Muslim di Rusia. Sumber foto: asliindonesia.com

Oleh: Hilmi Abedillah*

Populasi Islam terbesar terpusat di Asia dan Afrika, sementara di Barat (Eropa, Amerika, dan Australia), muslim menjadi komunitas minor. Jumlah muslim di Eropa hanya sekitar 4,9 persen. Perancis dan Swedia menjadi negara yang memiliki populasi muslim cukup tinggi. Namun begitu, tetap kalah jumlahnya bila dibandingkan dengan pemeluk agama lain.

Menurut Karen Amstrong, jumlah umat muslim yang tinggal di Eropa antara 6 hingga 7 juta jiwa, dan kurang lebih separuhnya memang dilahirkan di tempat itu. Sedangkan masjid berjumlah 1000 masjid di Perancis dan Jerman, sementara di Inggris 500 masjid.

Minoritas muslim di Barat sering kali mengeluh karena kesulitan menjalankan syariat Islam di sana. Mereka bingung bagaimana memilih pemimpin, sementara dalam al-Quran tidak memperbolehkan memilih pemimpin non-muslim. Mereka juga kepayahan memilih makanan di restoran sebagaimana mereka kesulitan memilih restorannya. Pakaian juga musykil, karena barang kali tidak berbahan atau diproses dengan cara islami. Di hari Jumat, mereka harus menempuh perjalanan jauh untuk mencari masjid. Itu pun kalau diizinkan oleh atasannya. Selain itu, masih ada banyak problematika sosial-budaya yang melilit keseharian pemeluk agama Islam yang masih ingin memegang syariat dengan teguh itu.

Syariat Muhammadiyyah (syariat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad) merupakan syariat ‘ammah (umum). Syariat ini ditetapkan untuk semua manusia di muka bumi. Tidak ada syariat setelahnya. Tidak pula seperti syariat nabi-nabi terdahulu yang berbeda-beda di antara golongan. Syariat Nabi Muhammad relevan di segala waktu dan masa, juga di seluruh komunitas manusia tanpa terkecuali.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Oleh sebab itu, umat Muhammad di manapun berada, baik itu di negara Islam maupun negara non-muslim, wajib menerapkan syariat tersebut. Sekalipun banyak yang beranggapan bahwa syariat adalah fikih, namun ada juga yang membagi syariat menjadi akidah, akhlak, dan fikih. Yang ketiga inilah yang sering menuai problem. Di dalamnya banyak unsur ijtihad para ulama yang sudah dikerucutkan menjadi empat madzhab.

Umat muslim pada masa Nabi juga pernah menjadi minoritas, yaitu pada periode Makkah. Salah satu ciri ayat yang turun pada periode itu ialah menggunakan ‘yaa ayyuhan naas’, wahai manusia. Bukan ‘yaa ayyuhalladziina aamanuu’, wahai orang-orang yang beriman. Ciri berikutnya ialah kandungan ayatnya berkenaan tentang akidah dan akhlak. Sedangkan periode ayat-ayat madani berisi tentang syariat (fikih). Inilah yang oleh Abdul Moqsith Ghazali disebut al fiqh al akbar (fikih makro) dan al fiqh al ashghar (fikih mikro). Ia menyarankan, untuk membangun relasi dengan mayoritas di Barat, perlu menggunakan fikih makro, yakni akidah dan akhlak.

Menurutnya, “fikih mikro terlampau sibuk untuk mengatasi persoalan ‘receh’ atau ‘trivial’ dalam fikih seperti soal penyembelihan hewan kurban, maka fikih makro lebih mengembangkan penegakan moral atau etika publik.”

