Oleh: KH. Abdul Hakim Mahfudz*
Islam sejak diperkenalkan Rasulullah Muhammad SAW mengalami perkembangan yang sangat cepat dan penyebaran yang sangat luas hingga seluruh dunia. Masa kekuatan Islam ini berlangsung cukup lama melalui beberapa dinasti hingga kekuatan terakhir sebuah imperium di bawah Kesulatanan Turky Usmani. Mulai ekspansinya ke Eropa di tahun 1299 M, mampu menaklukkan Byzantium tahun 1354 M, dan sejak itu menjadi kekuatan dunia. Masa keemasan ini mampu bertahan beberapa abad, tetapi akhirnya mengalami pelemahan yang mulai nampak sejak abad 18 M. Proses melemahnya Usmani terus berlanjut hingga di akhir abad ke-19 yang semakin nampak tanda-tanda kejatuhan Kesultanan Turky Usmani.
Menyikapi kondisi ini, muncul ide dari jazirah Arab untuk menyelamatkan kekuatan Islam dengan melakukan usaha untuk memodernisasi pemikiran Islam, namun hal ini tidak banyak merubah kondisi yang ada. Puncaknya, ketika Sultan Abdul Hamid II digulingkan dan diasingkan ke Tesalonika, Yunani tahun 1909. Sejak saat itu, kekuatan Islam dunia semakin melemah di bawah kendali bangsa Eropa. Bersamaan dengan melemahnya kekuatan Islam, ide untuk memodernisasi pemikiran Islam kemudian berubah menjadi gerakan modernisasi yang dimulai dari Mesir hingga menyebar ke seluruh dunia.
Di Indonesia yang mana telah berdiri beberapa organisasi Islam seperti Syarikat Islam (SI) yang merupakan tujuan utama dari umat Islam untuk berorganisasi, kemudian ada Muhammadiyah, Al Irsyad, dan beberapa yang lain. Pemikiran modernisasi Islam yang masuk ke dalam Syarikat Islam menimbulkan terjadinya perbedaan. Kelompok modernis menginginkan modernisasi dengan meninggalkan mazhab. Sedangkan kelompok tradisionalis menginginkan modernisasi namun tetap dengan mempertahankan mazhab. Hal ini mengakibatkan sering terjadi perdebatan yang sejak tahun 1912 mengalami eskalasi sehingga berubah menjadi permusuhan menuju perpecahan umat Islam di tingkat bawah.
Para masyayikh dari kelompok tradisionalis berusaha untuk mempertahankan keutuhan, jangan sampai terjadi perpecahan anggota organisasi yang ada di dalam Syarikat Islam. KH. Hasyim Asy’ari sangat tegas menolak di dalam menyikapi perbedaan untuk meninggalkan mazhab. Beliau menuangkan pikirannya di dalam tulisan yang diberi judul “Kaff al awwam ‘anil haudzi fi Syarikah Islam” dan mengirimkan kepada gurunya Syekh Achmad Chotib al-Minangkabawi di Mekah pada tahun 1913 untuk mohon petunjuk dan bimbingan.
Beliau mendapat balasan tulisan dari Syekh Achmad Chotib di tahun 1915 dengan balasan yang diberi judul “Tanbihul Anam“. Sejak itu, KH. Hasyim berubah istislam dan kemudian sering mengunjungi ketua SI, HOS Cokroaminoto untuk berdiskusi mencari solusi mencegah perpecahan.
Syarikat Islam yang saat itu merupakan organisasi terbesar di Indonesia di mana anggotanya meliputi semua golongan kemudian muncul kelompok-kelompok terdiri dari SI Putih dan SI Merah. Perbedaan paham yang sangat tajam antara SI Putih dan SI Merah menimbulkan ketegangan di dalam kepengurusan yang akhirnya tidak bisa disatukan. Pada tahun 1921 SI Merah memisahkan diri, tokoh-tokohnya bergabung dengan Indische Social Demokratische Vereniging (ISDV), lalu melebur menjadi Partai Komunis Indonesia. SI putih berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) lalu tahun 1927 berubah jadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Dengan terjadinya perpecahan di tubuh Syarikat Islam, HOS Tjokroaminoto menggagas Kongres Umat Islam pertama di Cirebon pada 1921, kemudian di Garut pada tahun 1922 di bawah pimpinan Agus Salim, namun gagal menyatukan umat Islam. Kongres ini justru memperuncing perbedaan antara penganut Islam tradisionalis dengan penganut Islam modernis ala HOS. Tjokroaminoto.
