sumber foto: http://fiqhmenjawab.blogspot.co.id

Oleh: Yayan Musthofa*

Pernah suatu ketika Sayyidina Anas bin Malik ra berjalan hendak sowan ke kediaman Khalifah Utsman bin Affan ra. Di tengah perjalanan, ia melihat cewek yang cantik, sehingga terbesit dalam benaknya pikiran yang tidak karuan. Sesampai di rumah sang Khalifah, ia mendapati para sahabat juga sedang berkumpul di sana.

Setelah salam dan duduk, Sayyidina Utsman berkata, “Wahai Anas, bukankah kita sudah sama-sama mengerti kalau perbuatan tadi itu termasuk zina mata?” Sontak Sayyidina Anas kaget atas tanggapan Sayyidina Utsman. Dia pun mengiyakan, lantas beristighfar.

Peristiwa yang sama juga dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khatthab dalam memimpin perang melawan Persia dari mimbar khotbah Jumat di Madinah. Redaksi yang sudah terkenal ialah, “Ya sariyah, al-Jabala, al-Jabala (wahai prajurit, naiklah ke atas bukit)”.

Di Indonesia, tidak sedikit juga ulama yang dianugerahi kemampuan yang semisal itu. Senjata api dan bom melawan bambu runcing ketika mempertahankan kemerdekaan. Menarik sekali. Tapi agak sedikit meragukan tanpa ada wasilah pendekatan jejadug, khariqul ‘adah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Untungnya, orang-orang pilihan seperti ini tidak dibebani kewajiban memberantas kemungkaran, korupsi, menangkap gembong teroris, dan semisalnya. Mereka lebih diembani kewajiban beribadah kepada Allah. Atau bisa jadi kalau mereka turun lapangan juga, skema alur permainan dunia akan usai.

Banyak sekali cerita karamah jejadug seperti ini dalam buku-buku tasawuf. Dari zaman para sahabat sampai hari ini. Saya kira, tidak sedikit orang yang ingin mempunyai kemapuan seperti itu. Bisa dilihat dari banyaknya film tentang super hero dengan kemapuan luar biasanya. Itu juga imajinasi yang mengharapkan khariqul ‘adah, di luar kebiasaan.

Justru malah sebaliknya. Para sufi yang diberikan anugerah jejadug menganggap bahwa hal itu hanya iming-iming es krim dan mainan mobil-mobilan buat anak kecil. Untuk orang yang sudah dewasa, iming-iming semacam itu tidak menggiurkan. Bagi mereka, rida dan cinta Ilahi yang dikejarnya. Tidak peduli dengan jejadug, surga, pahala, neraka, dan seterusnya apalah itu.

Bahkan, dalam Ihya Ulumuddin juga diceritakan bahwa seorang sufi tidak ingin rahasia kemesraannya dengan Tuhan dicatat oleh para malaikat. Caranya, dengan zikir sirri, melalui latifah-latifah dalam hati. Di sana para sufi menjaga kerajaan hati yang tidak semua bisa masuk, termasuk juga para malaikat pencatat amal kebaikan. Itu arena sakral, suci. Bagi para sufi, keintimannya dengan Allah tidak perlu diwartakan kepada birokrasi malaikat.


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, kini aktif di Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng