Ilustrasi: tebuirengonline/amir

Oleh: Dhonni Dwi Prasetyo

Gus Dur sang guru bangsa” adalah ungkapan masyhur entah siapa yang pertama kali mulai mengucapkannya, namun perlu untuk kita telaah dan teladani, serta pegang teguh bersama. Tak berlebihan memang bila mengatakan Gus Dur sebagai figur guru bagi bangsa ini. Karena, atas jasa-jasa beliaulah kebhinekaan bangsa ini dapat terjaga erat dalam persatuan dan kesatuan hingga saat ini.

Sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia, Gus Dur telah banyak menorehkan prestasi emas sebagai pemimpin. Datang dengan latarbelakang sebagai santri pesantren, beliau justru piawai memimpin negeri ini menuju arah yang lebih baik. Hal itu terbukti dengan banyaknya prestasi beliau yang tentu teringat kuat dalam memori mereka yang menaruh cinta kepadanya, khususnya mereka tergabung dalam jaringan gusdurian.

Di antara prestasi Gus Dur yang masyhur diceritakan ialah beliau berhasil mengatasi persoalan rasisme yang pernah terjadi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Bahkan, agama Konghucu resmi diakui sebagai salah satu agama nasional para era pemerintahan beliau. Selain itu, Gus Dur juga merupakan figur pemimpin yang benar-benar tulus mengabdikan diri kepada negara dan sangat getol dalam memberantas korupsi di negeri ini.

Hal ini terbukti dengan keberanian beliau dalam membubarkan Kemensos pada tahun 1999 yang saat itu dikenal sebagai lumbung padinya ‘tikus-tikus kantor’. Meskipun mendapatkan kecaman dan intimidasi dari berbagai pihak, beliau tetap teguh dengan prinsipnya dan tidak takut untuk tetap bertindak sebagaimana mestinya. Sikap Gus Dur demikian ini patut untuk kita teladani.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Meskipun masa jabatan presiden Gus Dur terbilang sebentar, tapi prestasi beliau tidak akan habis bila terus dibahas. Adalah fakta bahwa di akhir masa kepemimpinannya, masih saja ada prestasi sekaligus keteladanan yang luar biasa dari sosok Gus Dur. Beliau lebih memilih mundur dari jabatannya—akibat dilengserkan oleh oknum-oknum ‘nakal’ pada saat itu—daripada harus melihat rakyatnya bertengkar dan menumpahkan darah sesama saudara sebangsa. Ini adalah wujud kemuliaan akhlak beliau sebagai pemimpin. Sebab, bagi beliau jabatan presiden bukanlah apa-apa, sementara persatuan dan kesatuan bangsa adalah segalanya.

Belajar dari kisah hidup Gus Dur sebagai presiden RI yang begitu menakjubkan sekaligus mengharukan, sebagai santri kita harus mampu meneladani dan mengambil ibrah ‘briliant’ darinya. Gus Dur adalah figur santri sekaligus politikus hebat dalam dinamika politik nasional yang pernah dimiliki Bangsa Indonesia. Dari sini, kita dapat mengerti bahwa santri tidaklah ‘diharamkan’ untuk terjun di dunia politik yang terkesan ‘kotor’ itu. Sebaliknya, sebagai orang yang ‘bersih’, santri justru harus ada yang terjun di dunia politik demi membersihkan apa-apa yang sebelumnya kotor, dan bukan malah ikut tercebur dalam kubangan lumpur politik yang jelas-jelas kotor.

Slogan Jawa “sing waras ngalah” tentu tidak relevan lagi bila dikaitkan dengan kondisi politik sekarang ini. Karena, anggapan ‘kuno’ seperti itu bulan terus saja dipupuk subur dalam idealisme kita, kondisi negara ini akan semakin kacau balau sebab dipenuhi orang-orang fasiq dan tidak amanah dalam mengemban mandat jabatan.

Bagaimana tidak, kalau kita yang ‘waras’ masih saja ngalah, pastinya mereka yang ‘gila’ akan berebut jabatan sebagai pemimpin. Idealisme yang kadang masih melekat dalam benak santri demikian ini harus dibuang jauh-jauh. Orang-orang yang baik dan benar (santri) harus mengambil alih kendali kepemimpinan demi menyelamatkan rakyat dari tindak kezaliman dan kemungkaran yang bisa saja dilakukan oleh oran-orang fasiq manakala diberikan jabatan & kesempatan untuk memimpin.