Setidaknya ada tiga orang yang telah menuliskan buku tentang fikih minoritas. Pertama, Jabir Thaha al ‘Alwani dengan judul Toward a Fiqh for Minorities. Kedua, Yusuf al Qardlawi dengan judul Fi Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslimah. Ketiga, Ahmad Imam Mawardi dengan judul Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqashid asy-Syariah, dari Konsep ke Pendekatan. Satu lagi, Nadirsyah Hosen yang secara tidak langsung menulis fikih minoritas dengan gaya bercerita dalam bukunya Dari Hukum Makanan tanpa Label Halal hingga Memilih Mazhab yang Cocok yang diambil dari pengalamannya selama di Australia.

Dengan berprinsip pada fikih makro, maka banyak hal yang akan berubah dari yang awal mulanya haram menjadi halal. Yang awal mulanya halal menjadi ditinggalkan. Misalnya, dalam penyembelihan hewan kurban. Orang Barat menjaga kebersihan tak akan mengizinkan menyembelih di sembarang tempat. Karena itu, penyembelihan tidak perlu dilakukan karena itu sunnah, bukan wajib. Dalam masalah shalat Jumat, minoritas muslim bisa menggantinya dengan shalat dhuhur karena beberapa alasan. Dalam pandangan fikih, hujan saja bisa menjadi udzur Jumat.

Dalam bab waris, tidak ada waris-mewaris dari orang beda agama (ikhtilafud din). Ketentuan ini tidak mudah diterapkan di Barat yang anggota keluarganya berlainan kepercayaan. Mereka telah berpikir pluralis. Oleh sebab itu, diperlukan kontekstualisasi dalam fikih. Jika ditelusuri, ikatan kewarisan itu atas dasar darah, bukan ikatan agama. Perbedaan agama menjadi penghalang karena pada waktu itu umat Islam terlibat konflik dengan umat agama lain.

Kamar mandi model Barat biasanya kering. Mereka membersihkan kotoran menggunakan tisu. Sementara wastafel hanya digunakan untuk cuci muka dan tangan. Minoritas Islam yang mau wudu tentu harus mengangkat kaki ke wastafel, dan tentunya menjadi pemandangan buruk bagi yang melihatnya. Solusinya, bagian kaki bisa diusap saja, mengikuti pendapat ahli fikih yang memandang bahwa kaki tidak wajib dibasuh. Yaitu yang membaca ‘arjulakum’ di dalam Al Qurannya, bukan ‘arjulikum’.

Fikih bersifat elastis, karena ia ranah ijtihad kaum intelektual Islam. Yang tidak bisa berubah ialah apapun dalil yang qath’iyyuts tsubut (jelas penetapannya) dan qath’iyyud dalalah (jelas penunjukannya). Dan itu sangat sedikit di dalam Al Quran.

Fikih minoritas menjadi jawaban atas keluhan yang banyak dirasakan oleh muslim di Barat, baik penduduk asli maupun imigran. untuk mengatasi kebuntuan, ada sejumlah kaidah fikih yang bisa dipakai, seperti al masyaqqatu tajlibut taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan), adl dlarurah tubihul mahdlurot (bahaya bisa menghalalkan yang terlarang), dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil mashalih (menolak mafsadah lebih didahulukan daripada mengambil maslahah), al amru idza dlaqa ittasa’a wa idzat tasa’a dlaqa (perkara jika sempit akan meluas, jika luas akan menyempit, dan kaidah-kaidah lain yang merupakan intisari dari pokok ajaran Islam.

Kontekstualisasi mungkin sulit diterima oleh muslim tradisional yang masih berpegang erat pada kitab-kitab salaf mu’tabarah. Apapun masalahnya. Namun, alangkah sulitnya jika muslim minoritas mengerjakan ibadah sesuai dengan muslim mayoritas. Mereka tidak lagi percaya dengan hadis riwayat Abu Hurairah, “Sesungguhnya agama itu mudah.” Akan tetapi, dengan bercermin pada masa umat Islam masih minoritas di Makkah, hadis itu menjadi bisa dipercaya. Begitu pula dengan maqalah yang sudah sangat masyhur “al islamu shalih li kulli zaman wa makan”, Islam relevan di segala masa dan tempat.


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari