Dalam studi ilmu al-Quran, dikenal istilah ayat mutasyabihat. Maksud dari ayat mutasyabihat ialah kata-kata dalam al-Quran yang maknanya masih ambigu. Maksud dari ambigu di sini ialah ayat mutasyabihat itu jika dimaknai dengan sutu makna masih punya potensi dimaknai dengan makna yang lainnya. Dalam hadis juga ditemui kata yang mutasyabihat seperti dalam al-Qur’an, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَنْبَأَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ وَكِيعِ بْنِ حُدُسٍ عَنْ عَمِّهِ أَبِي رَزِينٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحِكَ رَبُّنَا مِنْ قُنُوطِ عِبَادِهِ وَقُرْبِ غِيَرِهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَ يَضْحَكُ الرَّبُّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ لَنْ نَعْدَمَ مِنْ رَبٍّ يَضْحَكُ خَيْرًا

Abu Bakr bin Abu Syaibah Telah menceritakan kepada kami, Yazid bin Harun telah menceritakan kepada kami, Hammad bin Salamah dari Ya’la bin ‘Atho` telah memberitakan kepada kami, dari Waki’ bin Hudus dari pamannya Abu Razin ia berkata, Rasulullah bersabda, “Rabb kita tertawa dengan ibadah para hamba-Nya dan besarnya kecemburuannya.” Abu Razin berkata, Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Rabb tertawa?” beliau menjawab, “Ya benar,” aku berkata, “Selamanya kita akan mendapat kebaikan apabila Rabb kita tertawa.”[1]

Lalu ditemukan juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَضْحَكُ اللَّهُ إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ يَدْخُلَانِ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلُ ثُمَّ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَى الْقَاتِلِ فَيُسْتَشْهَدُ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Abdullah bin Yusuf telah bercerita kepada kami, ia berkata: Malik telah mengabarkan kepada kami, dari Abu az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Allah tertawa terhadap dua orang yang saling membunuh satu sama lain, hanya saja kedua-duanya masuk surga. Yang satu berperang di jalan Allah, lantas ia terbunuh (oleh pihak kedua). Kemudian Allah menerima tobat orang yang membunuhnya (lantaran masuk islam), lalu ia pun mati syahid (di jalan Allah).”[2]

Kedua hadis tersebut, pada salah satu diksinya menyebut kata dahika rabbuna dan yadhaku rabbuna yang mempunyai arti “Tuhan kita (Allah) tertawa”, inilah salah satu contoh bentuk mutasyabihat dalam hadis. Pemaknaan kata yang kurang tepat, dapat beresiko terjerumus pada tajsim atau menyamakan Allah dengan makhluknya pada diksi-diksi seperti ini. Lantas seperti apa pemaknaan yang tepat agar kita terhindar dari kesalaham tafsir.

Ulama dalam memahami hadis mutasyabihat, ada dua kelompok yaitu mutaqaddimin dan mutaakhirin. Kelompok mutaqaddimin cenderung melakukan tafwid terhadap kata-kata yang tasyabbuh, sedangkan ulama mutaakhirin cenderung melakukan ta’wil. Kelompok mutaakhirin diwakili oleh ahli tahqiq yang di dalamnya termasuk para ahli hadis.[3] Para ahli hadis memahami teks nas al-Quran dan hadis secara tekstual. Mereka tidak mengubah pemahaman dari apa yang mereka dapatkan dari al-Quran dan hadis seperti apa yang diungkapkan oleh Rasululloh.[4]

Kelompok yang mengedapankan ta’wil memaknai kata dahika rabbuna sebagai sebagai ridha, kehendak baik, luasnya rahmat, penerimaan, kebaikan, atau perintah terhadap malaikat untuk tertawa[5] atau kondisi malaikat yang takjub kepada seorang hamba lantas dinisbatkan “tertawa” padanya.[6] Menurut Qadhi Iyadh, bahwasannya lafadz dhahika adalah majaz isti’aroh,[7] pendapat ini dikemukakan karena tidak mungkin menisbatkan tertawa kepada Allah karena akan menyerupakannya dengan makhluk dan Allah sendiri tidak sama dengan makhluk.[8]