Ketika santri ada yang terjun di dunia politik, bahkan menjadi pemimpin tertinggi seperti Gus Dur yang berhasil menjadi presiden, maka negara ini akan mendapati kondisi yang aman, nyaman, dan sejahtera. Pemimpin yang memiliki background santri pasti akan membenahi kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan. Sebaliknya, ia juga akan membuat kebijakan-kebijakan yang mengutamakan kemaslahatan umat yang mestinya disesuaikan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan. 

Baca Artikel Terkait Harlah 125 Peantren Tebuireng:

Evolusi Ilmu Hadis di Pesantren Tebuireng Jombang

Menerapkan 5 Nilai Dasar Pesantren Tebuireng di Masyarakat

Sorogan dan Bandongan Pesantren Tebuireng: Warisan yang Tetap Dilestarikan di Era Society 5.0

KH. A. Wahid Hasyim, Pelopor Pendidikan Kurikulum Modern di Pesantren

Selanjutnya, dengan meminjam dawuh Gus Baha’, “seribu fatwa yang dikeluarkan oleh ulama’ bisa saja kalah oleh satu kebijakan yang diputuskan oleh pemimpin kekuasaan.”, kita akan semakin yakin bahwa santri terjun di dunia politik dan merebut kekuasaan dengan tujuan kebaikan suatu tindakan mulia. Santri tidak perlu merasa takut akan justifikasi ‘santri ikut politik itu dosa’ sebagaimana yang selama ini telah mendarah daging dalam idealisme masyarakat kita. Selagi sesuai dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang diajarkan dalam agama Islam, turut terjun di dunia politik dan merebut kekuasaan dengan menjadi pemimpin di dalamnya adalah sebuah prestasi membanggakan dan juga berpahala.

Kaum santri juga tidak perlu lagi merasa minder atau berkecil hati. Meskipun dahulu—sebelum Gus Dur jadi presiden—kaum santri termarjinalkan dan kerap dipandang sebelah mata, saat ini realita demikian tidak lagi berlaku. Sebab, pasca Gus Dur—yang punya background santri—terjun dalam dinamika politik nasional dan berhasil menjadi presiden, kaum santri tidak lagi termarjinalkan dalam status sosial masyarakat. Justru kaum santri menjadi ‘dihormati’ dan mulai diperhitungkan reputasi serta kredibilitasnya.

Di samping itu, dulu juga seringkali ada stigma berupa pertanyaan besar dari masyarakat, “kamu nyantri dapat apa sih? Ijazah santri tidak bisa dibuat mencari pekerjaan, kok!”. Akan tetapi, sekarang stigma tersebut telah terpatahkan dengan diakuinya ijazah yang didapatkan di pondok pesantren/ ma’had aly bisa disetarakan dengan ijazah yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan formal. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Agama nomor 32 tahun 2020 yang menyatakan bahwa ijazah mahasantri saat ini telah diakui setara dengan ijazah mahasiswa dan dapat digunakan untuk mendaftar CPNS seperti ijazah mahasiswa. 

Keberhasilan-keberhasilan santri mendapatkan reputasi baik dalam skala nasional ini bermula sejak Gus Dur berhasil menjabat sebagai presiden. Segala keberhasilan dan pengakuan ini tak terlepas dari pengaruh dan prestasi beliau sebagai presiden waktu itu. Beliau adalah role model kita dan seakan menuangkan sekaligus meneguhkan ‘idealisme penting’ kepada kita bahwa seorang santri ternyata mampu menunjukkan kapabilitas dirinya di depan khalayak masyarakat Indonesia, dan bahkan mampu memimpin mereka dengan menjadi presiden. 

Sebagai rakyat, tentu tidak berlebihan bila kita sangat merindukan sosok pemimpin negara yang kharismatik dan bersahaja seperti Gus Dur. Selain sebagai figur santri berkualitas, beliau juga ‘dinobatkan’ sebagai guru bangsa yang senantiasa dirindukan kebaikan dan kebermanfaatannya, serta dilanjutkan pemikkiran-pemikiran hebatnya oleh para pecintanya. Semoga di masa sekarang dan mendatang, semakin banyak Gus Dur-Gus Dur lain yang terlahir di bumi pertiwi. Semoga!