dr. Fuad Amsyari, MPH., Ph.D, Dewan Kehormatan ICMI Pusat, memberikan materi tentang hubungan agama dan politik dalam seminar nasional di Pesantren Tebuireng, Ahad (04/03/18). (Foto: Kopiireng)

Tebuireng.online- Fuad Amsyari, Dewan Kehormatan ICMI Pusat, menjadi narasumber Seminar Nasional “Mencari Kesepakatan Tentang Makna Politisasi Agama” di Pesantren Tebuireng, Ahad (04/03/18). Kali ini, sosok yang dinilai sangat hebat karena pemikiran ideologi Islam yang dimilikinya sempat disinggung dengan salah satu quotenya yang pernah viral.

“Surga bukan untuk kita sendiri, orang-orang di lingkungan kita juga harus masuk surga,” ungkap moderator usai membacakan riwayat hidup Dewan Kehormatan ICMI Pusat ini.

Sesuai penjelasannya, maksud dari quote tersebut adalah kalau seseorang ingin masuk surga maka segala sesuatu yang berkaitan dengannya harus dipersiapkan.

“Misi agama Islam adalah menyelamatkan society yang rusak. Bukan personality yang ingin masuk surga. Ini bisa dibuktikan dengan keadaan masyarakat pada zaman sebelum Islam, sebelum Rasulullah SAW mendapat wahyu dari Allah SWT,” jelas lelaki yang dipanggil Ustad Fuad, oleh para narasumber lain dalam seminar itu.

Hakikatnya, terangnya lebih lanjut, Rasululah adalah seorang pedagang yang kaya, memiliki jasmani yang sehat, tampan, tidak cacat sama sekali, namun Rasulullah tidak berleha-leha dengan itu semua. Rasulullah merasa sangat prihatin dengan keadaan masyarakat yang rusak itu. Misi Islam adalah menyelamatkan society yang rusak.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Adapun tema yang disuguhkan oleh Fuad Amsyari adalah batas hubungan agama dan politik, melerai polemik Islam politik, politik Islam, politisasi Islam, menuju kesepakatan makna politisasi agama. Namun, sebelum menyinggung mengenai politisasi agama itu, Fuad menyampaikan tentang tiga golongan manusia sesuai dengan cara hidupnya.

Pertama, ialah manusia yang hidup mengalir begitu saja sesuai dengan kebutuhan dan kenyataan yang dihadapi. Manusia yang perlu makan atau uang maka mencari pekerjaan. Manusia yang ingin memiliki pengaruh, maka dengan mudah terjun dalam politik mana saja, asal bisa membuatnya memiliki jabatan, kedudukan, kekuasaan, hingga akhirnya ia disegani, dipuji, dan ditaati perintahnya.

Kedua, manusia yang menggunakan akal pikirannya setelah merangkak keluar dari masa kecilnya. Yang mana kehidupannya terbimbing oleh akal fikirannya yang panjang dan tidak sederhana, baik itu berupa nasihat dari orang tua maupun seorang pendidik. Pada golongan ini, manusia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu atheis–manusia yang dikategorikan tidak bertuhan- dan manusia yang bertuhan tanpa beragama.

Ketiga, manusia pada kelompok 3 ini adalah manusia yang meyakini bahwa diri sendiri dan alam semesta memiliki sang pencipta. Selain itu, mereka meyakini bahwa terdapat tuntunan yang harus diikuti oleh manusia. Inilah yang dinamakan dengan beragama.

“Pengelompokan manusia menjadi 3 golongan inilah, yang menjadi contoh dari tema kita sekarang ini. Kita berada di macam ketiga. Kelompok yang meyakini bahwa diri dan alam semesta ini ada karena ada penciptanya. Dan tuntunan yang harus diikuti oleh manusia agar hidupnya selamat di dunia maupun di akhirat,” terangnya.

Kemudian Fuad menuturkan bahwa segala sesuatu yang terkait dengan goverment adalah politik.

“Sebelum menjadi DPR, ikut politik. Ingin menjadi presiden, ikut politik. Mengapa? Karena ia akan berhubungan dengan orang banyak dana kan membutuhkan dukungan orang banyak agar ia ditunjuk menjadi seorang pemimpin,” jelasnya.

Sesuai dengan penuturannya, agama Islam mengajarkan politik. Hal ini dibuktikan dengan peristiwa Rasulullah yang diakui menjadi pemimpin kota Makkah selama 10 tahun. Kalau tanpa proses politik, maka tidak akan Rasulullah dianggap, diakui sebagai pemimpin. Terlebih selama 10 tahun. Dan sudah jelas sekali di dalam Al Quran terdapat ayat-ayat yang terkait dengan masalah negara, kebebasan, kekuasaan, kebijakan, hingga pemerintahan. Selain itu ada pula hadis-hadis yang menjelaskan hal tersebut.

Nah, oleh karena itu, suatu kesalahan yang fatal apabila agama dikait-kaitkan dengan politik yang sebenarnya memang tidak memiliki kaitan. Hanya sebagai kepentingan pribadi. Maka batas hubungan antara agama dan politik menurut agama Islam terletak pada adanya unsur keharaman dalam berperilaku, antara lain perilaku yang berniat pengelabuhan dalam aktifitas politik,” imbuhnya.

Dalam makalah yang disampaikannya, dijelaskan bahwa politisasi adalah kosa kata yang mengandung arti konotasi politik. Artinya, sesuatu yang diakit-kaitkan politik itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik. Yang dimaksud sesuatu, di situ adalah agama. Maka pesan yang terkandung dalam politisasi agama adalah jangan memaksakan masalah agama yang tidak ada hubungannya dengan politik dan dikait-kaitkan dengan aktifitas politik.

“Dengan kata lain, politisasi agama berarti membawa-bawa urusan agama ke dalam aktivitas politik yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan politik,” tegasnya.

Sebaliknya, menurut Fuad, apabila ada tujuan atau visi dan misi yang sejalan dengan syariat agama Islam, maka sepatutnya untuk diapresiasi karena kematangan mereka (kelompok-kelompok) dalam mematuhi ajaran agamanya.


Pewarta: Fitrianti Mariam Hakim

Editor/Publisher: Rara Zarary