Sedangkan menurut ahli tahqiq, ahli hadis, dan Imam Malik, bahwasannya kata dahika rabbuna adalah sifat sam’iyat (ghaib) yang tidak bisa diraih oleh panca indra dan sifat itu itsbat (ditetapkan) pada Dzat Allah. Penisbatan/penetapan sifat tersenyum kepada Allah yang dilakukan oleh generasi salaf ini dengan tanpa adanya tasybih kepada makhluk.[9] Generasi salaf memang enggan menafsirkan hal seperti ini dan membiarkan teks apa adanya. Menurut al-Khattabi tertawa yang dialami manusia adalah ketika mengalami kegembiraan, sedangkan makna “Allah tertawa” adalah konfirmasi keridhaan dariNya.[10]

Perbedaan antara ulama dalam masalah ini memang sering ditemui dalam hal mutasyabihat. Tujuan ulama yang mengedepankan ta’wil adalah agar tidak menyamakan dzat Allah terhadap makhluk. Sedangkan tujuan ahli tahqiq melakukan tafwid memang sudah menjadi kecenderungan mereka dalam memahami nash al-Quran dan hadis, tetapi masih dalam koridor yang tepat karena mereka tetap berprinsip kalau Allah tidak sama dengan makhluk dan terhindar dari perilaku tajsim.

Baca Juga: Makna Hadis Allah Turun ke Langit Dunia di Sepertiga Malam


[1] HR Imam Ibnu Majah No 177./HR Imam Ahmad No 15598 & 15612.

[2] HR Imam Bukhari No 2614 & HR Imam Muslim 1890.

[3] Muḥammad Ādam al-Ityūbī, Mashāriq al-Anwār al-Wahhāja wa Maṭāliʿ al-Asrār al-Bahāja fī Sharḥ Sunan al-Imām Ibn Mājah, Dar al-Mughni, Riyadh, 33/4.

[4] Muḥammad bin ʿAbd ar-Raḥmān al-Khamīs, I’tiqād A’immati as-Salaf Ahl al-Ḥadīth, Dār Iylāf al-Duwaliyya, al-Kuwait, 1999, 49.

[5] Muḥammad bin ʿAbd al-Hādī al-Sindi, Ḥāsyiyah al-Sindi ʿalā Sunan Ibn Mājah,Dar al-Jalil, Beirut, 78/1

[6] Zayn al-Dīn Muḥammad al-Qāhirī, Fayḍ al-Qadīr Sharḥ al-Jāmiʿ al-Ṣaghīr, Al-Maktabah al-Tijārīyah al-Kubrā, Mesir, 1937, 4/253.

[7] Faḍl Zayn al-Dīn ʿAbd al-Raḥīm al-ʿIrāqī, Ṭarḥ al-Tathrīb fī Sharḥ al-Taqrīb (al-Maqṣūd bi al-Taqrīb: Taqrīb al-Asānīd wa Tartīb al-Masānīd), Al-Ṭabʿah al-Miṣriyah al-Qadīmah, Mesir, 7/205.

[8] Ibn Baṭāl Abū al-Ḥasan ʿAlī bin Khalaf bin ʿAbd al-Malik, Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī li Ibn Baṭāl, Maktabah al-Rushd al-Suʿūdiyyah, Riyāḍ, 2003, 5/39.

[9] Muḥammad Ādam al-Ityūbī, 33/4.

[10] Jamāl al-Dīn Abū al-Faraj al-Juwayzī, Kasyf al-Mushkil min Ḥadīth al-Ṣaḥīḥayn, Dār al-Waṭan, Riyāḍ, 3/506.


Penulis: Nurdiansyah Fikri A, Santri Tebuireng