Oleh: Taslim Batubara*
Ibnu Fadhlan memiliki nama lengkap Ahmad bin Fadhlan bin al-Abbas bin Rasyid bin Hammad Maula Muhammad bin Sulaiman. Namanya tidak banyak dikenal dalam sejarah Islam. Sosoknya dianggap asing dan kurang mendapat tempat. Popularitasnya tidak sementereng para petualang muslim lainnya, seperti Ibnu Battuta, Laksamana Ceng Ho, dan Abu Hasan al-Masudi. Namun siapa sangka, di balik ketidaktenaran namanya tersebut, tersimpan cerita petualangannya yang sangat luar biasa. Bahkan dari catatan perjalanannya, orang-orang Rusia hari ini banyak mendapat gambaran tentang sejarahnya pada masa lalu.
Perjalanan Ibnu Fadhlan dan rombongannya dilatarbelakangi oleh permohonan Raja Shaqalibah -sebuah kerajaan kecil di Eropa bagian Utara yang menganut Islam- untuk meminta perlindungan dan bantuan kepada Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Permohonan ini juga datang karena pada masa tersebut, Kerajaan Shaqalibah sedang terlibat konflik dengan tetangganya Kerajaan Khazar yang beragama Yahudi. Khalifah Abbasiyah yang berkuasa pada saat itu al-Muqtadir Billah, menyambut baik permohonan ini. Dengan segera, khalifah membentuk tim yang terdiri dari: Sausan al-Rassy, Takin al-Turky, Baris as-Saqlaby, dan Ibnu Fadhlan, untuk berangkat ke Kerajaan Shaqalibah.
Utusan Khalifah Abbasiyah bagi Kerajaan Shaqalibah
Ibnu Fadhlan dan rombongannya berangkat dari Kota Baghdad pada hari Kamis, 21 Juni 921 M. Pada awalnya, rombongan ini melewati Kota Hamadzan dan Ray (sebuah kota di dekat Teheran sekarang). Kemudian, mereka menyeberangi Sungai Oxus untuk bisa sampai ke Kota Bukhara, terus melewati Bulgaria sampai tiba di Kota Jurjan.
Perjalanan rombongan ini bersamaan dengan musim dingin, sehingga kota-kota yang mereka lewati keadaannya sangat dingin. Bahkan di dalam risalahnya, Ibnu Fadhlan menjelaskan ketika ia keluar dari rumah menuju kamar mandi, janggutnya berubah menjadi beku (al-Dihan, Risalah Ibnu Fadhlan). Hal ini menunjukkan kepada kita bagaimana ekstremnya keadaan cuaca yang dihadapi rombongan tersebut.
Setelah kurang lebih dua bulan menetap di Jurjan, karena kondisi Sungai Jaihun yang membeku, rombongan ini melanjutkan perjalanan menuju Turki. Dalam perjalanan lanjutan ini, rombongan Ibnu Fadhlan bergabung dengan kabilah Naisabury agar terhindar dari perampokan. Selama perjalanan melewati Turki, Ibnu Fadhlan juga banyak menggambarkan keadaan wilayah dan masyarakatnya pada masa itu.
Dalam risalahnya, ia menyatakan bahwa rombongan ini bertemu dengan salah satu suku Turki yang dikenal dengan al-Ghaziyah. Ibnu Fadhlan menggambarkan orang-orang dari suku ini menyebut pemimpin mereka dengan arbaban (tuan), mereka menyelesaikan permasalahan dengan cara musyawarah, mengenal kalimat syahadat (namun tidak lebih hanya ucapan saja), serta melarang perzinahan (al-Dihan, Risalah Ibnu Fadhlan).
Rombongan ini terus melanjutkan perjalanan menggunakan perahu dan melewati banyak sungai-sungai besar, di antaranya adalah sungai Yaghindi, Jakhish, dan sungai terbesar yang pernah mereka lewati selama perjalanan ialah Sungai Jakhish. Selama kurang lebih dua puluh hari perjalanan melewati Turki, akhirnya rombongan ini tiba di sebuah daerah yang berjarak satu hari perjalanan dari negeri Shaqalibah (namun sayang Ibnu Fadhlan tidak menyebutkan dengan spesifik apa nama tempat tersebut).
Akhirnya, rombongan ini tiba di Shaqalibah pada 21 Juni 921 M, setelah menempuh perjalanan panjang dan berbahaya selama kurang lebih satu tahun. Rombongan ini kemudian disambut dengan berbagai upacara kebesaran. Beberapa hari setelah penyambutan, Ibnu Fadhlan menyerahkan berbagai hadiah yang sebelumnya dititipkan oleh Khalifah al-Muqtadir Billah kepada Raja Shaqalibah.
Ibnu Fadhlan juga membacakan surat dari sang khalifah dihadapan raja dan seluruh penduduknya serta membentangkan midrat (panji/bendera) dan siwad (baju kebesaran Dinasti Abbasiyah). Ketika surat tersebut dibacakan, mereka semua harus berdiri sebagai sebuah sikap penghormatan kepada Khalifah Abbasiyah.
Deskripsi Perjalanan
Selama menempuh perjalanan dari Baghdad sampai Shaqalibah, Ibnu Fadhlan dan rombongan menjumpai berbagai macam keunikan dari setiap negeri yang mereka lewati. Hal ini kemudian dideskripsikan oleh Ibnu Fadhlan dengan sangat baik. Saking detailnya ia menjelaskan keunikan setiap negeri tersebut, terdapat sebuah ungkapan yang berbunyi, “yang luar biasa dari risalah ini ialah, biarpun ditulis oleh seorang ahli fiqih, namun ia sangat baik dalam memberikan penjelasan seindah gubahan para ahli sastra. Ibnu Fadhlan mampu menggambarkan apa yang ia rasakan (bahagia, takjub, takut) hingga seolah-olah kita menyaksikannya sendiri” (al-Dihan, Risalah Ibnu Fadhlan).
