Oleh: Muhammad Ibnal Randhi
Filsafat atau dalam di dunia Islam disebut sebagai “falsafah” merupakan bukti kecintaan manusia terhadap ilmu pengetahuan. Kendati beberapa studi literatur menerangkan bahwa falsafah atau filsafat Islam banyak dipengaruhi oleh intelektual orang-orang Yunani, namun asumsi itu benar adanya. Seperti salah satu tokoh Falsafah Islam yang membawa perubahan cukup signifikan pada abad XII-XVII serta mengusai hampir suluruh cabang ilmu pengetahuan yakni Ibnu Sina, seorang ilmuan muslim terkemuka dalam sejarah.
Memiliki nama lengkap Abu Ali Al-Husayn Abdullah Ibn Sina yang terdedikasi oleh nama ayahnya yakni Abdullah serta kakeknya yang bernama Sina. Lahir pada tahun 370 H atau sekitar 980 M, di kampung Afsyanah dekat kawasan Bukhara salah satu wilayah bagian Uzbekistan dan wafat pada 427 H atau 1037 M. Orang-orang barat kerap memanggilnya dengan sebutan Avicenna dan dijuluki sebagai “Bapak Kedokteran Islam”. Julukan itu diberikan bukan tanpa alasan, melainkan sejak umur 16 tahun ia telah mengkaji penyakit kanker, tumor, diabetes bahkah telah mengusai ilmu penyembuhan yang diperoleh dari perjalanannya di Persia. Kemudian berkat keulungannya, ia mampu menyembuhkan Al-Mansur yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Selain mengusasi ilmu kedokteran, ia juga menelaah ilmu filsafat sampai saat ini, setelah membaca karya Aristoteles mengenai metafisika yang dipadukan dengan ajaran Islam.
Namun tulisan kali ini tidak akan berfokus pada cabang ilmu kedokteran Ibnu Sina, melainkan terpaku pada kuiditas yang menjadi bawaan utama Ibnu Sina dalam menyelami falsafah Islam. Diterangkan, kuiditas yang dijelaskan di sini ialah esensi. Alasan Ibnu Sina memakai kata “kuiditas” dikarenakan kuiditas mampu menautkan 2 terminologi dalam satu entitas yakni esensi yang memiliki hakekat suatu wujud.
Ontologis pemikiran Ibnu Sina yakni mengenai hakekat wujud “Reality Of Thing”. Sebelum beranjak ke ranah pemikiran Ibnu Sina, lebih awal mari kita berbicara sedikit mengenai hakekat wujud menurut filsuf-filsuf barat. Pembahasan ini sebenarnya telah lama ditelusuri oleh filosof-filosof Yunani salah satunya Aristoteles dalam lontaran argumentatifnya “Tuhan ialah sebagai penggerak utama yang tidak bergerak”. Baginya Tuhan sudah pasti “Ada” (exist). Hal inilah menjadi fundamental pemikiran Ibnu Sina yang ingin mentrasendenkan kuiditas suatu wujud. Meskipun ia dipengaruhi oleh dogma-dogma dari Aristotelian, namun Ibnu Sina tidak sepenuhnya sejalan dengan apa yang konspirasikan oleh Aristo. Jika menurut Aristo, Tuhan hanya sebagai penggerak utama yang tidak bergerak, maka persepsi ini tentu berseberangan dengan Ibnu Sina yang memandang Tuhan tidak sebatas penggerak, melainkan pencipta suruh semesta yang selalu bersama dengan ciptaannya. Artinya tidak berdiam diri, tidak tidur, dan tidak pula mengetahui setiap fiil “perbuatan” sekecil apa pun.
Tuhan sendiri tidak tercipta dari partikel apa pun, tidak serupa dengan apa pun, dan hanya Dialah yang monoteis dari berbagai wujud yang ada. Dialah yang memiliki makna satu, selain dari-Nya tidak lebih mengandung arti plural serta mampu di tafsir secara logika. Setiap ciptaannya adalah panenteis-Nya. Inilah hakekat Tuhan yang diimani oleh Ibnu Sina yang menjadi satu-satunya kuiditas yang “Ada”. Lebih komprehensif , dimulai dari timbulnya pertanyaan bagaimana segala yang “Ada” saat ini mampu bereksistensi melalui wujud yang sejatinya hanya Dialah wujud itu?.
Di sinilah pondasi awal Ibnu Sina yang menjadi tasalsul kemunculan konsep emanasi. Walaupun emanasi bukanlah renungan orisinal dari Ibnu Sina, namun bermula dari paham “Plotinus” yang memahami kalau alam ini semestinya tercipta dari pancaran kelimpahan Zat Yang Masa Esa. Lalu ditafsirkan ke ranah Islam oleh Ibnu Sina menjadi “Allah menciptakan alam melalui kaidah emanasi”. Dalam rumusannya, multiverse sendiri tercipta dari pancaran wujud yang satu.