Fakta ini menunjukkan apa yang dikhawatirkan Kiai Hasyim Asy’ari di dalam kitab Kafful awam terbukti benar. Untuk memperkuat pemahaman umat yang mengikuti paham Aswaja, KH. Hasyim menulis kitab “Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah” di tahun 1921. Sejak saat itu kepentingan kelompok tradisionalis sering kali tidak mendapat porsi di dalam organisasi Syarikat Islam.
Pada tahun 1925 kota Mekah jatuh ke tangan Abdul Aziz bin Saud yang menganut paham Wahabi, kemudian diangkat sebagai raja pada 8 Januari 1926. Banyak dari kalangan tradisionalis di Indonesia mengusulkan agar didirikan organisasi bagi umat Islam yang berpaham Aswaja. Menjawab permintaan para ulama, KH. Hasyim Asy’ari melakukan riyadhoh cukup lama dan akhirnya mendapatkan izin melalui isyarah yang diterima Syaikhona Cholil untuk mendirikan jam’iyyah. Tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 para ulama Aswaja mendirikan Jam’iyyah Dinniyah Ijtimaiyyah “Nahdlatul Ulama” di Surabaya.
NU didirikan para ulama karena adanya kebutuhan misi internasional. Kebutuhan untuk mengirim delegasi Komite Hijaz ke Mekah untuk bertemu Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman al-Saud sebagai penguasa baru di Hijaz, guna menyampaikan pesan agar tidak melarang jamaah haji untuk mengikuti mazhab dalam melaksanakan kegiatan haji. Juga agar tidak menghilangkan situs-situs peninggalan Islam, termasuk makam Rasulullah Muhammad SAW. Alhamdulillah, mendapat tanggapan yang baik dan dikabulkan. Misi internasional yang lain setelah di tahun 1937 mampu mendirikan federasi MIAI yang menaungi 13 organisasi Islam kemudian bersama NU di tahun 1938 mendukung Palestina untuk merdeka, namun sayang misi ini belum berhasil sampai saat ini.
Saat ini NU telah menempuh perjalanan yang panjang, telah melalui bermacam-macam lintasan dan telah melampaui berbagai macam zaman. Jamaahnya pun terus bertambah sesuai dengan dengan perkembangan zaman, sehingga pengurusnya juga harus ditambah untuk memenuhi kebutuhan agar organisasi bisa berjalan dengan baik.
Namun, bertambahnya pengurus juga menghadapi konsekuensi dengan adanya perbedaan yang kadang-kadang tidak mudah untuk disatukan. Terutama saat terjadi dinamika pada saat menghadapi hajatan NU maupun hajatan nasional. Perlu kita pikirkan suatu rumusan agar perbedaan yang ada tidak menghabiskan energi kita yang sangat dibutuhkan untuk memajukan NU maupun umat Islam, sebagaimana dulu dilakukan para muassis untuk mendukung Palestina.
Mengutip dawuh KH. Ahmad Siddiq bahwa NU itu ibarat kereta api, bukan kendaraan pribadi apalagi taksi yang bisa disewa secara jam-jaman. Relnya sudah jelas sehingga tujuannya jelas, masinis dan kondekturnya jelas demikian juga semua petugas yang ada dari petugas di restorasi, petugas teknik, petugas kebersihan dan yang lain.
Demikian juga dengan penumpangnya, siapa yang boleh naik dan siapa yang tidak boleh jadi penumpang karena belum punya tiket. Selain itu, stasiun yang disinggahi juga jelas, kapan berhenti dan kapan berjalan. Ini adalah ibarot yang sangat pas, suatu kendaraan yang mampu membawa penumpang dalam jumlah yang besar, selalu diberikan jalan oleh kendaraan lain termasuk rombongan yang menggunakan pengawalan.
Sehingga bisa dikatakan saat ini NU itu merupakan organisasi yang sudah mapan, secara struktural ada pengurus Tanfidziyah, Syuriyah kemudian ada Musytasyar maupun A’wan yang sesuai tujuan didirikannya NU itu mengurus umat. Rangkaian gerbongnya mulai dari PBNU beserta banomnya, kemudian diikuti Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, MWC, Ranting dan seterusnya dan masih ada yang termasuk di dalamnya adalah NU kultural. Kita harus memiliki pemikiran yang sama bagaimana agar semua warga NU itu bisa terangkut sampai stasiun terakhir dengan selamat. Karena di sana kita ditunggu para muassis dan mudah-mudahan kita ikut terbawa untuk bergabung dengan Rasulullah Muhammad SAW.
*Pengasuh Pesantren Tebuireng
Baca Juga: Ketika Kalangan Pesantren Berhadapan dengan Kaum Radikal