Ketika melewati Turki, Ibnu Fadhlan menggambarkan negeri ini memiliki cuaca yang sangat dingin. Ia juga mengatakan bahwa tidak ada penduduk di negeri ini yang tidur tanpa menggunakan perapian. Di negeri ini, tindakan perzinahan akan diganjar dengan sanksi yang sangat tegas, berupa diikat di pohon sampai badan pelakunya terbelah dua. Hampir semua laki-laki di Turki memotong janggutnya dan hanya menyisakan bagian ujungnya saja. Namun menurut Ibnu Fadhlan, kelebihan orang-orang di negeri ini memiliki solidaritas dan kesetiaan yang tinggi terhadap kelompoknya.
Sementara ketika berada di Shaqalibah, Ibnu Fadhlan menuliskan ia banyak melihat hal-hal unik yang selama ini tidak pernah disaksikannya. Di negeri ini, sebelum matahari terbenam, langit akan berubah menjadi sangat merah dan terdengar suara keributan seperti dengkuran dari hewan liar.
Di negeri ini pada musim dingin, malamnya akan sangat panjang dan siangnya begitu singkat. Namun pada musim panas terjadi sebaliknya. Negeri ini sangat kaya akan sumber daya serta memiliki hasil alam yang melimpah. Penduduk di negeri ini senang menggunakan qalaris (songket), namun akan mereka lepaskan ketika hendak bertemu dengan raja. Ketika salah satu orang besar di antara mereka meninggal, penduduk negeri ini akan menangis secara meronta-ronta di dekat kuburannya. Setelah dua tahun berlalu, mereka akan menurunkan patokan (nisan), memotong rambut, serta melakukan jamuan makan sebagai tanda mereka telah berhenti dari kesedihan.
Selain Turki dan Shaqalibah, Ibnu Fadhlan juga mengunjungi negeri yang di masa modern dikenal dengan nama Rusia. Dalam deskripsinya, penduduk negeri ini memiliki bentuk tubuh yang tinggi serta kulit yang berwarna kemerahan. Namun menurut Ibnu Fadhlan, penduduk negeri ini tidak memiliki aturan kebersihan yang baik. Mata pencaharian penduduknya kebanyakan sebagai pedagang. Tambahnya, jika salah satu di antara mereka ada yang sakit, penduduk lainnya akan membangunkan tenda yang jauh darinya, serta tidak menjenguk dan bersosialisasi dengannya.
Satu hal yang luar biasa dari penduduk negeri ini menurut Ibnu Fadhlan ialah. Ketika pemimpin mereka meninggal, penduduknya akan mempersiapkan pesta pemakaman yang sangat besar. Selain itu, akan dicari seorang budak perempuan miliknya yang akan dimakamkan bersamanya. Setelah melewati rangkaian upacara yang cukup panjang, jenazah pemimpin serta budaknya tersebut akan dibakar sambil dilarung ke laut.
Nilai Penting Risalah Ibnu Fadhlan
Menurut pengakuan salah satu intelektual Jerman bernama Fraehn, sejarah Rusia dan Eropa Utara pada masa lalu masih menjadi sebuah misteri yang belum memiliki kejelasan dari berbagai aspek. Dalam pengakuannya juga, ia mengatakan bahwa belum ada informasi yang cukup mendetail terkait sejarah Rusia.
Pada saat Eropa mengabaikan Rusia, dunia Arab-Islam justru membahas hal tersebut. Baginya, bangsa Arab-Islam telah memberikan informasi yang melimpah tentang sejarah dunia barat pada masa lalu, khususnya terkait negara Rusia, Bulgaria, dan negara-negara Skandinavia lainnya.
Bangsa Arab-Islam telah membuka mata dunia Barat tentang hal-hal menakjubkan dari berbagai daerah yang sangat jauh. Mulai dari India, Cina, dan berbagai negeri di sepanjang Laut Atlantik. Bangsa Arab-Islam menuliskan bagaimana mereka berdampingan dengan berbagai kebudayaan selama ratusan tahun. Menurut Fraehn, hal ini terjadi lantaran ajaran Islam menuntut setiap umatnya untuk mencari ilmu dan mewajibkannya untuk dilakukan dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Risalah ini juga memberikan pengetahuan kepada kita bagaimana ketimpangan yang terjadi antara peradaban Arab-Islam dan Eropa Utara pada abad ke-10 M.
Ketika Baghdad muncul menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan kesenian, bangsa-bangsa Skandinavia (Eropa Utara) masih belum memiliki peradaban yang maju. Ini juga yang menjadikan risalah ini sebuah kebanggaan dan pelecut bagi setiap Muslim untuk bangga akan peradaban besarnya pada masa lalu. Namun kebanggaan tersebut tidak hanya dijadikan sebuah kebanggaan saja, namun juga upaya untuk mengulang hal tersebut.
Selain itu, risalah perjalanan Ibnu Fadhlan ini benar-benar menggambarkan setiap negeri yang dilewatinya dengan sangat detail dan jelas. Terkhusus bangsa Rusia, risalah ini menggambarkannya dengan sangat valid, detail, dan benar. Dalam setiap perjalanannya, Ibnu Fadhlan tidak lupa memberikan informasi terkait kebutuhan negeri pada masa itu, keadaan cuaca, kebudayaan, tradisi, dialog dengan penduduk di setiap negeri, serta menggambarkan para penguasa, pemimpin, dan tokoh-tokoh utama di setiap negeri dengan porsi yang seimbang. Hal ini yang kemudian menjadikan Risalah Ibnu Fadhlan ini memiliki posisi yang begitu penting.