Tentunya sintesa ini menerangkan bahwa Tuhan sendiri sebagai akal pertama “al-Awwal” yang di mana wujud tersebut berpikir dan memancarkan diri-Nya. Sehingga dari hasil pancaran tersebut muncul generalisasi kuiditas kedua disebut sebagai “materialis” yang kemudian kuiditas kedua tersebut berpikir dan berkembang biak yang kemudian memunculkan entitas-entitas lain. Baginya, kuiditas segala sesuatu di alam raya (universe) berlandaskan bahwa kuiditas ini “Ada”, baik yang bersifat fisik ataupun metafisika. Tetapi kuiditas ini belum layak dikatakan “Ada” secara realitas dikarenakan kuiditas ini tidak menampakkan dirinya. Kemudian kuiditas “Ada” ini diemanasikan dalam bentuk yang memiliki “Wujud” (Being), yang artinya segala sesuatu itu mempunyai wujud. Demikian paradigma Ibnu Sina mengenai emanasi yang menjadi ontologis tercipta segala eksistensi.
Tetapi teori emanasi ini tidak berlaku pada-Nya. Tuhan meskipun sejawatnya tidak tampak oleh pancaindra, namun Dia bukan berarti tidak ada. Tuhan bukanlah sekedar memiliki “Wujud Ada”, namun Dialah wujud dari semua bentuk yang ada. Oleh karenanya, Dia tidak diciptakan ataupun memiliki kontinuitas “kesinambungan” dalam mendesain alam raya, kendati Dia sendirilah wujud awal permulaan tanpa bantuan satupun makhluk. Berkat eksitensi-Nya terhadap seluruh ciptaanya, memberikan realitas kepada setiap kuiditas yang ada.
Terlepas dari kuiditas, tentu ada yang bersifat fisik dan ada pula yang bersifat metafisik. Maka dari itu, Ibnu Sina mendeklarasikan bahwa terdapat 2 tinjauan untuk menyikapi suatu wujud. Pertama kuiditas internal, kuiditas ini tidak terikat oleh eksistensi suatu wujud. Artinya, kita boleh menelaah atau membayangkan suatu kuiditas yang standarnya tidak tampak atau tidak ada realitasnya tanpa harus menyatakan wujudnya ada atau tidak. Biasanya pemahaman ini diperuntukkan pada pengetahuan yang sifatnya metafisik atau sesuatu yang sulit ditampakkan, namun ia ada. Dengan metode asosiasi, kesinambungan pikiran dan realita, hati, serta keyakinan.
Analoginya seperti cinta secara implisit ia tidak terlihat atau tidak memiliki wujud, namun kita tetap diperbolehkan untuk merasakan, memikirkannya tanpa harus kuiditas cinta tersebut menampakkan dirinya. Kemudian kedua kuiditas eksternal, di mana kuiditas ini sangat terikat dengan keberadaan atau eksistensi suatu wujud. Artinya, kuiditas ini mengisyaratkan kalau wujud dikatakan ada ia harus mampu menampakkan diri atau berinteraksi dengan objek-objek yang terlihat. Oleh sebab itu, kuiditas “hakekat sesuatu” merupakan dualisme yang harus beriringan dengan eksistensi “perwujudan” objek tersebut. Bila tidak, maka kuiditas itu dianggap nisbi atau tidak ada.
Tak sampai di situ, hal yang kaitannya erat dengan proporsi penciptaan juga ialah pembagian kuiditas dan eksistensinya seperti maujud tidak mungkin (Mumtani), mungkin (Mumkin), dan wujud niscaya (Wajib). Dinamika ini muncul sebagai bentuk fenomena keberagamaan dogmatis yang dikaji Ibnu Sina pada zamannya. Pertama, wujud mumtani, entitas ini seringkali menimbulkan kontradiktif dikarenakan segala wujud sebetulnya tidak akan mungkin ada. Sebab setiap kuiditas berada pada tataran pikiran masing-masing individu dan setiap pikiran memiliki dogma yang beragam.
Kedua, wujud mumkin, melahirkan keselarasan. Karena wujud ini merepresentasikan bahwa wujud itu ada atau tidak, tidak akan mempengaruhi pola pikir setiap makhluk. Sebagaimana setiap makhluk yang kuiditasnya tetap ada dan kadang ia juga tidak ada. Lalu yang terakhir wujud niscaya, wujud ini menjabarkan bahwasanya hanya ada satu wujud the only one yang harus diimani, diyakini, dan dipercaya oleh setiap makhluk. Entitas ini tidak akan melahirkan kontroversi sekecil apapun terhadap pemeluknya, namun sebaliknya akan menimbulkan keharmonisan. Yakni Tuhan yang esensi dan wujudnya merupakan kontinuitas yang Esa.
Jejak intelektual Ibnu Sina terkait hakekat wujud ini memberikan transformasi yang begitu besar bagi suluruh umat beragama termasuk Islam sendiri yang mentauhid Allah sebagai Tuhan semesta alam. Dengan begitu Allah ialah entitas yang harus ada, bukan sebagai genus atau spesies, melainkan sebagai hierarki ketuhanan. Selain itu, gagasan ini dimaksudkan untuk melengkapi deksripsi filsafat metafisik Aristoteles mengenai keabsahan Tuhan yang sempit dan tidak reseptif dari segi keislaman sekaligus menjawab persoalan-persoalann kontingen mengenai terciptanya alam raya sejak ribuan silam. Lebih dari itu, upaya yang dilakukan Ibnu Sina dalam menelaah hakikat wujud tiada lain untuk menegaskan setiap keyakinan hanya ada satu wujud yang selayaknya pantas untuk diimani. Meskipun terdapat distingsi “perbedaan”, maka sikap toleransi harus dijunjung tinggi dalam berkeyakinan.
Baca Juga: Mengenal Ibnu Bajjah, Seorang Filsuf Muslim