Oleh: Rokhimatul Inayah*
KH. Abdul Wahid Hasyim, atau yang populer dengan panggilan Kiai Wahid, adalah putra ke lima dari sepuluh bersaudara dari pasangan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqoh. Kiai Wahid lahir di Jombang, 1 April 1914, dan menghembuskan nafas terakhirnya diusia 39 tahun pada 19 April 1953.
Kendati tergolong berusia sangat muda, Kiai Wahid menjadi salah satu founding father bangsa Indonesia, baik sejak zaman pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan. Sebut saja pada bidang politik; hukum; kebangsaan; agama; keorganisasian; sampai pendidikan.
Hampir pada setiap lini persoalan Indonesia kala itu, Kiai Wahid eksis memberikan kontribusinya dalam membela kemerdekaan dan mencerdaskan sumber daya manusia yang ada.
Fokus penulisan kali ini ialah kiprah Kiai Wahid dalam membangun pendidikan dan kurikulum pesantren di Indonesia yang dimulai melalui Pesantren Tebuireng – pesantren yang didirikan ayahnya di Jombang.
KH. A. Wahid Hasyim Tak Enggan Keluar dari Zona Nyaman Kaum Sarungan
Pada 1932, saat usianya masih 18 tahun, Kiai Wahid pergi ke Mekkah. Sembari menunaikan ibadah haji, ia belajar dan mendalami ilmu tafsir, hadis, fikih, dan ilmu agama yang lain. Dua tahun kemudian, saat sudah menginjak usia 20 tahun, ia kembali ke kampung halamannya, Jombang.
Kehadirannya di Tebuireng membawa pencerahan. Ia mengusulkan kepada ayahnya yang juga pengasuh salah satu pesantren tua di Jawa Timur itu untuk melakukan perombakan kurikulum pendidikan pesantren. Ia mengusulklan untuk mengganti sistem sorogan atau bandongan ke model kelas seperti di sekolah modern barat.
Sontak, usul ini menggegerkan bumi Tebuireng kala itu. Apalagi, pendidikan umum kebarat-baratan waktu itu masih sangat tabu di kalangan kaum sarungan yang mayoritas dari kaum menengah ke bawah.
Bukan hanya mengubah sistemnya, Kiai Wahid juga mengusulkan memperbanyak pendidikan non agama. Menurutnya, tidak mungkin jika semua santri akan menjadi ulama atau pendakwah. Oleh karenanya, lebih baik mereka dibekali keterampilan praktis.
Ide ini merupakan lompatan besar di kalangan pesantren saat itu. Maka tidak mengherankan jika kiai Hasyim tidak langsung setuju mengubah Tebuireng secepat itu. Tetapi, pada akhirnya beliau mengizinkan putranya tersebut membentuk madrasah sendiri di dalam Tebuireng pada 1934.
KH. A. Wahid Hasyim Dapat Restu Hadratussyaikh untuk Kemajuan Tebuireng
Setelah mendapat restu dari ayahandanya, bersama dengan sepupunya Muhammad Ilyas, ia mendirikan Madrasah Nizhamiyah. Bukan tanpa sebab, Kiai Ilyas merupakan jebolan Hollands Indische School (HIS) Surabaya – sebuah sekolah bentukan Belanda kala itu. Selama 7 tahun Kiai Ilyas belajar ilmu modern di sana, menjadikannya mahir soal kurikulum pendidikan modern.
Dengan implementasi dari kedua anak muda itu, Madrasah Nizhamiyah menjadi terobosan pendidikan di kalangan NU, khususunya di dalam ranah pesantren. Untuk pertama kalinya kala itu, ada pondok yang mengembangkan pendidikan umum sampai 70 persen.
Dalam berbagai sumber, banyak tokoh seperti KH. Saifuddin Zuhri, KH. Zainul Arifin – sahabat Kiai Wahid yang menyebutkan bahwa sistem ini merupakan sebuah perubahan besar yang tentu saja masih tabu untuk kalangan pesantren dan masyarakat santri.
Tak heran, saat pertama kali dibuka, tidak banyak orang tua yang bersedia mengrimkan anaknya ke madrasah ini. Di antara sekian ribu santri Tebuireng, hanya sekitar 30 anak yang menjadi siswa madrasah Nizhamiyah. Bermodalkan serambi masjid Tebuireng, bersama Kiai Ilyas, ia gencar dan semangat mengajarkan para santri pelajaran-pelajaran umum.
