
Dalam Islam kita mengenal sebuah konsep yang bernama mukjizat. Kata mukjizat berasal dari kata ‘Ajaza (عجز) yang mempunyai arti “melemahkan”. Sedangkan kalau konteksnya pada al-Qur’an bisa dipahami sebagai berikut
إظهار صدق النبي صلّى الله عليه وسلم في دعوى الرسالة، بإظهار عجز العرب عندئذ عن معارضته صلّى الله عليه وسلم في معجزته الخالدة وهي (القرآن الكريم) وكذلك عجز الأجيال القادمة من بعدهم إلى ما شاء الله تعالى
Menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam dalam klaim kenabiannya, dengan menunjukkan ketidakmampuan orang-orang Arab pada saat itu untuk menantang beliau SAW dengan mukjizatnya yang abadi, yaitu (Al-Qur’an yang mulia), serta ketidakmampuan generasi-generasi setelah mereka hingga Allah menghendaki.[1]
Setiap nabi dikaruniai keistimewaan (Mukjizat) masing-masing, misanya Nabi Musa dengan tongkat yang bisa membelah lautan, Nabi Isa yang bisa menghidupkan orang mati, Nabi Sulaiman yang bisa berbicara dengan binatang dan masih banyak lainnya. Seperti Nabi atau Rasul lainnya Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam juga mempunyai mukjizat yakni al-Qur’an.
Baca Juga: Mukjizat-Mukjizat Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam pernah bersabda yang diriwayatkan Imam Bukhari;
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ نَبِيٌّ إِلَّا أُعْطِيَ مَا مِثْلهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إِلَيَّ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, Al-Laits telah menceritakan kepada kami, Sa’id Al-Maqburi telah menceritakan kepada kami dari bapaknya dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata, Nabi ﷺ bersabda, “Tidak ada seorang Nabi pun kecuali telah diberi keistimewaan-keistimewaan khusus yang tidak diberikan kepada manusia lainnya sehingga orang-orang beriman padanya. Dan ada pun yang diberikan padaku adalah wahyu yang Allah turunkan kepadaku. Maka aku berharap, bahwa aku menjadi Nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.”[2]
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathu al-Bari mengomentari hadis diatas mengapa mukjizat Nabi Muhammad berupa al-Qur’an, beliau berkata;
لَمَّا كَانَ الْعَرَبُ الَّذِينَ بُعِثَ فِيهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْغَايَةِ مِنَ الْبَلَاغَةِ جَاءَهُمْ بِالْقُرْآنِ الَّذِي تَحَدَّاهُمْ أَنْ يَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ فَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى ذَلِكَ
Ketika orang-orang Arab yang diutus kepada mereka yakni Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam, orang Arab adalah yang paling fasih dalam berbahasa (Balaghah), beliau datang kepada mereka dengan Al-Qur’an yang menantang mereka untuk membuat satu surat yang serupa, namun mereka tidak mampu melakukannya.[3]
Dari keterangan Ibnu Hajar bisa dipahami kalau Nabi Muhammad yang mempunyai mukjizat al-Qur’an sangat cocok dengan kondisi masyarakat Arab kala itu yang maju dalam bidang tata bahasa. Kondisi seperti ini juga terjadi pada Nabi Isa misalnya yang punya mukjizat menghidupkan orang mati dan bisa menyembuhkan orang buta. Mukjizat Nabi Isa sangat cocok kepada beliau karena pada saat itu ilmu kedokteran sangat digandrungi. Pendapat yang mengatakan kalau para Nabi dan Rasul memiliki mukjizat yang sesuai dengan kondisi sosial dimana mereka berdakwah didukung oleh banyak ulama. Misalnya Muhammad Abu Zahroh yang berkata dalam kitabnya
وكل معجزة تناسب العصر الذي بعث فيه النبي، وتتفق مع ما تدركه عقولهم، من حدود القدرة البشرية في موضوع المعجزة وذاتها، وقد تكون علاجاً لحالهم
Dan setiap mukjizat disesuaikan dengan zaman di mana nabi diutus, dan sesuai dengan apa yang dapat dipahami oleh akal mereka, dalam batas kemampuan manusia terkait tema mukjizat dan hakikatnya, serta bisa jadi merupakan solusi bagi kondisi mereka.[4]
Baca Juga: Meneladani dan Memaknai “Akhlak Qur’an” yang Dimiliki Rasulullah
Al-Qur’an sendiri memiliki keistimewaan sendiri daripada mukjizat Nabi/Rasul yang lainnya. Hal ini disinggung oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan. Menurut Imam Suyuthi al-Qur’an merupakan mukjizat yang sifatnya Aqliyyah (akal) berbeda dengan mukjizat yang diberikan ke Bani Israil misalnya yang sifatnya Hissiyah (indrawi). Beliau juga ikut mengomentari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di atas;
إِنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ مُعْجِزَاتِ الْأَنْبِيَاءِ انْقَرَضَتْ بِانْقِرَاضِ أَعْصَارِهِمْ فَلَمْ يُشَاهِدْهَا إِلَّا مَنْ حَضَرَهَا وَمُعْجِزَةُ الْقُرْآنِ مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya maksudnya adalah bahwa mukjizat para nabi hilang seiring dengan hilangnya zaman mereka, sehingga tidak ada yang menyaksikannya kecuali orang-orang yang hadir saat itu. Adapun mukjizat Al-Qur’an, maka itu akan terus berlanjut hingga hari kiamat.[5]
Al-Qasthalani juga berpendapat demikian, dalam kitabnya beliau berkata;
إذ باستمرار المعجزة ودوامها يتجدد الإيمان ويتظاهر البرهان، وهذا بخلاف معجزات سائر الرسل فإنها انقرضت بانقراضهم وأما معجزة القرآن فإنها لا تبيد ولا تنقطع
Karena dengan keberlangsungannya mukjizat, iman akan diperbarui dan bukti akan semakin nyata. Ini berbeda dengan mukjizat para rasul lainnya yang punah seiring dengan punahnya mereka. Sedangkan mukjizat Al-Qur’an, ia tidak akan hilang dan tidak akan terputus.[6]
Al-Qur’an memang istimewa dan dibawa sebagai risalah oleh orang yang juga istimewa. Sebuah anugrah yang hanya dimiliki oleh umat Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam yang masih bisa menikmati mukjizat nabinya sampai hari kiamat. Sifatnya yang aqliyah masih mampu membimbing manusia agar berpikir dari awal turunnya dan pasti akan terus mampu membimbing umat manusia sampai hari kiamat.
Penulis: Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng
[1] Muhammad Ma’bad, Nafahat min Ulum Al-Qur’an, (Kairo:Dar al-Salam, 2005), 101.
[2] HR Imam Bukhari No. 4981.
[3] Ibn Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari li Ibn Hajar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1960), 7/9.
[4] Muhammad Abu Zahra, Syari’at Al-Qur’an min Dalail I’jazihi, (Kairo: Dar al-Arubah, 1961), 6.
[5] As-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, (Hai’ah al-Misriyah al-‘Amah li al-Kutub, 1974), 3/4.
[6] Abdul Malik al-Qastalani al-Qutubi al-Masri, Irsyad as-Sari li Syarh Sahih al-Bukhari, (Mesir: Al-Matba’ah al-Kubra al-Amiriyah, 1905), 444/7.