KH. Ahmad Musta’in Syafi’i menyampaikan materi tentang politisasi agama dalam perspektit Al Quran, pada seminar nasional pusat kajian pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahad (04/03/18), di Tebuireng. (Foto: Kopiireng)

Tebuireng.online- Politisasi agama merupakan politik memanipulasi suatu pemahaman dengan cara propaganda yang juga diterapkan dalam politik-politik pemilu. Hal tersebut tentunya untuk mengambil hati masyarakat dan menguras suara sebanyak-banyaknya pada saat pemilu. Hal ini disampaikan oleh KH. Ahmad Musta’in Syafi’i, dalam Seminar Nasional “Mencari Kesepakatan Tentang Makna Politisasi Agama” yang berlangsung di Gedung Yusuf Hasyim Tebuireng, Ahad (04/03/18).

“Saya mau bertanya, sebagai orang muslim beriman perilaku politik kalau tanpa dasar agama terus berdasarkan apa? Jika orang Islam beriman, maka dasarnya itu ya agama,” terang Kiai Musta’in membuka pembahasan.

Selanjutnya kiai yang juga dosen Pascasarjana Unhasy ini menuturkan bahwa  tidak ada salahnya jika orang beriman kemudian tergerak sesuai prinsip keimanannya, yaitu memilih pemimpin yang seiman, hal tersebut tidak ada yang dilanggar dan demokrasi membolehkan. Orang Kristen memilih pemimpin sesama Kristen juga tidak ada salahnya. Menurutnya, semua boleh, yang dilarang oleh undang-undang ialah tidak boleh memfitnah, merendahkan antara satu sama lain itulah yang harus digaris bawahi.

“Memang agama hanya untuk di masjid? di pasar gak boleh ada agama? memang agama hanya di mushalah di gedung DPR gak boleh ada agama? Terus iman model opo iku?” ungkapnya dengan nada khasnya.

Selain itu, beliau juga memaparkan dengan singkat tentang politik pada masa Rasulullah. “Saya pernah menyelidiki kenapa sih Rasulullah wafat diusia 63 tahun. Analisis medis paling tinggi itu karena setahun sebelumnya Rasulullah diracun oleh Zainab bintul Haris yang memberi makanan kepada Rasul, lalu diberi racun, ketika hendak dimakan dagingnya berbicara bahwa ia mengandung racun, akhirnya orang yang ikut makan bersama Nabi meninggal. Oleh Karena itu perjalanan politik pada zaman Sayyidina Ali dan lain-lain mengangkat Al Quran dengan pola-pola agama yang menyebabkan perang jamal, perang shiffin dan lain-lain, bayak sahabat yang mati. Siapa di antara kalian yang berani menghukumi perang antara sahabat itu sendiri karena politik masuk neraka?” tanyanya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di antara pertanyaan itu, Kiai Musta’in berkomentar, bahwa saat itu hanya Ibnu Ruslan yang memilki komentar bagus. “Sudahlah itu urusannya ijtihad, jika kita tidak punya kewenangan untuk mengomentari nash itu, maka diamlah,” imbuh kiai pengisi Khutbah Tebuireng itu, dalam ceritanya pada para hadirin.

Selain itu Mudir Pendidikan Madrasatul Quran (MQ) itu juga menyampaikan kisi-kisi Al Quran itu ada apa saja. Beliau juga menyampaikan bahwa Al Quran itu arahnya baik, bukan dipelesetkan. Dalam penyampaian materi itu, beliau memberikan contoh melalui pertanyaan. Di antara pertanyaan yang disampaikan pada para hadirin adalah bolehkah muslim memilih pemimpin nonmuslim? Hal itu bukan soal emergency, keduanya sama-sama memenuhi syarat. Al Quran itu bicara dari berbagai perspektif, yaitu melihat konteksnya terlebih dahulu. Jika keadaan normal biasa, hubungan antara manusia maka ayatnya “laa yaghdhibullah” Allah tidak akan marah jika kita berbaik-baik. Jika dalam keadaan perang, maka ayat yang digunakan ialah “wa qaatilu alladzina yatlunakum min al-kuffar” dan jika ingin memilih pemimpin maka ayatnya ialah Al-Maidah: 51 seperti yang telah disinggung.

“Jadi jika mengambil ayat pada contoh pertama untuk kasus ketiga tentu tidak cocok, jika menggunakan ayat pada contoh kedua untuk kasus ketiga juga tidak cocok, begitu pula sebaliknya. Maka dari itu, ayat harus sesuai dengan konteks yang ada. Karena Al Quran tidak perlu diragukan kebenarannya, yang salah ialah orang yang memahaminya,” tegas Kiai Musta’in diakhir penyampaian materi dalam seminar nasional itu.


Pewarta: Rofiqatul Anisah

Editor/Publisher: Rara Zarary