Oleh: Ayung Notonegoro*
Perbedaan pendapat di antara para ahli ilmu bukanlah hal yang aneh. Justru banyak muncul dari perdebatan tersebut, khazanah keilmuwan yang lebih kaya. Termasuk juga di kalangan para kiai di Nusantara. Tak sedikit kisah yang menuturkan perbedaan pendapat atau ijtihad di antara para kiai.
Namun, perbedaan di kalangan para kiai itu tidak lantas menjadikan permusuhan. Bagi mereka, perbedaan (ikhtilaf) adalah rahmat. Dari kredo inilah, perdebatan di antara para kiai tetap panas di meja keilmuwan, namun tetap hangat dan gayeng di luar itu.
Salah satu perbedaan pendapat di kalangan para kiai adalah kisah antara Kiai Ahmad Dahlan Ahyad Surabaya dengan Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari Jombang. Keduanya dikenal sebagai ulama yang pilih tanding. Keilmuwannya dalam bidang agama tak ada yang meragukan.
Perbedaan tersebut, bermula dari persoalan Masjid Paneleh di Surabaya. Masjid tua itu pada kurun dekade 20-an, hendak direnovasi. Bangunannya yang kecil tak lagi menampung jamaah. Akan tetapi, ketika hendak diperluas, ada areal pemakaman yang mengelilinginya. Pemakaman kuno tersebut menjadi polemik tersendiri. Boleh atau tidak menggusur kuburan tersebut untuk perluas masjid?
Dalam buku “Penyerap Gemuruh” (ada pula yang mengartikan “Penyirep Gemuruh”) yang ditulis oleh KH. Wahab Hasbullah terhadap polemik tersebut, pihak takmir, setelah melakukan konsultasi dan kajian hukum syar’i, memutuskan untuk melakukan perluasan masjid. Namun, di tengah proses pembangunan, pihak pekerja menemukan belulang manusia kala mencangkul tanah bekas kubur yang hendak dijadikan pondasi masjid. Polemik pun kembali menghangat.
Pihak takmir pun kembali mengadakan musyawarah untuk mengambil keputusan. Hendak dilanjutkan atau tidak pembangunan tersebut. Musyawarah atau lebih tepatnya disebut bahtsul masail itu dihelat pada 28 Dzulhijah 1342 H.
Masih dalam sumber yang sama, bahtsul masail tersebut setidaknya dihadiri oleh 14 kiai sepuh di Surabaya dan sekitarnya. Di antaranya adalah Kiai Munthaha Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari Jombang, Kiai Bisri Syansuri Jombang, Kiai Faqih Sedayu Gresik, Kiai Ahmad Dahlan Ahyad Kebondalem Surabaya dan tentunya Kiai Wahab sendiri yang merekam kejadian tersebut.
Dari permusyawaratan tersebutlah, muncul polemik yang melibatkan dua sosok ulama terpandang, yakni KH. Ahmad Dahlan Ahyad Surabaya dengan KH. Hasyim Asy’ari Jombang. Kiai Hasyim berpendapat bahwa pembangunan boleh dilanjutkan, sedangkan Kiai Dahlan memutuskan sebaliknya.
Argumentasi yang dibangun oleh Kiai Hasyim – sebagaimana tercatat dalam kitab Penyerap Gemuruh – berlandaskan pada kitab Fathul Bari karya Imam Ibnu Hajar al Asqalani dan Tuhfatul Bari karya Imam Zakariya al Anshori. Dari hasil bacaannya tentang bab diperbolehkannya mengeluarkan mayit dari dalam kubur dan batasan-batasannya dari dua kitab itu, Kiai Hasyim mengikuti satu pendapat dari tiga pendapat yang muncul.
Ada tiga jenis pendapat ulama tentang perkara tersebut sebagaimana terurai dari dua kitab syarah Shahih Bukhari itu. Pendapat pertama tidak memperbolehkan sehingga ada ‘bala’ yang akan mengancam keberadaan jenazah. Jika ada, maka boleh dipindah. Pendapat kedua memperbolehkannya dalam kasus-kasus tertentu. Sedangkan pendapat yang ketiga juga memperbolehkan asalkan untuk tujuan mendapatkan kebaikan yang lebih. Pendapat terakhir ini yang dipilih oleh Kiai Hasyim.
