sumber foto: https://d10dnch8g6iuzs.cloudfront.net/picture/20620170622115823465

Oleh: Silmi Adawiyah*

Mudik adalah momen yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Niat silaturahim ke kampung di hari raya Idul Fitri selalu dipersiapkan jauh-jauh hari. Mulai dari pemesanan tiket, menjaga kesehatan dan lain sebagainya. Namun perjalanan mudik yang memakan waktu lama terkadang membuat seseorang tidak bisa menunaikan ibadah shalat tarawih. Tempat atau kondisi yang tidak mendukung membuatnya tidak bisa melaksanakan dalam perjalanan.

Hukum tarawih adalah sunah muakkad, yaitu mendapatkan pahala apabila melakukannya dan tidak berdosa jika meninggalkannya. Menunaikan shalat tarawih terhitung sebagai melakukan qiyam Ramadhan. Dalam konteks ini, Rasulullah pernah memotivasi untuk qiyam Ramadhan. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa yang melakukan qiyam ramadhan, karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosa yang telah lewat akan diampuni. (HR. Bukhari  Muslim).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Shalat tarawih ini dianjurkan untuk dilakukan di masjid berjamaah dengan seorang imam. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَإِنَّهُ يَعْدِلُ قِيَامَ لَيْلَةٍ

Siapa yang mengerjakan shalat malam (ramadhan) bersama imam sampai selesai, itu senilai dengan shalat semalam suntuk.(HR. Nasai, Tumudzi, dan disahihkan Syuaib al Arnauth).

Bagi seseorang yang melakukan perjalanan atau mudik sehingga tidak bisa menunaikan shalat tarawih, maka ia tetap mendapatkan pahala shalat sunah yang menjadi rutinitas. Sehingga jika keadaan tidak mendukung untuk shalat tarawih, ia tidak perlu memaksakan kehendak untuk tetap menunaikannya. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحً

Ketika seorang hamba itu sakit atau safar, maka dicatat pahala untuknya sesuai amalan yang dia lakukan ketika mukim (tidak safar) dan ketika sehat.” (HR. Bukhari  Muslim).

Keistimewaan seseorang yang memiliki kebiasaan amal sholeh tertentu adalah tetap mendapatkan pahala meskipun ia tidak melakukan amal sholeh tersebut karena udzur tertentu. Senada dengan keterangan hadits di atas yaitu QS At-Tin ayat 6:

الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh mereka mendapatkan pahala yang tidak pernah terputus.”

Ibnu Batthal menjelaskan dalam Syarh Shahih Bukhari bahwa mereka (orang-orang yang beriman), mendapatkan pahala ketika mereka sudah tua dan lemah sesuai dengan amal yang dulu pernah mereka kerjakan ketika masih sehat, tanpa terputus. Oleh karena itu, setiap sakit yang menimpa dan setiap kesulitan yang dialami ketika safar dan sebab lainnya, yang menghalangi seseorang untuk melakukan amal yang menjadi kebiasaannya, maka Allah telah memberikan kemurahannya dengan tetap memberikan pahala kepada orang yang tidak bisa melakukan amal tersebut karena kondisi yang dialaminya.


*Alumnus Unhasy Tebuireng dan PP Putri Walisongo Cukir Diwek Jombang