karya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, halaman:13).

Wali Nikah

Wali dari si wanita adalah salah satu rukun dalam pernikahan. Dalam hal ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
  1. Wali Nikah harus dalam kondisi tidak dipaksa dan tidak terpaksa.
  2. Harus Baligh
  3. Harus berakal sehat
  4. Seorang Wali harus merdeka
  5. Seorang Wali harus Laki-laki. Maka tidak sah hukumnya, bilamana seorang wanita menjadi wali nikah, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, menurut Madzhab Syafi’i.
  6. Harus Adil
  7. Harus Islam
  8. Wali Nikah tidak boleh cacat pikiran dan pandangan seperti kondisinya pikun dll.
  9. Wali Nikah tidak boleh dalam kondisi ditahan, dan harus dalam kondisi pintar, paham dan mengerti serta punya sikap dewasa.

Wali Nikah

Pendapat tentang ini, para Imam madzhab memberikan beberapa pandangannya sebagai berikut:

  1. Madzhab Hanafi :

Kerabat dekat itu boleh menjadi wali nikah bilamana bapak dari si wanita tidak ada, atau ada sebab lain.

  1. Madzhab Maliki :

Boleh penguasa wilayah dalam hal ini pemerintah atau pengadilan yang berwenang untuk menjadi wali nikah, dengan beberapa persyaratan. Seperti wali hakim dll.

Urutan kerabat yang boleh menjadi wali nikah, menurut beberapa pandangan madzhab adalah :

  1. Madzhab Syafi’i:

Bapak/Ayah, Kakek dari Ayah, apabila keduanya tidak ada, maka boleh kerabat yang punya hubungan dekat seperti saudara kandung, Al Abu Li Abin, anak dari saudara kandung, kemudian ibnu Al Ab Li Ab,  paman, anak dari paman, ibnu Li Ab.

  1. Madzhab Hambali:

Bapak/Ayah, orang yang diberi wasiat oleh Bapak/Ayah setelah sepeninggalnya si Ayah (Wali Nikah karena sebab wasiat ayah), Wali Hakim sebab dalam kondisi butuh–seperti Wali Mujbir dll, baru kemudian Wali Wilayah. (selengkapnya penjelasan tentang ini, Silahkan lihat Kitab Al Fiqh ‘ala Al Madzahib Al Arba’ah karya Syaikh Abdurrahman Al Juzairy, Juz 4, hal. 28 terbitan Daar el Fikr).

Lebih lanjut Syaikh Abdurrahman Al Juzairy dalam Kitab nya ini menyampaikan bahwa : “Wali Nikah itu dibagi menjadi dua; yaitu Wali Mujbir dan Wali Ghairu Mujbir”. Maka tidak Sah hukumnya Nikahnya seseorang perempuan yang menikah tanpa izin dari Walinya dan tanpa Ridla dari Walinya.

Setelah melihat penjelasan di atas, saya berpandangan bahwa menikah itu memang harus prosedural, syarat mutlak Wali bagi seorang gadis dan perawan adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi. Beda dengan janda, maka para Ulama Ikhtilaaf atau berbeda pendapat tentang harus ada tidak nya Wali Nikah.

Tentang Saksi Nikah

Dalam hal ini, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan bahwa: “Syarat-syarat Saksi Nikah itu setidaknya harus memenuhi syarat, yaitu :

  1. Islam (orang Kafir tidak Sah menjadi Saksi Nikah)
  2. Baligh
  3. Berakal Sehat
  4. Merdeka
  5. Saksi harus Laki-laki
  6. Harus bersifat Adil
  7. Punya pendengaran yang sehat
  8. Harus dapat melihat dengan baik, tidak buta.

Lebih lanjut, Hadratussyaikh menyampaikan dalam Kitab Hasyiyah Al Bujairimiy dalam Syarah Kitab Al Minhaj : “Disyaratkan dalam Sahnya Nikah bagi perempuan yang bercadar, maka kedua orang Saksi Nikah itu harus dapat melihat si calon mempelai perempuan sebelum diberlangsungkannya Akad Nikah, apabila Akad dilangsungkan sedang wanita yang bercadar itu tidak dilihat secara langsung, dan dua orang Saksi itu tidak mengenalinya, maka Akad nya tidak Sah”. Karena persaksiannya dua orang Saksi Nikah itu seperti persaksiannya seorang Hakim.

Imam Al Zarkasi berpendapat: “Bahwa tidak sah hukumnya, akad nikah yang disaksikan oleh dua orang saksi, sementara si saksi itu tidak mengerti terhadap perempuan yang dinikahkannya”.

