Ayat-ayat Pendek tentang Penyair
Jangan katakan cinta penyair
sebab ia, musik yang memancar
dan sering kali jadi penenang
dalam rahim fana secantik kata-kata
sedang kau bencinya
kau tahu melankolia
durjana rindu seperti peluru
milik bersama, dan kau sasaran utama
namun, ia tak ingin kau tanggung sendiri
remuk di balik punggung bayang sunyi
jangan katakan bersama penyair
bila tak sanggup hidup melebihi surga
bila tak sanggup dirindu melebihi nabi
bahkan dipuja melebihi cinta kepada tuhan
rebahlah pada bahunya, atau pergi
namun ingat, sungguh kepergiaan itu
adalah kutukan paling abadi
pernah terjadi dalam sejarah hidup ini.
Jomblangan, 2022
Malam Minggu
malam minggu, kota lesu
tak ada yang aku tunggu
tak ada pula yang aku ragu
dalam menimang waktu
mahapurba biru ingatanmu
lalu bagaimana mungkin
aku akan kekal di pelukanmu
sebagai doa dan kata-kata
tanpa remuk dan tersiksa?
barangkali, sendu dapat aku ramu
sebagai kesemuan yang lalu
di mana hanya pada hadapanmu
segala jiwa-ragaku berpacu
seperti kuda-kuda dalam ingatan
tumbuh-kembang kesakitan
tanggal-tumbang kematian.
Cabeyan, 2022
Lukisan Darah
bagiku, engkau adalah layang-layang
yang aku bebaskan terbang melayang
namun ingat-ingatlah, Maria
kau masih kuikat dengan bayang
agar desau angin di langit bayang
tak pisahkanmu dariku yang jalang
di sini, derap nasibku adalah kematian
aku menyempatkan diri di hadapan cahaya
lukis matamu; lukis kakimu; hingga
ke terdalam tubuh dan jiwamu, sebagai doa
yang aku percaya, dan bisa kau jaga
di pucat dasar langit-langit dadaku
beku aliran deras darah yang mahabiru
namun, apa yang masih engkau tunggu?
tatkala manis mesra suaramu, kau alihkan
dari telingaku yang candu dan sendu
barangkali, lebih baik aku berhentu berucap
berhenti memandang; berhenti bergerak
dan bahkan berhenti bernyawa
bilamana harus aku telan taram
pada bulir sekam yang menyimpan bara api
dari pandang, di mana dirimu
yang semula layang-layang jadi sumbunya.
Cabeyan, 2022
Dialog Penyair dengan Malaikat
pada ucap yang himpit sunyi
aku nyanyian dedaun di tubuh pagi
di mana kedatangan, azrail
sangat tak aku harapkan
garis bawahi diri kembali
“ada apa denganmu, penyair?” tanya, azrail
seketika bulu-bulu di dahan jiwaku
mendadak beku seperti halnya batu
“tidak ada apa-apa!” jawabku.
“bohong! aku tahu kamu hancur,” sergahnya.
dalam gelap dan mati kata-kata
begitu pun cahaya, tampak pura-pura
tempiaskan cantik pesonanya.
“aku lelah pada kehidupan
cabutlah nyawaku,” ucapku ke malaikat
“tidak! aku tak berani lakukan itu
tanpa perintah agung dari tuhan.”
sebelum lari, aku titipkan pesan
pada tuhan, dengan perantara azrail:
aku ingin hidup seratus tahun lagi.
Cabeyan, 20/01/2022
Aku Tak Punya Siapa-Siapa
segumpal darah, marah
dalam berahi jiwa cinta dadaku
seperti pesona retak kaca
hilang mana dan kata-kata.
“lupakan aku,” katamu pasrah.
di mana aku sedang bersikeras payah
jadi samudera ketenangan bagi perahu
yang getir kau tunggapi. namun
seakan kau anggap tak ada
ucapkan! bukti macam apa
yang mesti aku suguhkan
di hadapan kerling indah matamu
bila begini, segalanya kau bilang semu?
siapa yang paling tegak bertahan
di antara kita, seandainya jadi lilin menyala
di tengah tamparan angin yang menyapa
dengan “ingin” yang tumbuh
di dasar lekat-keras kepala?
aku tak punya siapa-siapa selain dirimu
yang dalam sepanjang waktu kupuja
entah denganmu yang bagiku
begitu kuasa dan bermakna.
Cabeyan, 23/01/2022
Penulis: Ubaidillah Annasiqie
Santri Pondok Pesantren Kutub Hasyim Asy’ari, Cabeyan, Panggungharjo, Sewon, Bantul, D.I.Yogyakarta.