Tak heran, sejak kecil, Kiai Wahid memang dikenal sebagai seorang kutu buku. Tidak hanya kitab-kitab kuning berbahasa Arab milik ayahnya lah yang dibaca, ia juga belajar buku-buku umum dan berlangganan majalah berbahasa Indonesia, Inggris, sampai bahasa Belanda.
Hal itu menjadikannya menjadi seorang yang berwawasan luas berbagai ilmu pengetahuan modern, terutama ilmu-ilmu politik, ekonomi, kebudayaan, ilmu bumi, sejarah, dsb.
Baca Juga:
Mengenal Lebih Dekat Sosok KH. Abdul Wahid Hasyim
Kiai Wahid Hasyim dalam Pusaran Tujuh Kata
Kiai Wahid Hasyim, Sang Putra (Tanpa) Mahkota
Penampilan santri Madrasah Nizhamiyah tidak jauh berbeda dengan santri yang lain, yakni bersarung dan berkopiah. Hanya saja mereka tampak lebih disiplin dan tertib. Mereka juga unggul dalam ilmu pengetahuan umum, tapi lemah dalam tata bahasa Arab. Sistem belajarnya pun tidak hanya berkutik pada metode sorogan dan bandongan. Akan tetapi, lebih memfokuskan santri untuk presentasi, musyawarah dan melakukan bahtsu masa’il.
Dalam perkembangannya, Kiai Hasyim kurang berkenan ada dua madrasah berbeda di pesantrennya. Karena itu, pada akhirnya Nizamiyah dilebur sehingga hanya menyisakan Salafiyah, madrasah yang jauh lebih tua. Peleburan itu menjadi titik masuk pelajaran non agama ke madrasah Salafiyah.
Tak hanya sampai situ, usaha meningkatkan literasi para santri yang dilakukan Kiai Wahid pun terus berkembang. Pada tahun 1936, Kiai Wahid membuat suatu organisasi bernama IKPI (Ikatan Pelajar Islam) dan beliau adalah pemimpin organisasi tersebut.
Dalam IKPI, ia menyediakan taman bacaan dengan lebih dari 500 buku dan kitab untuk anak-anak dan pemuda. Bahasanya pun beragam, mulai dari bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Madura, Belanda, sampai Inggris. Organisasi ini juga berlangganan majalah dan surat kabar.
Dampak Terobosan Kiai Wahid Pada Kurikulum Pesantren Pada Era Sekarang
Bubarnya Nizhamiyah sendiri tidak berarti ide modernisasi pendidikan pesantren berakhir. Kiprahnya justru kian cemerlang, bahkan sampai kancah nasional. Berbekal mengajar dan mengurus pesantren, serta aktif pada banyak organisasi, banyak ide-ide revolusionernya untuk kemaslahatan umat Islam dan bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih dapat kita rasakan.
Kiai Wahid adalah salah satu contoh kaum sarungan yang terjun ke dunia politik, bahkan menjadi Menteri Agama pertama Indonesia dalam 3 kabinet berturut-turut. Salah satu warisannya ialah mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam baik swasta maupun negeri.
Hikmah sesungguhnya semua warisan Kiai Wahid adalah penguatan tradisi pesantren warisan para ulama terdahulu yang memiliki sejarah yang sangat panjang. Hal itu dapat kita lihat baik di desa maupun kota-kota besar.
Dapat kita lihat, dalam memodernisasi isi dan sistem pendidikan, lembaga-lembaga pesantren tetap memelihara hubungannya dengan arus utama tradisi Islam. Para kiai tidak mau membuang kerangka besar tradisi keilmuan, walaupun telah melakukan beragam perubahan yang fundamental dalam aktivitas sosial dan intelektual, cara hidup, serta dalam aspirasi sosial.
Kementerian Agama (Kemenag) mencatat setidaknya per semester ganjil 2023/2024, ada total 39.551 pesantren di seluruh Indonesia, dengan total santri sebanyak 4,9 juta. Dari banyaknya jumlah tersebut, banyak pula yang mengadopsi kurikulum yang dulu pernah diciptakan oleh Kiai Wahid dengan mengikuti perkembangan zaman.
Baca Juga artikel Harlah 125 Tebuireng: Evolusi Ilmu Hadis di Pesantren Tebuireng Jombang
*Freelance Content Writer.