Oleh Muhammad Ali Ridho*
Kemiskinan dan kesenjangan sosial di sebuah Negara yang kaya dengan sumber daya alam dan mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia, merupakan suatu keprihatinan. Jumlah penduduk miskin terus bertambah jumlahnya sejak krisis ekonomi pada tahun 1998 hingga saat ini. Pengabaian atau ketidak seriusan penanganan terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum dhuafa yang tersebar di seluruh tanah air merupakan sikap yang berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial.
Jika kita cermati lebih jauh, ditemukan bukti-bukti empiris bahwa pertambahan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bukanlah karena persoalan kekayaan alam yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk (over population), akan tetapi karena persoalan distribusi yang kurang baik serta rendahnya rasa kesetiakawanan di antara sesama anggota masyarakat. Lingkaran kemiskinan yang terbentuk dalam masyarakat kita lebih banyak kemiskinan struktural sehingga upaya mengatasinya harus dilakukan melalui upaya yang bersifat prinsipil, sistematis dan komprehensif.
Sedangkan untuk mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh bukanlah sesuatu yang mudah dikerjakan, karena kesejahteraan baik material maupun spiritual hanya mungkin tercapai dengan beberapa kondisi, diantaranya dengan melaksanakan beberapa asas yang penting untuk mewujudkan kesejahteraan, yaitu terjaminnya hak-hak asasi manusia, termasuk hak mendapatkan keadilan. Di dalam Islam, keadilan merupakan konsep hukum dan sosial. Keadilan sosial Islam adalah keadilan kemanusiaan yang meliputi seluruh segi dan faktor kehidupan manusia termasuk keadilan ekonomi. Keadilan yang mutlak menurut ajaran Islam tidak menuntut persamaan penghasilan bagi seluruh anggota masyarakat, tetapi sesuai dengan kodratnya sebagai manusia yang berbeda-beda bakat dan kemampuannya.
Untuk itu Islam datang, yang mana salah satu satu dari ajarannya yaitu anjuran melakukan filantropi (kebajikan) terhadap sesama anggota masyarakat dalam bentuk harta. Hal itu dikemas dalam berbagai bentuk seperti syariat zakat, infaq, shodaqoh dan memberikan harta terbaik yang dimiliki untuk kepentingan publik. Poin terakhir ini, syariat menyebutnya sebagai al-habs sinonim dari kata al-waqf, yaitu harta benda milik person yang diberikan untuk publik agar dapat dimanfaatkan selama barang itu tetap ada.
Syariat wakaf ini telah dikenal sejak masa Rasulullah Saw. yang mana pada masa itu merupakan sebagai salah satu kebijakan beliau dan menjadi sumber pendapatan negara. Hal itu dilakukan agar terjadi distribusi pendapatan yang merata, dan juga meningkatkan efisiensi pertukaran barang. Wakaf pun menjadi salah satu sarana untuk mempersempit kesenjangan antara kaum kaya dan miskin dan menciptakan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Wakaf saat ini peruntukannya tidak hanya terbatas di bidang keagamaan, tetapi juga pendidikan, sosial, pertanian, hingga layanan kesehatan. Wakaf pun menjadi salah satu bentuk distribusi kekayaan non pasar untuk menciptakan pemerataan keadilan sosial di tengah masyarakat. kehadiran filantropi Islam ini dapat menjadi salah satu bentuk jalur distribusi yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian telah dibuktikan dalam sejarah filantropi Islam abad pertengahan, yang jejak keagungannya masih dapat disaksikan di negeri-negeri Muslim, seperti Turki dan Mesir.
Pada saat itu, pemikiran mengenai wakaf tunai mulai berkembang. Sebagian ulama memperbolehkan wakaf barang bergerak atau tunai, dengan syarat asal pokoknya tetap langgeng. Diantara pendapat yang memperboleh wakaf tunai ialah pendapat mutaqoddimin dari ulama madhab Hanafi sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bil-Urfi (mengambil kebaikan dari sebuah adat/tradisi). Kedua, pendapat Imam al-Zuhri serta Imam Abu Tsaur dari kalangan madhab Syafi’i juga memperbolehkan dengan syarat uang tersebut dijadikan modal usaha kemudian hasilnya disalurkan pada mauquf alaih. Kebolehan wakaf tunai ini juga diperkuat dengan fatwa MUI Tahun 2002 tentang wakaf tunai.
Di sisi lain, jenis peruntukannya pun semakin beragam, dengan tidak lagi identik dengan masjid, madrasah, atau lahan pertanian, tetapi meluas menjadi rumah sakit, pemandian, apartemen, jembatan, kanal dan ruko. Administrasinya juga semakin tertata dan melembaga dengan membentuk dewan wakaf (nadzir). Konsep pemikiran fikih itu membolehkan pengembangan wakaf dengan mengikuti proses-proses ekonomi modern, seperti mengikutsertakan bank dalam penghimpunan dana wakaf tunai. Bahkan di sejumlah negara, pengelolaan wakaf telah berkembang dalam bentuk investasi bisnis, seperti perusahaan ekspor-impor, industri tekstil, perusahaan pertambangan dan konstruksi.
Pemikiran wakaf di era modern pun tak terlepas dari wakaf uang. Hal ini dipelopori oleh Akademisi asal Bangladesh, M.A Mannan dengan mengemukakan pemikirannya mengenai wakaf uang yang dapat membantu menghapus kemiskinan dan berpartisipasi di bidang investasi sosial secara tetap. Melalui Social Investment Bank Ltd (SIBL), Mannan merekomendasikan perbankan sektor voluntary Islami dengan memperkenalkan Sertifikat Wakaf Tunai sebagai instrumen keuangan di perbankan.
Atas dasar itu sudah sepantasnya bagi pemerintah atau sebuah intansi lembaga sosial dan lainnya menggalakkan kembali program wakaf tunai, karena potensinya sangat besar sekali. Mustafa Edwin Nasution pernah membuat asumsi bahwa jumlah penduduk muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan penghasilan rata-rata antara 0,5 juta – 10 juta per bulan. Dan ini merupakan potensi yang besar. Bayangkan misalnya warga yang berpenghasilan Rp 0,5 juta sebanyak 4 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 60 ribu. Maka setiap tahun akan terkumpul Rp 240 miliar, dana itu kemudian dikelola dan hasilnya diperuntukkan untuk mendanai kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan, melayani pengobatan gratis, dan lain sebagainya. wallahu a’lam bisswab,[]
Sumber bacaan:
- Depag RI, Pedoman Pengelolaan dan Perkembangan Wakaf
- Depag RI, Fikih wakaf
- Depag RI, Proses lahirnya undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf
- Yusuf Qordhowi, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu
- Abu Suud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqfi an-Nuqud
- al-Mawardi, al-Hawi Kabir
- Fatwa MUI, tahun 2002 tentang wakaf tunai
*Penulis adalah mahasiswa kelas akhir di UNHASY dan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng. saat ini diamanahi sebagai Kepala Divisi Pustaka Tebuireng