Imam Romli memberikan  pandangan: “Tidak sah hukumnya, nikahnya seseorang perempuan yang bercadar yang disaksikan oleh dua orang saksi, kecuali si saksi ini telah mengenalinya, tau namanya, ciri-cirinya, suaranya, bentuk wajahnya, nasabnya, bila tidak maka mikahnya batal atau tidak sah”.

Selain  Madzhab Hanafi, maka wajib Syarat menjadi Saksi itu harus dua orang Laki-laki yang adil. Tetapi, Madzhab Hanafi sendiri tidak mensyaratkan  harus dua orang Laki-laki, maka sah akad nikah dengan cukup disaksikan satu orang Laki-laki dan dua orang perempuan. Madzhab Hanafi tidak membolehkan dan tidak sah hukumnya, akad nikah yang hanya disaksikan oleh dua orang perempuan saja, tanpa melibatkan Laki-laki. (Silahkan lebih jelasnya, lihat dalam Kitab Al Fiqh ‘ala Al Madzahib Al Arba’ah karya Syaikh Abdurrahman Al Juzairy Juz 4, Halaman 25, terbitan Daar el Fikr).

Tiga Bahaya dalam Pernikahan

Lebih lanjut, Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari menyampaikan dalam Kitabnya, Dlau’ Al Mishbah : “Bahwa ada tiga perkara yang menyebabkan di dalam pernikahan itu berbahaya dan harus dihindari, yaitu :

  1. Lemahnya atau sulitnya mencari rizki yang halal.

Hal ini tidak mudah bagi kebanyakan manusia apalagi di dalam zaman seperti saat ini, (di mana perilaku dan godaan-godaan kedunianaan begitu luar biasa kuatnya). Banyak bisnis atau urusan muamalat banyak yang keluar dari pakem atau aturan syariat karena rusak nya prilaku manusianya.

Bisa jadi, sebab pernikahan itu sebagai pintu masuk dalam keharaman tersebut. Hal ini harus dijauhi dari siapapun yang melangsungkan pernikahan.

  1. Perilaku yang sembrono di dalam merawat, menjaga, dan mendidik keluarganya, istri dan anak-anaknya.

Kenapa? karena seorang laki-laki itu adalah penanggung jawab penuh kehidupan sebuah keluarga. Mau dibagaimanakan dan diapakan keluarga itu, ya tergantung pemimpin keluarga, yaitu seorang suami. Maka suami selaku nahkoda kehidupan rumah tangga harus benar-benar bertanggung jawab, mendidik, mengatur, dan mengarahkan jalannya rumah tangga terus menjadi lebih baik lagi.

  1. Salah satu bahaya juga di dalam sebuah tatanan keluarga yaitu mereka-mereka ini selalu menyibukkan diri (baik itu istri dan anak-anak), disatu sisi taat kepada Allah SWT, tetapi pada saat yang sama mereka ini sangat ambisi didalam mencari dunia serta mengumpulkan, menyimpan harta, bahkan hanya mengagung-agungkan serta memperbanyak harta.

Segala sesuatu yang menyibukkan diri dari taat kepada Allah, sehingga keluarga tersebut baik itu istri dan anak-anaknya bukan semakin dekat dengan Allah tetapi justru semakin jauh dengan Allah, maka hal ini adalah sebuah kecelakaan atau kejelekan yang besar dalam sebuah tatanan keluarga. (lihat Kitab Dlau’ Al Mishbah karya Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Halaman:7).

Dunia itu bagaikan bayang-bayang semu, bagai fatamorgana. Semakin di kejar, dunia itu semakin lari bahkan semakin menjauh dan terus menjauh. Jangan sampai kita ini terjerumus kepada manusia yang oleh Imam Al Ghazali itu dikatakan sebagai manusia yang Hubbud-Dun-yaa, cinta dunia. Bekerja, mencari bahkan Ikhtiar itu harus bahkan dianjurkan oleh Baginda Nabi, tetapi yang tidak boleh itu mengejar-ngejar dunia. Hidup ini hanya habis untuk urusan dunia saja.

Kita jangan larut dalam gemerlapnya dunia. Bukan kita yang mengejar-ngejar dunia tapi bagaimana kita ini yang dikejar oleh dunia.

Para ulama yang wara’, zuhud, yang ketakwaannya sudah tinggi itu tidak pernah mengejar-ngejar dunia, tetapi justru sebaliknya, beliau-beliau itu malah yang dikejar-kejar oleh dunia. Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari makanya memperingatkan kita tentang hal ini, di dalam karya dan kitab-kitab beliau termasuk yang sedang saya jadikan rujukan dalam tulisan saya kali ini, termasuk juga Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Bidayah Al Hidayah menerangkan khusus tentang hal ini.


*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.


*Disarikan dari Kitab Dhaul Misbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari  dan Kitab Madzahib al Arba’ah karya Imam Abdurrahman Al Juzairy.