sumber gambar: nakita.ID

Oleh: Albii* 

Mata gadis kecil itu menatap tajam ke arah etalase di sebuah swalayan mini. Jauh dari tempatnya berdiri tampak jelas jejeran toples berisi jajan coklat yang bervariasi. Ia tidak memasuki toko itu, sebab mamanya meminta ia agar tetap duduk di kursi depan pintu swalayan saja, sambil menunggu bapaknya yang baru saja ke bengkel motor untuk menambal ban. Gadis mungil itu adalah Nina, anak tunggal dari pasangan pak Arya dan bu Nisrina. Mereka bertiga hidup dalam sebuah rumah sederhana tepat di pinggir jalan raya, kota. 

“Ma, boleh ambil coklat itu?” Gadis itu menghampiri mamanya yang baru saja membuka pintu swalayan. Ia menarik sedikit ujung jilbab mamanya agar memperhatikan permintaannya.

“Jangan hari ini ya nak. Kan kemarin sore udah dibeliin bapak. Sekarang kita masak bakso aja ya di rumah.” Mata anak kecil itu masih mencuri-curi pandang ke rak-rak toko yang mulai tidak terlihat jelas lagi, mamanya berusaha menarik tangannya pelan, ah barangkali ini juga jadi alasan mengapa ia tidak boleh ikut mamanya ke dalam toko. Sayang sekali, anak kecil lebih banyak cukup mengikuti perintah dan tidak banyak menebak apa yang sebenarnya jadi alasan orang tua melarangnya, meski alasannya adalah menunggu bapak datang dari bengkel, di luar toko.

“Bapak belum balik dari bengkel?” Nina hanya diam, sepertinya dia sedikit kecewa karena tak berhasil membujuk mamanya membelikan coklat untuknya. Seperti biasa, hari tanpa coklat serasa hampa baginya. Entah apa yang membuatnya menyukai coklat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Nina kenapa cemberut nak?” Tanya bapaknya saat sampai di hadapan mereka berdua.

“Mau coklat, tapi gak kukasih mas.” Bapaknya tersenyum ke arah Nina. 

“Sayang, kita bisa beli besok ya, bapak janji. Sekarang kita pulang dulu.” Kalimat itu berhasil mengukir sabit di bibir Nina. Anak itu naik ke motor dan bernyanyi riang dengan lirik yang biasa dia karang sendiri. 

***

Gadis kecil itu tumbuh dengan baik. Kini ia memiliki sahabat bermain, namanya Rindi. Gadis cerdas keturunan pengusaha yang baru saja pindah rumah dan menjadi tetangga Nina. Sejak saat itulah mereka kenal, perkenalan yang begitu sangat pendek tetapi membuat mereka sudah seperti sahabat bahkan saudara kandung.

“Rin, kemarin kamu bawa coklat. Hari ini bawa lagi, kamu tiap hari kasih aku coklat, kenapa Rin?” Pertanyaan gadis lugu itu membuat Rindi cukup kaget.

“Wah, kamu tidak senang coklat ya Nin? Maaf ya.” Rindi merasa bersalah, dan wajahnya terlihat cemas.

“Bukan begitu Rin. Aku suka banget sama coklat, suka banget. Cuman kok tiap hari, itu merepotkan kamu, tiap hari bawa buat aku.” Nina cukup serius sambil memainkan kepala boneka barbie yang baru saja Rindi bawa dari rumahnya.

“Nin, aku juga suka coklat. Dulu aku pernah sedih karena hanya bisa melihat dan menelan ludah saat teman dan saudaraku makan coklat, tapi aku ga dikasih. Sekarang, aku pengen ngasih kamu, agar kamu gak kayak aku dulu. Jadi kita sama-sama nikmatin coklat, aku yakin banyak anak-anak suka coklat, makanya aku bawain kamu.” Jelas Rindi memberi senyuman ke arah Nina.

“Oh gitu ya. Tapi itu tidak merepotkan kamu, kan bawain aku terus?” Nina mencoba meminimalisir suasana canggungnya.

“Enggak ada yang repot. Aku hanya ingin berbagi, dan kamu itu teman aku. Jadi aku boleh dong berbagi kebahagian buat temanku, meski pun itu hanya lewat sebungkus coklat.” Mereka tertawa bersama, dan kembali bermain tebak gambar, mainan baru yang Rindi dapatkan dari ayahnya setelah dari luar kota. 

Dua gadis beranjak remaja itu tampak sangat ceria. Mereka saling bertukar cerita sederhana, saling melempar tawa dan sesekali bertengkar kecil tetapi tak pernah membuat mereka berhasil diem-dieman dalam waktu lama, barangkali begitulah anak kecil. 

“Nina, ajak Rindi makan nak.” Suara mama Nina terdengar cukup jelas, sepertinya dari arah dapur. 

“Ayo Rin, makan.” Belum sempat membalas teriakan mamanya, Nina langsung mengajak Rindi untuk masuk ke rumahnya, tepatnya ke dapur untuk makan siang. Mereka biasa bermain di teras rumah sambil melihat kendaraan mondar-mandir di jalan raya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah Nina.

“Ayo!” mereka berlarian kecil menuju dapur dan makan kecil bersama-sama.

“Nanti, kalau kalian sudah dewasa, tetap akur ya. Jadi saudara yang baik, jangan dikit-dikit musuhan, gak bagus.” mama Nina menasihati dua gadis mungil itu sambil mengulurkan lauk pauk ke piring mereka. Mereka menyambut dengan senyum dan terlihat sangat lahap menyantap masakan mama Nina. 

“Rin, bilang ayah dan ibumu ya, jangan pindah rumah biar kita temenan terus.” Ucapan Nina disambut gelak tawa oleh mama dan bapak Nina yang tiba-tiba muncul dari kamar mandi.

“Di mana pun nanti kalian tinggal, kasih sayang saudara itu tidak akan dikalahkan oleh ruang dan waktu. Jadi jangan khawatir kalau pun Rindi pindah rumah ikut orang tuanya bertugas, tidak apa-apa.” Ruangan hening, sepi. Dua gadis itu hanya tersenyum tipis dan tetap melanjutkan makannya. 

*Mahasiswa KPI Unhasy.