ragu mani dan madi

Selain air seni, ada beberapa cairan lain yang bisa keluar dari alat kelamin, sepeti mani dan madzi. Sesuai dengan keterangan Imam Al-Mawardi, mani merupakan cairan kental berwarna putih berbau seperti adonan dan keluar dengan cara muncrat. Sedangkan madzi adalah cairan putih encer yang keluarnya berbeda dengan mani, yakni keluar sedikit demi sedikit saat permulaan munculnya syahwat. Selain dalam sifatnya, kedua cairan ini memiliki perbedaan berupa mani hukumnya suci dan menuntut madi besar sedangkan madzi hukumnya najis dan membatalkan wudu. (Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir [Bairut: Darul Kutub, 1999] juz I, halaman 215)

Jika kita menemukan cairan di pakaian kita, dan kita bisa membedakan sifat-sifatnya, maka hal itu tidak menjadi masalah. Namun, bagaimana jika sifat yang menjadi pembeda antara mani dan madzi tidak kita dapati? Apa yang harus kita lakukan? Berikut adalah beberapa pendapat ulama mengenai kasus ini.

Konsekuensi Menurut Pendapat yang Kuat

Dalam permasalahan ini, Ibnu Hajar Al-Haitami berpendapat bahwa kita bisa memilih sesuai dengan apa yang kita inginkan. Bila kita memilih mani, maka konsekuensinya adalah kita wajib mandi besar dan tidak perlu mencuci pakaian yang dikenakan, dan jika kita memilih madzi, maka kita harus membasuh kemaluan, mencuci pakaian yang terkena cairan dan berwudu.

Mengapa bisa demikian? Karena, jika kita memilih mani (atau sebaliknya) dan melakukan konsekuensinya, maka status yang terjadi dalam madzi adalah keragu-raguan yang mana tidak ada kewajiban yang didasari oleh rasa ragu. Maka dari itu dicukupi dengan melakukan salah satunya saja. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al-Muhtaj [Mesir: Maktabah At-Tijariyah] juz I, halaman 264)

Mengambil keterangan dari Imam Abdul Hamid As-Syarwani, jika kita sudah menentukan suatu pilihan (memilih mani, misal), maka kita bisa berganti pilihan baik sudah melakukan konsekuensinya atau belum dan tidak perlu mengulangi salat yang telah dilakukan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

وَإِذَا اشْتَهَتْ نَفْسُهُ وَاحِدًا مِنْهُمَا فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَمَّا اخْتَارَهُ سَوَاءٌ فَعَلَهُ أَوْ لَمْ يَفْعَلْهُ وَلَا يُعِيدُ مَا صَلَّاهُ

Ketika hati sudah condong pada salah satu pilihan, maka diperbolehkan untuk menarik kembali apa yang telah dipilih baik konsekuensinya sudah dilakukan atau belum dan tidak ada kewajiban untuk mengulangi salat.” (Imam Asy-Syarwani, Hasyiyah As-Syarwani [Mesir: Maktabah At-Tijariyah] juz I, halaman 264)

Selanjutnya, Imam Al-Bujairami menjelaskan bahwa ketika kita memilih mani, maka kita tidak diharamkan segala sesuatu yang haram bagi orang junub. Ini dikarenakan tercegahnya memberi status haram kepada suatu perkara atas dasar ragu. Dan pendapat yang diutarakan oleh beliau adalah pendapat mu’tamad (pendapat yang kuat). (Sulaiman ibn Muhammad ibn Umar, Hasyiyah Al-Bujayromi ala Syarhi Al-Manhaj [Bairut: Darul Kutub] juz I, halaman 91)

Konsekuensi Menurut Pendapat yang Lemah

Berbeda dengan ulama di atas, Imam Asy-Syairozi berpendapat bahwa konsekuensi yang harus dilakukan adalah mengumpulkan keduanya. Dengan demikian, kita harus mandi, wudu dan mencuci pakaian yang terkena cairan tersebut. Alasan beliau adalah jika kita hanya memilih mani, maka kita wajib membasuh melebihi anggota wudu dengan ragu-ragu, dan hukum asal menuntut tidak adanya hal ini. Dan seandainya kita memilih madzi, maka kita wajib untuk mencuci baju dan wudu dengan tertib dengan ragu-ragu, dan hukum asal pun menuntut tidak adanya pula hal ini.

Selain itu, tidak ada hukum asal antara memilih mani atau madzi yang lebih kuat dari yang lain, dan tidak ada alasan untuk menggugurkan salah satunya. Maka dari itu beliau memilih untuk melakukan keduanya. Terlebih, kita memiliki tuntutan untuk bersuci dan salat, dan dengan mengumpulkan keduanya, kita bisa melakukan bersuci dengan perasaan yakin. (Asy-Sayrozi, Al-Muhadzab [Bairut: Darul Kutub] juz 1, halaman 63)

Menghubungkan dengan permasalahan niat, salah satu syarat agar niat diterima adalah dilakukan dengan mantap, dalam bahasa kitab disebut dengan al-jazmu bi niat. Lalu, jika kita niat bersuci dengan melakukan kedua tuntutan tersebut, apakah syarat niat yang berupa al-jazmu bi niat bisa terpenuhi? Imam Az-Zarkasyi menerangkan bahwa pada permasalahan ini merupakan pengecualian yang mana tidak masalah tanpa adanya al-jazmu bi niat. Ini dikarenakan adanya keadaan darurat yang memperbolehkannya. (Imam Az-Zarkasyi, Al-Mantsur [Al-Kuaitiyah: Wizarotul Awqof] juz 3, halaman 293)

Kesimpulan

Dengan demikian, jika kita berhadapan seperti permasalahan di atas, ada dua pilihan yang bisa kita gunakan. Pertama, kita bisa memilih salah satu antara mani atau madzi, dan ini adalah pendapat yang unggul. Kedua, kita bisa melakukan dua konsekuensi sekaligus, yakni wudu, mencuci pakaian dan mandi.

Baca Juga: Ketika Ragu Apakah Ini Mani atau Madi


Ditulis oleh Mohammad Naufal Najib Syi’bul Huda, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang.