Prof. Dr. KH. Sayyid Aqil Husein al-Munawwar memberikan orasi ilmiah dalam wisuda ke-5 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, Ahad (13/1/2019). (Foto: Nahul)

Tebuireng.online- Wisuda ke-5 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari yang diselenggarakan, Ahad (13/01/2019) kemarin, dihadiri oleh Prof. Dr. KH. Sayyid Aqil Husein al-Munawwar yang  merupakan alumnus Universitas Ummul Quro Mekkah dan murid langsung dari Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki tokoh ulama’ hadis Internasional.

Pada kesempatan kali ini, sosok yang menduduki jabatan Menteri Agama pada tahun 2001-2004 tersebut menampaikan orasi ilmiah tentang beberapa hal penting yang telah sepatutnya menjadi perhatian khusus bagi para penuntut ilmu, utamanya para wisudawan dan wisudawati yang baru saja dinyatakan lulus dari jenjang pendidikan Ma’had Aly.

Prof. Sayyid menyampaikan pentingnya menyambung sanad keilmuwan dengan cara berguru sebagai syarat menyampaikan ilmu. Beliau mengungkapkan keprihatinan beliau terhadap  banyaknya orang yang semakin hari semakin meyepelekan hal tersebut. Teknologi yang semakin hari semakin berkembang pesat, menyebabkan banyak orang dapat dengan mudahnya mengakses sumber-sumber keilmuwan dan mempelajarinya secara mandiri. Beliau mengutip sebuah maqolah pesantren:

من لم يكن له شيخ فالشيطان شيخ له

Artinya: “Barangsiapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah syaitan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Diantara dampak negatif dari belajar secara mandiri (tanpa guru) yang beliau sebutkan ialah terkait nama dalam disiplin keilmuwan yang luar biasa rumit. Misalnya, sebuah nama tokoh ulama’ besar yang dikenal luas dengan nama Ibnu Katsir, kita mengenal nama Ibu Katsir sebagai tokoh ulama’ terkemuka di bidang tafsir (mufassir) dan seorang ima Qiro’ah. Tanpa berguru, bisa jadi kita menganggap bahwa dua orang ini sama padahal kenyataannya berbeda.

Imam Ibnu katsir yang dikenal luas sebagai seorang mufassir bernama lengkap Abu al-Fida’ Isma’il Ibnu Katsir yang wafat tahun 120H, sementara yang dikenal dengan Imam Qiro’ah bernama asli Muhammad Ibnu Katsir al-Makki yang wafat tahun 774 H, “lha,… kok begini mau disamakan ini lho gimana mungkin?” tutur beliau.

Maka dalam kondisi seperti inilah keberkahan guru dapat dirasakan, sebab beliau sampaikan bahwa melalui guru kita akan dapat menerima begitu banyak pengetahuan hanya dengan menebutkan satu nama saja, “kalau dengan guru, kita sebut satu nama saja, maka pasti akan muncul banyak nama dan berjam-am penjelasan,” imbuhnya.

Disamping itu, beliau juga menyampaikan bahwa berguru merupakan suatu tradisi keilmuwan yang harus dilestarikan, beliau menyampaikan, “Tradisi keilmuwan itu bi al-Ijazah, disitulah terjalin al-‘Ala. qoh ar-Ruhiyah (keterhubungan ruh) antara sang pengarang kitab dan tholib (penuntut ilmu),” ungkapnya.

Selain itu, beliau juga mengungkapkan bahwa itulah yang selama ini beliau lakukan. Semasa di Makkah dulu, setiap usai Ashar beliau berpamitan kepada istrinya untuk mengunjungi guru-gurunya, “dan itu satu persatu, terus saya lakukan,” ungkap beliau sembari menunduk dan menahan air mata.

Seperti ketika beliau berkunjung ke rumah Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, beliau berkesempatan untuk memijat kaki beliau, dan selama memijat itulah beliau mendengar dan mendapat banyak sekali pengetahuan dari gurunya itu.

Terakhir sebelum menutup orasi ilmiahnya, beliau menyampaikan bahwa kunci dari keseluruhan ilmu itu ikhlas, “kunci semua para ulama-ulama itu ikhlas”. Keikhlasan para gurulah yang menjadi sumber pemahaman para murid, termasuk apa yang beliau rasakan sendiri sebagai murid yang telah mampu merasakan manisnya ilmu dari berkah keikhlasan para gurunya.

Pewarta: Nailia Maghfiroh

Editor/Publisher: RZ