Oleh: Hilmi Abedillah*

Hari Raya Idul Fitri 1439 H sudah di ambang pintu. Segala sesuatunya telah dipersiapkan, mulai dari mudik dari perantauan, beli baju baru, menyiapkan isi toples, bersih-bersih rumah, dan lain-lain. Satu fenomena lagi yang tidak ketinggalan yaitu menukar uang dengan yang baru untuk dibagikan nanti pas lebaran kepada adik, keponakan, atau anak-anak kecil.

Mendapatkan uang baru itu bisa di bank-bank central. Selain itu, banyak juga yang menyediakan jasa tersebut di pinggir-pinggir jalan menjelang hari raya. Pasalnya, banyak ulama yang mengharamkan praktik tukar-menukar uang rupiah karena terdapat riba di dalamnya. Benarkah demikian?

Dalam fikih muamalah, ada enam barang ribawi yang disebutkan dalam sebuah hadits:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai” (HR. Muslim 4147).

Dari hadits tersebut, barang ribawi diklasifikasi menjadi dua bagian. Pertama, naqd yaitu emas dan perak. Kedua, math’umat (makanan) yaitu gandum syair, gandum bur, kurma, dan garam. Di dalam jual beli barang ribawi, jika sejenis harus memenuhi persyaratan: [1] sama takaran/timbangannya, [2] tunai. Apabila emas 1 gram ditukar dengan emas 1,5 gram, maka di situ terjadi riba fadli (fadli: lebih). Apabila pembayaran tidak dilakukan tunai, maka terjadi riba nasiah.

Jika kita menganggap bahwa uang rupiah sama dengan emas dan perak, dengan begitu disamakan dengan rumpun naqd, maka praktik tukar uang menjelang lebaran tidak diperbolehkan. Karena kita tahu bahwa para pedagang uang di tepi jalan (bukan di Bank Indonesia) yang membundel uangnya 10 ribu x 10 lembar tidak bisa dibeli dengan uang 100 ribu, namun lebih. Bisa jadi 110 ribu bayarnya. Atau mungkin 95 ribu dibeli dengan harga 100 ribu. Intinya ada kelebihan yang sehingga bisnis ini dipandang tidak akan mendatangkan kerugian.

Pendapat ini didasarkan bahwa ‘illat dalam naqd ialah muthlaquts tsamaniyah (mutlak harga). Emas dan perak merupakan dua benda yang dijadikan harga pada waktu itu. Nilai uang berasal dari nilai nominalnya (10 ribu misalnya), bukan dari nilai intrinsik (kertasnya atau logamnya). Apapun yang dijadikan harga, maka ia mengandung riba. Oleh sebab itu, uang kertas pada masa kini yang memiliki fungsi yang sama juga dikenai hukum yang sama. Yakni termasuk barang ribawi dan wajib dizakati. (Fiqh al-Mu’amalat, III, 479)

Tidak diperbolehkan menukar uang dengan uang atau naqd dengan model nasiah alias tidak tunai, karena termasuk barang ribawi. Bila dari jenis yang sama, misalnya rupiah dengan rupiah, tidak boleh ada kelebihan. Satu mata uang dianggap sebagai satu jenis. Apabila rupiah ditukar dengan dolar, tidak masalah jika ada lebih karena sudah beda jenis. Demikian keputusan Majlis Perkumpulan Fikih Liga Dunia Muslim di Makkah. (Fiqh al-Mu’amalat, III, 479)

Pendapat kedua memandang bahwa ‘illat dalam naqd ialah ghalabatuts tsamaniyah (dominan harga). Dengan begitu, uang yang kita kenal sekarang tidak bisa disamakan dengan naqd, sekaligus bukan barang ribawi. Karena pada zaman dahulu, emas tetap ribawi sekalipun ia ditukar sebagai harga maupun sebagai emas (bahkan yang belum dibentuk atau dicetak menjadi mata uang). (Hasyiyah al-Bujairami alal Khathib, VII, 339)

Dahulu emas dicetak menjadi uang yang disebut dengan dinar. Sekarang, dinar juga menjadi nama mata uang Irak, namun terbuat dari kertas sebagaimana uang pada umumnya. Maka, dinar emas sering disebut dinar syar’i. Sementara perak diolah menjadi dirham yang mana kini ‘dirham’ juga menjadi mata uang di berbagai negara Timur Tengah. Lalu dirham perak disebut dengan dirham syar’i. Dikarenakan emas dan perak sangat kecil penurunan nilainya atau sering disebut 0% inflasi, maka nilai uang pada zaman dahulu relatif stabil bahkan setelah puluhan tahun.

Dengan penjelasan tersebut, uang sekarang berbeda dengan uang dulu. Unsur ribawi dalam emas tidak ada di dalam uang kertas yang kita pakai sehari-hari. Selain ‘illat di atas, ada satu versi menyebutkan bahwa ’illat-nya ialah jauhariyatuts tsaman (harga yang terbuat dari permata). Dengan begitu uang kertas tidak termasuk barang ribawi. (I’anatut Thalibin, III, 13).

Lalu bagaimanakah solusinya?

Jika mengambil pendapat yang pertama, umumnya ulama memberi solusi dengan menggunakan akad lain, bukan akad bai’ (jual beli) melainkan wakalah bil ajr (perwakilan dengan upah) atau ijarah (pekerjaan dengan upah). Maksudnya, penjual telah mengantre di Bank Indonesia, menjajakan dagangannya di tepi jalan, dan usaha-usaha lainnya. Kelebihan yang dibayarkan oleh pembeli dianggap sebagai upah atas usaha-usaha itu. Jadi, tukar-menukar uang tetap sama jumlahnya dan tidak ada riba di dalamnya. Sedangkan apabila kita mengambil pendapat kedua yang diusung oleh ulama Syafi’iyyah lebih sederhana. Uang tidak termasuk barang ribawi. Jual belinya bebas, mau kontan, mau lebih, terserah.

Fikih tetap memberikan solusi atas apa yang kita alami. Tidak ada hal negatif di dalamnya yang seolah-olah kita rekayasa. Niat baiknya ialah berbagi kebahagiaan kepada sesama untuk mengisi Hari Kemenangan. Dengan diperbolehkannya tukar-menukar uang, entah melalui pendapat pertama atau kedua, memberikan kesempatan kepada mereka yang ingin sedekah. Sedekah akan mempererat tali persaudaraan.


*) Tim Redaksi Majalah Tebuireng