Kumparan.com

Oleh: Nurdiansyah fikri alfani*

Dalam satu kesempatan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, perkataan ini dikutip dalam kitab Sahih Muslim No. 758:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ الْأَغَرِّ، وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ” يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ، فَيَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ[1]

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata, saya telah membacakan kepada Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Abdullah Al Agharr dan dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni.'”

Dalam hadis di atas rasanya tidak ada masalah jika kita memahami secara tekstual. Tetapi dalam pandangan akidah ahlusunnah jika kita memahami hadis tersebut secara tekstual maka akan timbul sebuah masalah. Hal itu dikarenakan ada kata يَنْزِلُ رَبُّنَا yang berarti “Tuhan kita (Allah) turun”, kata inilah yang akan menimbulakan sebuah masalah karena resikonya akan menyamakan Allah dengan makhluk yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Gampangnya, resiko tersebut akan menyimpulkan bahwa Allah membutuhkan lokasi tertentu sebagai tempat perpindahannya. Karena dalam aqidah ahlusunnah wal jamaah, posisi Tuhan diyakini sebagai Dzat yang berbeda dengan makhluk mana pun atau mukhalafatu lil hawadits. Inilah pemahaman akidah dari ahlusunnah wal jamaah, maka sangatlah beresiko jika memahami hadis tadi dengan hanya sebatas tekstualnya saja.

Dalam memahami hadis ini ada dua model yang ditawarkan ulama, salah satunya Imam Nawawi dalam kitabnya al-Minhaj Syarah Sahih Muslim bin al-Hajjaj

Pertama, metode tafwid. Metode ini banyak dipakai oleh jumhur ulama salaf dan sebagaian mutakallimin dalam memahami teks al-Quran dan hadis yang dirasa punya kejanggalan. Metode ini memiliki konsep yang seakan-akan pasrah dan tidak mau mencari tahu makna atau esensi dari sebuah teks, memanglah secara bahasa makna tafwid adalah pasrah.

Jadi dalam pemaknaan hadis “Allah turun”, jumhur salaf dan sebagian mutakallimin memahami makna dari hadis tersebut sesuai dengan apa yang dinarasikan dalam teks, dan para ulama tidak mencari-cari bagaimana kejelasan dari makna teks tersebut akan tetapi maknanya diserahkan kepada allah SWT dan disertai tanzih atau keyakinan kalau Allah tidaklah sama dengan makhluk. Inilah letak perbedaan antara mujassimah dan ahlusunnah wal jamaah dalam memahami nash-nash al-Quran atau hadis yang mutasyabihat menyangkut sifat-sifat Allah SWT.

Kedua, metode takwil. Metode ini diikuti oleh kebanyakan mutakallimin dan beberapa golongan salaf. Konsep dari takwil sendiri adalah mengalihkan kata dari maknanya yang tampak (aslinya) ke makna lain yang memungkinkan disertai dengan bukti yang jelas[2]. Takwil sendiri menjadi alternatif kedua dalam memahami nash-nash yang berkaitan dengan sifat Allah SWT, dalam pemaknaan hadis di atas ada dua versi jika dilihat dari kacamata takwil:

  1. Malik bin Anas berpendapat bahwa maksud dari “Allah Turun” adalah turun rahmatNya, atau ketetapan-ketetapanNya, atau juga bisa bermakna yang turun adalah para malaikat utusanNya.
  2. Penakwilan kedua yaitu bahwa kata “Allah Turun” adalah majaz isti’aroh yang memiliki arti sebagai mengabulkan doa, berlemah lembut.[3]

Dari berbagai variasi memahami hadis “Allah Turun” memang para ulama jika dilihat sangatlah hati-hati karena hal itu berkaitan dengan sifat Allah SWT. Dilihat dari metode tafwid maupun takwil, ulama berhati-hati agar tidak menyamakan Dzat Allah SWT dengan makhluk, oleh karenanya baik tafwid atau takwil sama-sama berangkat dari keyakinan kalau Allah SWT itu berbeda dengan makhluk atau mukhalafatu lil hawadits.


[1]              مسلم بن الحجاج أبو الحسن القشيري النيسابوري, المسند الصحيح المختصر بنقل العدل عن العدل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم, دار إحياء التراث العربي بيروت, 1/251, رقم 758

[2]              محمد مصطفى الزحيلي، الوجيز في أصول الفقه الإسلامي، ٩٩/٢

[3]              أبو زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي, المنهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاج, دار إحياء التراث العربي بيروت, الطبعة: الثانية 1392, 37/6


*Santri Tebuireng