sumber ilustrasi: pinterest

MEMESAN RUMAH IBU

Malam ini langit bercahaya, bu. Nada yang paling kita tunggu-tunggu dikumandangkan, takbir menyibak hatiku, mengurai air mataku, membelah kenanganku bersamamu di waktu sebelum malam-malam seperti ini kau berlalu.

Di sudut rumah, aku masih berharap ada panggilanmu; besok kita akan merayakan lebaran bersama. Seperti harapanmu di tahun-tahun sebelumnya saat aku tidak di sisimu. Dan kini aku pulang, dan kau memilih di sisi Tuhan.

Ibu, Baju barumu sudah kupesan, atas nama engkau dan cinta yang tak akan pernah habis. Walau malam ini, kau mendengar takbir di sana, dan aku masih di sini dengan ngiang yang menyesakkan.

Akhirnya tibalah waktuku, meratapi malam lebaran dengan merindukan yang tak bisa kupeluk erat lagi atau sekadar mencium tanganmu karena kutahu salahku yang butuh kau maafkan. 

Selamat merayakan malam takbir dan hari raya Idul Fitri 1445, di Surga Allah. Tenanglah di sana, bahagialah melebihi bahagia kami di sini.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

NAMA SEBELUM IBU PERGI

Di ruang berukuran 3×3 meter itu, ibu tak henti-hentinya menyebut nama-nama perempuan yang dicintai Rasulullah. Yaa Sayyidah Fatimah, yaa Sayyidah Khadijah, yaa Sayyidah Aisyah dengan ratusan fatihah yang terus ia lantunkan hingga matanya terpejam, tidur dengan nyenyak.

Itulah yang biasa ibu lakukan beberapa bulan terakhir, sebelum akhirnya fatihah terakhirnya tak bisa lagi menembus ratusan kali, dan Tuhan telah memanggilnya, tepat 2 hari sebelum malam takbir ini dikumandangkan di seluruh penjuru dunia.

Sebagai ganti ratusan fatihahnya untuk perempuan yang dicintai nabi, kini aku ambil alih mengirimkan fatihah untuk mereka juga untuk ibuku yang sudah tiga hari ini tak lagi bersamaku. Suaranya yang akrab di telingaku dengan segala rintihan sakitnya, keluhan lelahnya, omelan kesalnya, dan segalanya masih mengiang, mengalahkan takbir yang sejatinya telah dikumandangkan jutaan orang dalam satu waktu.

Suara ibuku masih paling dominan di telingaku, wajah ibuku yang tampak jelas di mataku. Ntah, begini kah cinta atau inikah yang mereka sebut aku belum ikhlas menerima takdir yang Maha Kuasa.

Benar kata orang, selama ada ibu dunia akan terasa baik-baik saja. Dan kini, aku merasa semua sudah tak sama.


SELAMAT JALAN, IBU

Ramadan sudah selesai bu. Bulan yang selalu kita rindukan dan kau panjatkan untuk selalu sampai, akhirnya juga berakhir tahun ini. Terima kasih sudah menemaniku di Ramadan-Ramadan yang telah berlalu. Rasanya tanpamu, memang sangat berbeda.

Bu jika engkau telah bertemu Tuhan dan Perempuan yang dicintai nabi Muhammad, sampaikan salam dari putrimu.

Wahai Tuhan, ibuku telah Kembali padaMu. Pada keabadian, dalam sepanjang hidupnya ia selalu menyebut sayyidah Khadijah, Fatimah dan Aisyah; maka pertemukanlah ibuku dengan mereka di Surga Mu ya Allah.

Selamat jalan bu, di Ramadan 1445 dan mari kita rayakan malam takbir kemenangan ini dengan Bahagia yang sama, walau di dimensi yang berbeda. Aku memelukmu dengan doa-doa yang tak akan pernah lupa dari mulutku yang sejak kecil kau ajari menyebut nama Tuhan dan lancar menghafal fatihah serta doa-doa penjagaan.

Terima kasih, bu. Untuk cintamu yang luar biasa hebat. Doakan aku lebih hebat darimu untuk anak-anakku yang akan tumbuh dewasa.


*Rara Zarary, Alumnus An-Nuqayah Sumenep.

**Puisi ini ditulis untuk saudaraku yang baru saja kehilangan ibunya di malam takbiran.