ilustrasi: ruang perempuan

Oleh: Uzair Assyaakir*

Saban waktu, acap kali kita merasa ditampar oleh quotes yang bertebaran di instagram. Perihal motivasi sukses, atau yang lebih sering ya quotes cinta-cintaan. Seperti yang ‘katanya’ quote dari Ali bin Abi Thalib ini: “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia.”

Ya, kamu pasti sering menjumpai kutipan itu, atau setidaknya pernah membacanya satu kali. Harapan menjadi topik hangat yang sewaktu-waktu bisa dipanaskan ulang dalam panci yang siap mendidih. Juga harapan, selalu dikaitkan dengan rasa sakit.

Lantas, apakah ‘harapan’ merupakan cikal bakal dari sakit dan pahitnya kehidupan? Menariknya, kutipan-kutipan di atas seringkali diunggah sebagai story WhatsApp, sebuah tanda tersirat bahwa pengirim tengah mengalami patah hati; mengecap pahitnya berharap; dan sedang berada di ambang jurang kematian.

Tak ayal banyak nian manusia yang kini tak mau berharap. Membangun dinding kokoh menjulang di antara manusia lain. Harap-harap sekat tersebut berfungsi sebagaimana mestinya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Meski manusia tersebut terbebas dari pahitnya berharap, tapi ia takkan terbebas dari rasa ‘hambar’ menjalani kehidupan. Hidup yang tak tentu arah tujuan; hidup yang hanya sekadar hidup, tanpa jiwa pun tak ada soal.

Rasa hambar yang dirasakan oleh manusia yang ‘tak berharap’ pun suatu waktu bisa menyakitkan. Awalnya merasa senang tanpa perlu menggadaikan keinginan pada manusia lain. Tapi lama kelamaan rasa hambar memengaruhi warna kehidupannya.

Tak ada lagi biru, merah, kuning, jingga, merah jambu, hijau lumut, atau hitam legam rambut. Semua menjadi keruh kelabu. Ternyata nirharapan juga bisa menarik seseorang menuju lembah kematian yang tak berdasar.

Kisah Kakek Tua dan Harapan

‘Pada suatu hari’ ketika bunga Wallflower, Kamelia, dan Daffodil sedang tumbuh cantik-cantiknya, dan salju turun dengan anggunnya, terdapat seorang kakek tua sebatang kara yang tak beratap lagi tak berumah tengah menggelandang di jalanan Inggris raya.

Salju yang berasa turun tak bersekat telah memicu hawa sangat dingin sekaligus berangin. Sekitar 4 derajat celcius, hingga 23 derajat celcius.

Kakek tua itu telah berjalan berjam-jam tanpa parka atau sweater yang merangkul tubuhnya. Langkah kakinya kini tepat menapak di sekitar kompleks perumahan. Sesekali ia melakukan gerakan butterfly hug, menggosok telapak tangan dan meniupnya, “haah”. Rasa hangat, meski cuma sepersekian detik saja.

Tiba-tiba, ada seorang pemuda yang berkediaman di kompleks itu bertatap muka dengan kakek tadi.

Merasa kasihan dengan gelandangan, pemuda tersebut pun menjanjikan satu buah sweater hangat yang ada di rumahnya. Senyum kakek itu pun tumpah pada janji dan kebaikan hati seorang pemuda. Tak perlu waktu lama, pemuda tadi bergegas pulang ke rumah dengan niatan ingin mengambilkan sweater hangat.

Kakek yang masih ada di luar pun tetap merasakan dingin, tapi yang ada di benaknya adalah sebentar lagi, tubuhnya akan terasa hangat atas sweater yang akan diberikan oleh pemuda tadi. Kakek itu terus berharap sambil membayangkan memakai sweater hangat.

Detik berganti menit, menit berlalu dengan cepat, kini sudah lewat tiga puluh menit. Pemuda tadi tak kunjung datang. Ia ternyata lupa akan janjinya, ketika ingatan itu hadir kembali dalam benaknya, ia pun lekas menuju ke tempat kakek tua tadi. Dan sayang sungguh sayang, kakek itu telah meninggal dunia termakan suhu dingin, hipotermia.

Jadi bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin kakek tua yang tadinya telah jalan berjam-jam tanpa sweater dalam keadaan sehat, tapi ketika ia berharap akan menerima kehangatan sweater dari seorang pemuda, ia malah tak bertahan selama tiga puluh menit?

Kisah tersebut adalah contoh mengapa kita lebih baik tak pernah berharap, kondisi yang sebelumnya baik-baik saja, bisa saja berubah 180 derajat hanya karena sebuah harap.

Kisah Tikus Percobaan dan Harapan

‘Pada suatu waktu’ sejumlah profesor tengah melakukan penelitian terhadap seekor tikus. Perlu kamu tahu bahwa tikus merupakan salah satu hewan pengerat dengan kemampuan berenang yang andal.

Tikus ini diletakkan di sebuah wadah berisi air dengan dinding kaca yang mengitari wadah tersebut. Sebagai perenang yang andal, tikus tadi terus berenang memutari wadah yang disediakan. Ternyata, setelah 15 menit, tikus itu lemas, kemudian pingsan.

Satu profesor mengambil tikus itu kembali, meletakkannya di dataran kering yang tak berair. Kemudian memberinya makan. Setelah dirasa sehat, profesor tersebut kembali meletakkan si tikus dalam wadah tadi, dan memaksanya kembali berenang.

Bagaimana menurutmu? Apakah tikus itu bertahan dalam wadah selama 15 menit? 10 menit? atau hanya 5 menit?

Ajaib, tikus tersebut bertahan hingga 60 menit. Kenapa bisa begitu? Pada penelitian pertama, si tikus tak memiliki harapan bahwa ia akan ditolong. Ia pasrah dan lebih cepat pingsan. Tak bertahan lebih dari 15 menit.

Kemudian, pada penelitian kedua, si tikus bisa bertahan lebih lama. Sebab ia memiliki harapan akan ada tangan yang menolongnya, yang tak lain adalah tangan sang profesor.

Ternyata harapan juga bisa berimbas pada hal yang positif, tentang kekuatan untuk terus berusaha dan bertahan hidup.

Pilihan ada di tangan kita. Terlampau ‘berharap’ bisa menimbulkan sesak, dan tanpa adanya ‘harapan’, hidup tak akan berwarna.

Selayaknya ‘harapan’ jangan disamakan dengan ‘kepastian’. Seperti saat kita merayu Tuhan, do’a adalah buih harap yang senantiasa kita panjatkan atas dasar perasaan lemahnya seorang hamba.

Jadi menurutmu, apakah harapan adalah seberkas titik terang, ataukah jurang menuju kematian?