Ada beberapa dalil yang dirujuk oleh Kiai Hasyim sebelum memilih pendapat tersebut. Ia merujuk pada hadis “permudalah jangan dipersulit “يسروا ولاتعسروا” serta firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 185, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tak menghendaki kesulitan.”
Adapula hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, “Perkara yang paling baik menurut Rasulullah SAW di antara dua perkara yang harus dipilih adalah perkara yang paling mudah di antara keduanya…..”
Dari runtutan argumen tersebut Kiai Hasyim memutuskan sebagaimana ditulis oleh Kiai Wahab sebagai berikut:
“Istidlal (mengambil dalil) yang dilakukan oleh Kiai Hasyim terhadap bagusnya pekerjaan tersebut dan diperbolehkannya penggalian, maka ia memperbolehkan untuk sengaja menggalinya dengan niatan untuk kemaslahatan …”
Akan tetapi, argumentasi dari Kiai Hasyim yang cukup runtut dan jelas itu, mendapat sanggahan dari Kiai Dahlan Ahyad. Menurutnya, meneruskan pembangunan masjid dengan mencaplok tanah kubur yang terbukti terdapat tulang belulangnya tersebut sebagai perbuatan haram dan munkar. “Hajat apapun tetap tidak bisa untuk meneruskan (pekerjaan tersebut -pentj).”
Sayangnya, Kiai Wahab tak menjabarkan secara rinci landasan dalil dan argumentasi Kiai Ahmad Dahlan Ahyad tersebut. Di mana kala itu, ia bersama dengan Kiai Faqih Sedayu menjadi pihak yang menolak.
Akhirnya, berdasarkan musyawarah tersebut, diambil suara terbanyak yang memperbolehkan meneruskan pembangunan Masjid Paneleh. Kiai Ahyad yang tak sepakat, mufaraqah terhadap keputusan tersebut.
Kiai Miftahul Akhyar mengutip kisah dari bapaknya menceritakan sikap Kiai Ahyad selanjutnya. Kiai kelahiran Surabaya 30 Oktober 1885 itu, sepanjang hidupnya tak berkenan untuk sholat di Masjid Paneleh.
“Secara pribadi pernah diceritai ayah saya waktu kecil tentang sikap konsekuen beliau, Kiai Dahlan, baik secara keilmuan maupun praktik terhadap keputusan para ulama kaliber tentang perluasan Masjid Ampel (Paneleh – peny) Surabaya yang seingat saya sempat menggusur makam sekitarnya. Beliau tidak setuju dengan keputusan itu sehingga sebagai konsekuensinya beliau tidak berkenan sholat di Masjid tersebut,” tulis Kiai Miftahul Ahyar dalam kata pengantar buku “Biografi KH. Ahmad Dahlan Ahyad: Aktivis Pergerakan dan Pembela Ideologi Aswaja” (Pustaka Idea: 2017).
Meski terlibat polemik hingga mufaraqah demikian, tidak lantas membuat kedua ulama sepuh itu bertingkai. Konsekuensi akademis tak serta merta berpengaruh pada ranah sosial. Keduanya tetap menjalin komunikasi dan melakukan perjuangan bersama.
Salah satu contoh yang bisa diketengahkan untuk membuktikan kedekatan dua ulama tersebut setelah berpolemik adalah proses pendirian Nahdlatul Ulama. Keduanya turut terlibat mendirikan. Bahkan, Kiai Hasyim ditunjuk sebagai Rais Akbar NU, Kiai Dahlan Ahyad dipercaya sebagai wakilnya. Begitu juga dengan Kiai Faqih Sedayu, beliau juga turut terlibat.
Hal ini tak lain, karena mereka semua memahami dengan baik kredo: perbedaan adalah rahmat. Patut diteladani, bukan?
*PCNU Banyuwangi, Pecinta Literasi dan Pegiat Komunitas Pegon
Sumber: http://www.halaqoh.net/2018/07/kala-kh-dahlan-ahyad-berbeda-pendapat.html?m=1