Sumber: suaramojokerto

Oleh: Yuniar Indra Yahya

Beberapa waktu lalu penulis membaca berita di suaramojokerto.com, isinya sungguh menggemparkan. Ada seorang pasien Covid-19 yang meninggal ditolak oleh pengurus makam setempat dikarenakan jenazah tersebut non-muslim. Padahal beliau itu salah satu penduduk di masyarakat desa itu. Akan dipulangkan ke keluarganya, menghabiskan biaya. Tapi dimakamkan di area makam Islam pun tak boleh. Apalagi dimakamkan di pemakaman Cina, jelas menghabiskan banyak rupiah.

Penulis tidak akan membahas toleransi beragama di sini. Penulis akan menyorot dunia ‘permakaman’ yang ditradisikan oleh penganut agama di Indonesia. Pertama, model pemakaman yang ditradisikan oleh umat Islam. Tata cara yang mereka anut berasal dari teks literatur klasik (kitab kuning) karangan para ulama’. Para ulama’ merupakan penyambung lidah atau warasatul anbiya’ (pewaris Nabi). Yang merumuskan hasil pembacaan dan perguruannya dari gurunya, gurunya guru, sampai kepada Nabi langsung. Hingga menghasilkan kitab kuning.

Dalam banyak literatur tata cara penguburan orang Islam tidak terlalu ribet, apalagi menghabiskan biaya. Tapi, dalam ajaran mereka tetap ada bentuk penghormatan kepada jenazah. Mulai dari dimandikan, dikafani, dishalati dan terakhir dikubur. Kalau di kalangan Nahdilliyin lebih dihormati lagi, ditalqin, dibacakan tahlil sampai 7 hari, ditaburi kembang tiap hari Jumat Legi. Dalam pemakaman pun hanya disiapkan lubang ukuran 2×1/2 meter. Dengan kedalaman setinggi orang dewasa (kira-kira 200 cm). Pun kostum jenazahnya hanya berbalut kain kafan putih. Tanpa jas, jam tangan, kalung. Dan pasti natural, alias tanpa make up.

Kedua, model pemakaman etnis Tionghoa. Mereka beranggapan bahwa manusia yang meninggal itu berpindah alam. Jadi banyak barang berharga yang ikut dimakamkan bersama pemiliknya. Ditambah bentuk dan model kuburan mereka yang cukup memakan lahan. Juga keramik nan indah sebagai bentuk keindahan. Tapi biaya sewa dan perawatan makam juga mahal. Dilansir dari laman penyedia makam Tionghoa salesmanagersandiegohilss.com, ada banyak model kuburan yang bisa dipilih. Dengan berbagai model kaveling. Mulai harga 74 juta hingga 1 milyar. Belum lagi biaya pasang iklan setengah halaman di Jawa Pos. Bisa dibayangkan, sudah meninggal saja masih konsumtif.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Melihat persoalan di paragraf pertama. Agaknya sangat mungkin kita melakukan prosesi pemakaman warga Mojokerto tersebut menggunakan metode yang dipakai etnis Tionghoa. Alasannya, lahan di area pemakaman etnis Tionghoa itu luas tapi hanya diisi oleh pasangan suami istri. Makanya penulis setuju kalau pemakaman jenazah tersebut ditolak oleh pengurus setempat lantaran bukan non-muslim. Mungkin beliau hanya sedikit menyatakan sindiran halus kepada rakyat Tionghoa. Sepatutnya jangan serakah, orang sudah mati saja masih dibuatkan makam mewah.

Berbeda, kalau alasan pengurus makam itu hanya untuk tinggi hati. Sesuka hatinya sendiri mentang-mentang mayoritas muslim. Penulis tahu benar bahwa memang dalam berbagai literatur kitab kuning orang non-muslim tidak diboleh dimakamkan satu area dengan orang muslim. Salah satunya di kitab Bujairami ‘ala Khatib. Hasyiah Qulyubi wa ‘Umairah juga ada. Tapi di sana juga diterangkan kalau memang kondisi darurat, seperti kasus di atas, tidak masalah. Daripada dimakamkan di pemakaman Cina, ‘kan mahal, atau upacara Ngaben ala Hindu Bali, bisa-bisa muncul cluster covid baru karena berkerumun.

Sudahlah, tidak perlu terlalu menyakralkan diri. Lagi-lagi kita harus banyak membaca agar lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Bukan hanya melihat kebanyakan orang yang lakukan turun-temurun, supaya kehormatan Islam masih dapat dipertahankan di mata masyarakat.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari